Ratusan Hektar Sawah ”Food Estate” di Kalteng Belum Bisa Ditanami
Ratusan hektar lahan ”food estate” dalam program ekstensifikasi atau cetak sawah yang baru sudah setahun lebih tidak bisa ditanami. Berbagai masalah muncul, salah satunya pendampingan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu anggota Kelompok Tani Parit Pemerintah di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, berjalan di pematang sawah barunya pada Sabtu (8/10/2022). Warga yang sebelumnya merupakan peladang butuh pendampingan dari pemerintah karena sawah merupakan hal baru.
PULANG PISAU, KOMPAS – Peladang peserta program strategis nasional lumbung pangan atau food estate di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, butuh didampingi. Mengolah sawah adalah pengalaman baru dalam kehidupan pertanian mereka. Selain itu, ratusan hektar sawah yang sudah dibuat sejak setahun lalu hingga kini belum bisa ditanami.
Program cetak sawah baru ini setidaknya dilakukan di dua desa di Kabupaten Pulang Pisau. Keduanya adalah Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya dan Desa Mulya Sari, Kecamatan Pandih Batu.
Di Pilang, ladang-ladang masyarakat Dayak yang selama delapan tahun terakhir tidak lagi dikelola, berubah menjadi sawah. Ladang yang sudah menjadi hutan dengan ratusan bahkan ribuan tegakan pohon itu kini menjadi hamparan sawah.
Pematang sawah yang masih dipenuhi batang-batang pohon yang rebah. Beberapa peladang bahkan sudah membuat pondok di kawasan tersebut untuk tempat tinggal.
Emek (65), anggota Kelompok Tani Parit Pemerintah, berjalan di antara padi yang sudah ditanam pada Sabtu (8/10/2022). Ia hanya satu dari belasan orang yang tetap menanam padi meski sebelumnya belum pernah bersawah.
Akan tetapi, masalah baru muncul. Pola tanam yang tidak seragam membuat padi-padi yang sudah berumur 95 hari tu diserang hama. Mereka harus membeli pestisida untuk menyemprot hama. Mereka juga membuat jaring dan menjaga padi itu siang dan malam.
Emek (65), peladang tradisional Dayak di Desa Pilang, mengatakan baru pertama kali bertani di sawah. Sebelumnya, ia hidup dari ladang dengan cara tebas bakar dan menanam benih padi lokal yang jumlahnya ada 19.
Kini, karena sudah tidak pernah berladang. Larangan membakar membuat Emek kehilangan benih lokal di rumahnya. Semuanya habis digiling untuk kebutuhan makan dan sekarang dia menggantungkan hidup dari padi sawah.
”Awalnya diberi bantuan kapur, pupuk, dan benih, tapi bantuannya datang terlalu cepat, jadi benihnya sudah tidak bisa dipakai. Terpaksa saya beli benih baru,” ungkapnya.
Salah satu kawasan cetak sawah yang sudah satu tahun tak bisa ditanami karena tak ada jalan masuk ke petak-petak sawah yang baru dibuat di pinggir Sungai Kahayan, Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Minggu (9/10/2022).
Bagi Emek, mengeluarkan uang lebih banyak tak jadi masalah selama ia bisa menggerakkan badannya lagi untuk berladang.
Emek merupakan salah satu anggota kelompok tani yang tetap nekat menanam. Padinya pun berbeda-beda di satu petak, ada yang tinggi ada yang pendek, ada yang berdaun agak lebar, ada juga yang berdaun tajam. Penyebabnya, dia masih menanam berbagai jenis padi, sama seperti yang ia lakukan dulu.
”Benih ini juga enggak tau beli di mana, saya hanya titip saja,” ujar Emek.
Emek masih beruntung. Kepala Desa Pilang Rusdi tidak seperti dia. Rusdi masih belum bisa menanam padi. Lahannya bahkan belum dibuka dan masih berupa hutan. Ia juga menyebut, masih ada petani lain di pinggir Sungai Kahayan yang belum bisa menanam akibat keterbatasan akses.
”Mungkin baru 10 persen saja yang menanam tapi bukan berarti gagal. Kami jangan ditinggalkan. Ini hal baru, harusnya pendampingan bisa lebih intensif, karena saya yakin ini lima tahun saja hasilnya akan luar biasa,” kata Rusdi.
Rusdi menjelaskan, di desanya terdapat 1.060 hektar ladang berubah menjadi sawah. Sawah itu dibagikan ke 17 kelompok tani dengan ukuran lahan paling kecil sekitar 30 hektar.
Masalah lainnya terjadi di Desa Mulya Sari. Di sana, lahan yang sudah menjadi sawah tidak bisa ditanami. Penyebabnya, lahan direndam banjir pasang surut dalam dua tahun terakhir.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Mulya Sari Sukirno mengungkapkan, selain hujan, banjir disebabkan saluran irigasi lawas yang sudah berusia 25 tahun. ”Irigasi harus dikeruk lagi, diperbaiki,” katanya.
Akibatnya, lahan seluas 103,66 hektar hanya ditumbuhi rumput.Beberapa petani mencoba menanam sayuran dan buah di pematang. Modalnya dirogoh dari kantong sendiri.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu kawasan cetak sawah yang tak bisa ditanami padi lantaran irigasi belum berfungsi di Desa Mulya Sari, Kecamatan Pandih Batu, Pulang Pisau, Kalteng, MInggu (9/10/2022). Sawah-sawah ini kini ditumbuhi semak belukar.
Di kedua desa itu, pencetakan sawah baru sudah terjadi sejak 2021. Namun, sampai saat ini belum bisa maksimal digunakan. Pupuk dan kapur pun masih ada di pinggir jalan raya tak digunakan lantaran tanahnya belum siap.
Dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Food Estate dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan rapat terbatas Presiden Jokowi bersama para menteri pada 23 September 2020, target pemerintah lebih luas dari yang sudah dilaksanakan saat ini.
Dari data KLHS, luas lahan persawahan dengan irigasi mencapai 148.267,88 hektar. Sementara luas kawasan tanpa irigasi 622.332,60 hektar. Dengan demikian, total luas lahan sesuai komoditas pertanian di lahan eks PLG mencapai 770.800,48 hektar atau lebih dari 10 kali luas Provinsi DKI Jakarta.
Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (TPHP) Kalteng menunjukkan data bahwa total 16.644 hektar lahan sudah dibuka untuk jadi sawah. Kepala Dinas TPHP Provinsi Kalteng Sunarti mengaku pihaknya sudah mendampingi petani. Pihaknya juga terus berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk persoalan irigasi.
”Masalahnya memang lahannya banyak, tetapi tenaga kerjanya masih kurang,” kata Sunarti.
Direktur Walhi Kalteng Bayu Herinata meminta pemerintah segera menghentikan program itu. Program itu berpotensi memicu bencana seperti proyek serupa tahun 1995 yang rentan memicu kebakaran. Selain itu, petani yang dipaksa untuk tiga kali panen dalam setahun, tidak bisa memenuhi target itu.
”Mereka (petani) kini kembali ke setahun dua kali panen atau IP 200. Target peningkatan hasil pertanian untuk menyejahterakan petani nyata tidak terpenuhi. Bukan, untung petani malah buntung,” ungkap Bayu.