Kasus perdagangan orang semakin marak karena aparat dan sindikat berkolusi. Di Batam, misalnya, masyarakat yang berani melaporkan ”perselingkuhan” aparat dan sindikat justru dikriminalisasi.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Ribuan pekerja migran Indonesia tewas akibat perdagangan manusia yang menggurita di sejumlah daerah di Tanah Air. Sindikat dan mafia yang menjadi dalang kejahatan manusia luar biasa itu seolah tak bisa disentuh hukum.
Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menunjukkan, pada Januari 2020 hingga April 2023, ada 1.859 pekerja migran yang pulang ke Tanah Air dalam peti mati. Sekitar 90 persen warga negara Indonesia yang meninggal di luar negeri itu merupakan pekerja migran tanpa dokumen.
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani, Kamis (6/4/2023), mengatakan, saat ini diperkirakan ada lebih kurang 4,4 juta pekerja migran Indonesia tanpa dokumen di luar negeri. Mereka kemungkinan besar merupakan korban penempatan ilegal oleh sindikat.
”Perdagangan manusia sudah berlangsung sangat lama. Pesta pora sindikat dan mafia yang mengambil keuntungan sangat besar dari bisnis kotor ini seolah tidak bisa disentuh oleh hukum negara,” kata Benny.
Hal itu diungkapkan Benny saat berbicara dalam seminar bertajuk ”Perang Semesta Melawan Sindikat Penempatan Ilegal Pekerja Migran Indonesia” di Batam, Kepulauan Riau. Acara itu dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, serta sejumlah pejabat terkait dan aktivis kemanusiaan.
”Kenapa saya hadir di sini (Batam)? (Karena) Ini masalah hukumnya macet. Yang ingin saya umumkan kami tahu (penyebabnya),” kata Mahfud.
Di Batam dan perairan timur Sumatera, sejak Desember 2021, terjadi tujuh kali peristiwa tenggelamnya perahu ilegal pengangkut pekerja migran. Sedikitnya 44 pekerja migran tewas dan 76 orang hilang.
”Apa gunanya kita merdeka kalau rakyat kita sendiri terhinakan (dan) tercampakkan kemanusiaannya seperti itu?” ujar Mahfud.
Menurut dia, kasus perdagangan orang semakin marak karena aparat dan sindikat berkolusi. Di Batam, misalnya, masyarakat yang berani melaporkan ”perselingkuhan” aparat dan sindikat justru dikriminalisasi. Laporan tak jalan, masyarakat pun jadi ketakutan.
Publik sering dikejutkan oleh berita mengenai jatuhnya banyak korban jiwa dalam kasus perdagangan orang. Namun, setelah itu kadang kala kasusnya hilang begitu saja. Dalang di balik sindikat yang terlibat tak pernah dihukum.
Mahfud mengatakan, hal itu terjadi karena ada yang sengaja menutupi. ”Petugas dan pejabat melanggar konstitusi kalau membiarkan hal yang seperti itu,” ujarnya.
Pada 2020-2023, terjadi 62 tidak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kepri dengan jumlah korban 546 orang. Mahfud menduga, kasus di lapangan bisa jadi jauh lebih banyak dari yang telah berhasil diungkap oleh aparat tersebut.
Konsul Jenderal RI di Johor Bahru, Malaysia, Sigit Widiyanto menyatakan, pada 2022 ada 620.000 WNI yang masuk ke Johor, Melaka, dan Negeri Sembilan. Dari jumlah itu, ada 206.000 WNI yang tidak kembali ke Indonesia.
”Kalau diduga 1 persen saja dari jumlah yang tidak kembali itu adalah pekerja migran tanpa dokumen, maka pada 2022 ada 2.000 WNI yang masuk ke Johor dan sekitarnya secara ilegal,” ujar Sigit.
Sepanjang 2022, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menerima 81 kasus aduan tentang pekerja migran. Berdasarkan negara penempatan, jumlah kasus terbanyak adalah Arab 19 kasus, Irak 14 kasus, dan Malaysia 9 kasus. Bentuk pelanggaran HAM yang paling banyak diadukan adalah dugaan TPPO.
”Kalau masih ada pengaduan terkait pekerja migran masuk ke Komnas Ham artinya ada kemacetan dalam tugas dan fungsi lembaga negara yang lain. Itu adalah alarm,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sugiro.
Aktivis pembela korban perdagangan orang di Batam, Chrisanctus Paschalis Saturnus, meminta agar semua aparat negara yang melindungi sindikat perdagangan orang harus segera dicopot dari jabatannya. Sanksi serupa juga harus diberikan kepada aparat yang melakukan pembiaran terhadap sejumlah kasus perdagangan orang di Batam.
”Saya meminta sungguh kepada Menko Polhukam untuk berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga di bawahnya, seperti Polri, Badan Intelijen Negara, dan Direktorat Jenderal Imigrasi, untuk menindak oknum di setiap institusi yang terlibat dalam perdagangan orang di Batam,” ujarnya.
Adapun Mahfud menyatakan, pemerintah akan menggunakan semua sumber daya yang dimiliki untuk memberantas penempatan ilegal pekerja migran. Ia juga mengklaim telah mengantongi sejumlah daftar sindikat perdagangan orang berserta daftar para anggotanya di Batam.
”Kalau penegakannya, nanti kita rapat di Jakarta. Jakarta itu kompak kok kalau yang begini-begini. Bangun kasus, konstruksikan dari mana dan bagaimana, apa hukumannya, apa sanksinya. Nanti kami buat,” ujar Mahfud yang juga Ketua Satuan Tugas TPPO.
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menilai, ini merupakan saat yang tepat untuk membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah. Pemerintah perlu bertindak tegas terhdap kelompok sindikat yang (memberlakukan) manusia sebagai komoditas.
”(Mereka) Harus dihukum seberat-beratnya karena tidak menghormati harkat dan martabat manusia. Perkaranya tinggal soal political will. (Pemerintah) Sekarang mau tidak melibas sindikat yang ada,” ujarnya.
Perkaranya tinggal soal political will. (Yenny Wahid)
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menyatakan, kerap kali pelaku perdagangan orang hanya dijerat dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Dalam UU itu diatur maksimal hukuman 10 tahun, tetapi tidak ada hukuman minimal sehingga pelaku sering hanya divonis penjara di bawah 1 tahun.
Ia menilai, penegak hukum juga perlu menjerat pelaku perdagangan orang dengan Pasal 120 UU No 6/2011 tentang Keimigrasian. Dalam pasal itu diatur penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun bagi pelaku penyelundupan manusia.
Selain itu, penegak hukum harus menelusuri aliran uang pelaku perdagangan orang. Dengan begitu, dalang di balik sindikat dapat diungkap dan kemudian bisa dijerat dengan UU No 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menurut Judha, Indonesia sudah saatnya memiliki badan khusus untuk memberantas dan mencegah TPPO karena itu adalah kejahatan kemanusiaan dan kejahatan luar biasa. Pembentukan badan khusus ini harus dilakukan negara untuk menunjukkan eksistensinya.
”Kalau negara menganggap kasus TPPO ini penting, perlu dibangun badan khusus. Memang akan memakan waktu, tetapi sekarang sudah saatnya,” ujar Judha.