Jalan Panjang Pangan Dayak
Bagi masyarakat Dayak, keberagaman pangan menjadi kunci pemenuhan gizi dan kelestarian ekosistem. Namun, masyarakat adat di Pulau Kalimantan itu kini menghadapi penyeragaman pangan yang berdampak ke perubahan iklim.
”Emek (65), peladang tradisional di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, sedang berdebat dengan cucunya, Udin (6), Senin (10/10/2022). Udin memaksa meminta mainan setelah melihat seorang fotografer menerbangkan pesawat nirawak.
Emek menjawab, ”Iya, nanti kita beli kalau panen.” Udin masih merengek, sebisa mungkin menempel si fotografer agar dipinjami ”mainannya”.
Emek merupakan anggota Kelompok Tani Parit Pemerintah yang masuk dalam program strategis nasional (PSN) Food Estate atau Lumbung Pangan. Ladang yang ditinggalkan Emek dan keluarganya itu kini diubah menjadi sawah hamparan yang luas.
”Seumur-umur, baru kali ini saya menanam padi di tanah sawah,” kata Emek.
Saat banyak peladang ditangkap, banyak peladang berhenti berladang tradisional dan membiarkan ladang mereka terbengkalai. Setidaknya delapan tahun mereka berhenti berladang.
Bagi Emek, food estate merupakan terang dalam kegelapan. Kerinduannya untuk berladang terbayar karena kini bisa kembali menanam padi. Namun, terang itu seperti remang. Bantuan benih datang di saat ladang belum siap, Emek pun membeli benih yang ia tak tahu asal muasalnya. Bagaimana tidak, setidaknya terdapat 13 jenis padi lokal hilang begitu saja sejak berladang dilarang dengan cara membakar.
Biasanya, Emek akan memulai ritual sebelum berladang; meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mendatangkan panen berlimpah, sesuai dengan adat Dayak Ngaju. Selama hidup, ia hanya berladang dengan cara tebas bakar. Setelah panen, ladang bakal dibiarkan rimbun. Ia pun berladang di tempat lain. Tempatnya berladang kembali ke tempat semula setelah 5-8 tahun berlalu. Lumbung penuh, perut kenyang, gizi terpenuhi.
Kini, budaya yang dijaga ratusan tahun itu bakal hilang karena mereka harus berladang di sawah. Setidaknya terdapat 1.060 hektar ladang yang diubah menjadi sawah.
”Awalnya diberi bantuan kapur, pupuk, dan benih, tetapi bantuannya datang terlalu cepat sehingga benihnya tidak bisa dipakai. Terpaksa saya beli benih baru, lalu menggunakan pestisida untuk menangkal hama,” tuturnya.
Bahkan, dalam hal menangkal hama, Emek harus belajar dari nol. Saat berladang dahulu, ia tak memerlukan pestisida untuk melawan hama.
Emek merupakan salah satu anggota kelompok tani yang mencoba beralih menanam di sawah. ”Coba-coba saja, hasilnya bagaimana, saya enggak tahu,” kata Emek yang bisa memprediksi hasil panenan.
Padi yang dia tanam juga berbeda-beda di satu petak. Ada yang tinggi dan ada yang pendek. Ada yang berdaun agak lebar, ada juga yang berdaun tajam. Dalam satu petak bahkan ada yang ditanam rapat, ada yang terpisah. Hal itu terjadi bukan karena waktu tanam yang berbeda, melainkan ia menanam berbagai jenis padi, sama seperti yang ia lakukan dulu.
Perubahan cara bertanam di masyarakat adat Dayak juga terjadi di wilayah lain di Kalimantan. Hal itu setidaknya mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Adat Heart of Borneo (HoB) dan WWF Indonesia di Kalteng tentang Masyarakat Adat dan Keadilan Iklim, Sabtu (15/10/2022).
Yusli, masyarakat adat Rasau Sebaju di Kalimantan Barat, mengungkapkan, jalan pangan masyarakat adat di tempatnya mulai berubah sejak masuknya alih fungsi lahan, mulai dari perusahaan kayu hingga perkebunan. Dalam perkembangan selanjutnya, berladang dengan cara membakar saat pembersihan lahan juga dilarang pemerintah.
Gat Khaleb dari Forum Masyarakat Adat Kalimantan Utara menilai, berladang di hutan merupakan identitas dan hak masyarakat adat Dayak. Namun, pola berladang di hutan itu direnggut dengan kebijakan negara. ”Ini sudah menjadi bagian dari pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.
Baca juga: Bertani Kita Teguh Tak Bertani Kita Runtuh
Pangan lokal
Masyarakat adat Dayak percaya bahwa pangan lokal merupakan sumber gizi. Misalnya, warga di Desa Pilang mengenal 31 jenis sayuran yang ditanam di ladang ataupun tumbuh liar di sekitarnya, 19 jenis bunga dan jamur yang bisa dikonsumsi, 15 jenis umbi-umbian, 54 jenis ikan yang hidup di sungai di belakang kampung mereka, serta 99 jenis buah liar dan budidaya.
Beberapa jenis sayur liar di antaranya bajei adalah pakis hijau dan kalakai atau pakis merah. Mereka juga mengonsumsi sayur dari singkah atau umbut, batang tanaman muda.
Fakta gizi dari berbagai kajian mendukung pengetahuan lokal ini. Misalnya, kajian Daisy Irawan dan tim di jurnal Tropics (2016) menyebut, kandungan gizi kelakai di antaranya zat besi (41,53 ppm) dan beta karoten (66,99 ppm).
Para ilmuwan dari Royal Botanic Gardens dan Imperial College London dalam laporan di jurnal Nature Plants, 24 Februari 2022, mengidentifikasi lebih dari 1.000 tanaman jarang dimanfaatkan walaupun kaya zat gizi mikro. Termasuk di antaranya Durio kutejensis atau durian liar Kalimantan. Durian ini kaya serat dan vitamin C.
Penjaga ekosistem
Direktur Eksekutif Save Our Borneo (SoB) Muhammad Habibi mengungkapkan, masyarakat adat memiliki beban tinggi untuk menjaga keberlangsungan ekosistem. Namun, pada saat yang sama, hak-hak masyarakat adat direnggut, termasuk dalam hal berladang.
Ia membandingkan praktik pembersihan lahan dengan cara membakar, yang dilakukan peladang dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Karbon yang dilepas dalam pembakaran lahan oleh peladang, yang rata-rata memiliki lahan kurang dari 2 hektar, tentu jauh lebih sedikit ketimbang pembakaran lahan yang dilakukan perusahaan yang membuka hutan dengan luas ribuan bahkan puluhan ribu hektar.
Survei sederhana yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada 2010 mengindikasikan bahwa pola dan gaya hidup dari kelompok masyarakat berpendapatan menengah di perkotaan menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) rata-rata 3-4 kali dibandingkan dengan rata-rata emisi GRK per kapita nasional. Artinya, masyarakat perkotaan kelas menengah sesungguhnya merampas ruang atmosfer masyarakat miskin yang pola dan gaya hidupnya hanya menghasilkan emisi relatif rendah, termasuk masyarakat adat.
Selain itu, sejumlah studi menunjukkan, teknik bercocok tanam padi di sawah juga penyumbang utama emisi metana, gas rumah kaca paling merusak. Secara global, padi sawah menghasilkan 12 persen emisi metana global dan 1,5 persen dari total emisi gas rumah kaca.
Laporan Xiaoming Xu dari University of Illinois dan tim (Nature Food, 2021) menunjukkan, padi sawah merupakan penyumbang emisi tertinggi kedua di antara semua produk pertanian setelah peternakan sapi. Padi sawah mengeluarkan sekitar 30 kilogram emisi untuk memproduksi 1 kg beras (Kompas, 14 September 2022).
Tingginya emisi dari padi karena ada bakteri penghasil metana dalam kondisi anaerobik di sawah tergenang. Emisi dari budidaya padi sawah yang intensif bisa berasal dari pupuk kimia yang berbahan dasar minyak bumi.
Baca juga: Ratusan Hektar Sawah Food Estate di Kalteng Belum Bisa Ditanami
Perubahan iklim
Masyarakat Dayak di Kalimantan dalam jalan pangannya memiliki sistem pertanian yang sangat memerhatikan lingkungan, bahkan ekosistem. Di Kalimantan Tengah dikenal hutan pahewan. Di hutan itu masyarakat adat menyisakan sebagian dari ladangnya untuk habitat satwa liar dan dijadikan tempat keramat.
Sogit seperti membayar denda, memberi makan pada tanah dan alam untuk menyejukkan situasi saat alam tak lagi terkendali. (Gordon)
Gordon dari PACO TRUST di Sabah, Malaysia, mengungkapkan, masyarakat adat di Sabah menerapkan ritual gompi guno yang percaya pada empat spirit atau penjaga alam. Mereka tidak bisa begitu saja merusak hutan atau dampaknya terkena tulah.
Mereka juga memiliki tradisi sogit yang merupakan bentuk menyejukkan kembali situasi yang panas, termasuk kebakaran, pembukaan hutan dengan masif, atau perusakan alam.
”Sogit seperti membayar denda, memberi makan pada tanah dan alam untuk menyejukkan situasi saat alam tak lagi terkendali,” kata Gordon.
Di Kalbar, masyarakat Rasau Sebaju mengenal tradisi soba, yakni warga membuat seperti bendungan atau dinding dengan tumpukan batu di tengah sungai. Tujuannya agar memperkuat daya tampung sungai saat menerima hujan sehingga air tidak keluar dan membanjiri permukiman.
Semua cerita dari penjuru Pulau Kalimantan itu menunjukkan bagaimana masyarakat adat memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem di sekitar tempat tinggal mereka. Namun, tuduhan sebagai perusak lingkungan karena tradisi tebas-bakar membuat mereka seakan-akan pelaku dari kerusakan alam yang berdampak perubahan iklim.
Kini, masyarakat Dayak menapaki jalan pangan baru, seperti halnya Emek yang mencoba menanam di lahan Food Estate. Ironisnya, ancaman banjir menghantui sawah baru yang diolah Emek. Bahkan, ancaman ada sejak sawah dibuka.
Baca juga: Robohnya Lumbung Pangan Dayak Kalimantan