Bertani Kita Teguh, Tak Bertani Kita Runtuh
Indonesia kaya akan beragam sumber makanan dan masyarakat adatnya, seperti suku Dayak, memiliki pengetahuan lokal dalam menjaga benih-benih pangan lokal mereka. Mereka menjaga pangannya, dimulai dari benih.
Sejak masifnya alih fungsi hutan dan larangan membakar, banyak orang Dayak tak lagi bisa berladang. Dampaknya bukan hanya pada lunturnya kebudayaan tetapi juga benih-benih perkasa yang hilang. Di ujung Kalimantan Tengah, jauh dari hiruk pikuk, masyarakat adat berupaya mengumpulkan benih untuk dijaga.
R.K Maladi, peladang asal Kubung, Kabupaten Lamandau, Kalteng, pada Rabu (21/9/2022) mengambil sejumput padi bermalai dari jurung atau lumbung padi khas Dayak Tomun. Jurung itu dibuat sama persis seperti rumah adat mereka, berupa rumah panggung kayu dengan tinggi kurang lebih 2 meter.
Maladi saat itu menunjukkan salah satu benih padi yang dikenal dengan nama bangkal pakutut. Padi bermalai itu nampak biasa saja seperti bulir padi lainnya. Tetapi saat dilihat dari dekat,bulirnya cukup panjang dan lebar.
Menurut Maladi, padi jenis ini hampir tidak pernah ada warga sekitar yang mau makan. Jenis padi lokal itu dinilai benih yang paling buruk. Bahkan, ada cerita khas di kampung itu bahwa jika sudah digiling beras jenis itu bisa membuat anjing pingsan jika dilempar ke kepalanya.
”Meski keras dan rasanya gak terlalu enak, ini habut (benih warisan orang tua) jadi sejelek apapun benih itu, pasti kami tanam,” ungkap Maladi.

Berbagai peralatan berladang khas masyarakat adat Dayak Ngaju di Desa Tumbang Oroi, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, pada Sabtu (24/9/2022) ditunjukkan dalam peringatan Hari Tani Nasional 2022. Mereka khawatir perkakas mereka hanya jadi tontonan karena sudah lama tak bisa berladang.
Di desanya, lanjut Maladi, jika ada benih yang tidak ditanam dan dibiarkan mati maka satu keluarga bisa kena tulah dan berbuah kemalangan. ”Sehingga kami tanam semua jenis padi lokal, meski sedikit-sedikit. Dalam logat di sini disebut, monghidopi bonih (menghidupi benih),” katanya.
Meski terdapat kebijakan larangan membakar sejak 2015, masyarakat adat di Kubung tak bisa berpaling dari ladang dan hutannya. Bagi mereka hutan adalah ibu atau dalam bahasa mereka disebut hutan indai kito.
Dua hari berikutnya, Maladi bersama lima peladang asal Desa Kubung lainnya sudah berada di atas bak mobil pikap yang ditutupi terpal. Mereka diundang oleh masyarakat adat di Desa Oroi, Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, jaraknya 614 kilometer menuju desa itu. Jarak itu lebih jauh dari DKI Jakarta ke DI Yogyakarta. Setidaknya mereka menempuh waktu selama 14 jam perjalanan darat.
Mereka mengikuti acara peringatan Hari Tani Nasional pada Sabtu (24/9/2022) yang digagas masyarakat adat Manuhing Raya bersama Yayasan Borneo Institute. Mereka bersama ratusan petani dari lima desa di Manuhing Raya hadir dalam acara tersebut, antara lain Desa Tumbang Oroi, Tumbang Samui, Luwuk Tukau, Tumbang Mantuhe, dan Desa Putat Durei.
Ada banyak acara dalam kegiatan itu, salah satunya diskusi. Berbeda dengan diskusi lainnya, acara itu benar-benar dipandu oleh masyarakat, pejabat dari bupati hingga kepala dinas hadir sebagai pendengar.
Baca juga: Menjaga Ladang Dayak dengan Rumah Benih
Maladi dan Tono menjadi pembicara juga beberapa peladang asal Tumbang Oroi. Mereka berbagi pengetahuan mereka tentang berladang apalagi mereka berasal dari sub suku Dayak yang berbeda, Maladi berasal dari Dayak Tomun sedangkan Yurtie (43), yang dari Desa Tumbang Samui, merupakan Dayak ngaju.
Mereka memiliki bahasa yang berbeda, benih pangan lokal yang juga berbeda namun memiliki pola tanam yang sama, tebas-bakar. Sayangnya, di tempat Yurtie, berladang sudah jadi barang mahal karena selain lahan yang kian sempit karena wilayah itu dikepung perkebunan sawit, larangan membakar membuat semuanya kian sulit, serba beli mulai dari beras, sayur, hingga ubi-ubian.
Yurtie merupakan salah satu peladang yang masih membakar dari wilayah itu. Dari 6.311 orang yang saat ini resmi sebagai warga penduduk Manuhing Raya, hanya terdapat 16 orang yang masih berladang di seluruh kecamatan tersebut, padahal luas kawasannya mencapai 60.100 hektar, hampir seluas DKI Jakarta.
”Sekarang ladang saya jauh sekali, untuk ke sana jalan kaki dua jam dari rumah. Jadi saya bikin pondok di sana tinggal di sana sampai panen, kalau enggak gak hidup kami,” kata Yurtie.

Beragam jenis sayuran dan bumbu yang dibudidayakan masyarakat Dayak Ngaju di Tumbang Oroi, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, ditunjukkan dalam peringatan Hari Tani Nasional 2022 pada Sabtu (24/9/2022) lalu.
Maladi menyayangkan hal itu terjadi. Di kampungnya, mereka masih tetap membakar hanya saja memang sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan. Kini, mereka tak lagi sembunyi dan menggarap ladangnya seperti biasa. “Kami tak bisa membiarkan lumbung kami kosong,” ujarnya.
Selain bertukar pengalaman, mereka juga bertukar benih padi lokal. Desa Kubung membawa setidaknya 30 jenis benih lokal untuk diberikan kepada masyarakat adat di Manuhing Raya. Sementara Yayasan BIT mengumpulkan setidaknya 14 jenis padi lokal dari lima desa di wilayah itu sehingga total ada 44 benih padi lokal dan beberapa benih biji-bijian lainnya.
Semuanya disimpan di rumah benih yang dibangun sendiri oleh masyarakat di Tumbang Samui. Direktur Yayasan BIT Yanedi Jagau mengungkapkan, pihaknya hanya memfasilitasi masyarakat adat di lima desa tersebut. Gagasan untuk menjaga benih itu datang atas kesadaran mereka betapa pentingnya benih padi lokal bagi kehidupan mereka, tak hanya sebagai orang Dayak tetapi sebagai manusia.
”Tanah hilang di Kalteng itu bukan hal baru, tapi sudah tanah gak ada benih juga gak ada itu bencana,” ungkapnya.
Baca juga: Dituduh Curi Sawit Perusahaan Sembilan Warga Manuhing Ditangkap
Menurut Jagau, tanah bisa direbut atau diambil kembali jika memang beririsan dengan konflik, tetapi benih yang merupakan produk teknologi ratusan tahun para leluhur Dayak sulit didapat kembali ke bentuk sempurnanya.
”Kami khawatir ada perubahan pola berladang dengan penyeragaman jalan pangan jika melihat program pemerintah yang memberikan benih padi unggulan dan disamakan di semua tempat termasuk di Kalimantan,” kata Yanedi.

Warga Tumbang Oroi, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menyiapkan benih-benih tanaman lokal khas Dayak yang diambil dari lingkungan sekitar mereka, termasuk hutan yang kian sempit, pada Minggu (24/9/2022).
Tanah, bagi orang Dayak Ngaju, merupakan napas kehidupan atau yang dikenal dengan sebutan petak tahaseng pambelum. Tanpa lahan atau tanah itu peladang atau petani Dayak, tambah Jagau, bukan siapa-siapa.
Sayangnya, tanah di Gunung Mas juga terus berkurang karena banyak ladang mereka yang masih berupa hutan sekunder beralih fungsi. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Tengah, luas perkebunan sawit tahun 2016 di Gunung Mas hanya 35.381 hektar menjadi 99.299 hektar di tahun 2017 lalu bertambah sedikit di tahun 2018 menjadi 99.249 hektar.
Kecamatan Manuhing Raya memang dikelilingi perusahaan perkebunan kelapa sawit, konflik lahan pun tak terhindarkan. Kompas mencatat, pada April lalu sembilan orang ditangkap polisi dan setidaknya terdapat 30 orang lebih kabur dari kampungnya karena takut ditangkap lantaran ikut aksi menuntut perkebunan plasma salah satu perusahaan perkebunan sawit di dekat kampung tersebut. Kini sebagian besar dari sembilan orang itu sudah disidang dan divonis bersalah (Kompas, 25 April 2022).

Cara orang Dayak membuat masakan khas mereka dengan cara dikukus dan dibungkus daun pisang, orang lain mengenalnya dengan pepes ikan. Masakan ini juga ikut dilombakan dalam peringatan Hari Tani Nasional 2022 pada Sabtu (24/9/2022) lalu.
Gizi tinggi
Tanah menjadi penting karena di atas tanah orang Dayak ber-malan atau berladang. Pengetahuan mereka tentang keberagaman pangan penting untuk kebutuhan gizi mereka dan keluarganya. Mereka tahu betul betapa sehatnya pangan mereka di ladang, bahkan pangan liar.
Ada banyak tanaman liar yang biasa masyarakat Dayak konsumsi dari sekitar ladangnya, mulai dari kelakai (Stenochlaena palutris), bajei (Ceratopteris thalictroddhes Brongn), dan rimbang asam (Solanum ferox) yang dibawa Yuniarti (39) dari Tumbang Oroi saat demo memasak masakan tradisional di desanya.
Tanaman liar yang diambil Yuniarti dari hutan di belakang rumahnya itu sudah memiliki nilai gizi tinggi. Kajian Daisy Irawan dan tim dalam di jurnal Tropics (2016) menyebut, kandungan gizi kelakai di antaranya zat besi atau Fe (41,53 ppm) dan beta karoten (66,99 ppm).
”Gak hanya makan, saya juga jualan sayur-sayur ini,” ungkapnya.

Beragam jenis masakan khas Dayak ditunjukkan dalam kompetisi memasak dalam memperingati Hari Tani Nasional 2022 di Desa Tumbang Oroi, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, Sabtu (24/9/2022).
Masyarakat adat Dayak percaya betul pada lumbung pangannya di ladang mampu memenuhi kebutuhan gizi mereka. Meski tak banyak dibantu, mereka percaya bahwa pangan lokal merupakan masa depan yang harus dijaga. Mereka tak mau lumbung pangannya runtuh, dari itu mereka tetap bakal berladang.
Baca juga: Robohnya Lumbung Pangan Dayak Kalimantan