Rentetan kriminalitas bersenjata api yang dilakukan oleh sipil di Provinsi Aceh adalah ancaman besar bagi perdamaian di Tanah Rencong. Kondisi ini menunjukkan perdamaian di Aceh belum kokoh.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Rentetan kriminalitas bersenjata api yang dilakukan oleh warga sipil di Provinsi Aceh menjadi ancaman besar bagi perdamaian di Tanah Rencong. Perdamaian di Aceh ternoda oleh kriminalitas bersenjata. Kultur kekerasaan belum sepenuhnya bisa tanggal. Perdamaian perlu dikuatkan agar pembangunan Aceh bisa mulus melaju.
Kasus terakhir adalah penembakan dua warga Desa Aneuk Glee, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, yakni Ridwan (38) dan Maimun (38). Keduanya ambruk dari atas sepeda motor setelah dihajar peluru panas, Kamis (12/5/2022). Dengan sisa tenaga, Maimun masih bisa mengambil telepon gengam dan menghubungi salah seorang kerabat untuk meminta pertolongan. Kedua korban lantas dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin Banda Aceh, sekitar 30 kilometer dari lokasi. Namun, karena kehabisan banyak darah, keduanya meninggal keesokan harinya.
Di tempat kejadian, petugas menemukan empat selongsong peluru kaliber 5,56 milimeter. Polisi menduga peluru dilepaskan dari senjata api laras panjang. Peluru 5,56 mm bukan amunisi biasa. Kaliber itu dipakai untuk senjata tempur seperti SS1 atau M16. Keberadaan kedua senjata itu marak dipakai TNI/Polri dan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat masa konflik di Aceh. Setelah perdamaian tahun 2005, banyak senjata api milik GAM dipotong memakai gergaji mesin.
Atas kejadian itu, Kepolisian Daerah Aceh telah menahan enam tersangka. Adapun sang eksekutor masih buron dan senjata yang dipakai untuk menembak korban belum ditemukan.
Yang mengejutkan, salah satu tersangka dari enam tersangka yang ditetapkan polisi adalah tokoh partai lokal bernisial AB. Ketua Dewan Pengurus Wilayah Partai Aceh Kota Banda Aceh yang juga seorang pengusaha kilang kayu itu diduga menjadi dalang di balik penembakan itu. Kasus itu bukan kasus pertama kriminalitas menggunakan senjata api di Aceh.
Partai Aceh didirikan oleh para mantan kombatan GAM. Perjanjian perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 telah menghentikan pergerakan bersenjata. Eks GAM mendirikan partai yang kemudian banyak mengantarkan tokoh mereka menjadi kepala daerah dan anggota legislatif.
Menurut polisi, AB menyuruh orang lain untuk membunuh Ridwan karena kerap merecoki bisnis kilang kayu miliknya. Adapun rekan Ridwan, Maimun, ditembak untuk menghilangkan saksi.
Kabid Humas Polda Aceh Komisaris Besar Winardy menyebutkan motif penembakan karena bisnis, bukan aktivitas politik. ”Tidak ada hubungan dengan kelompok tertentu, ini murni kriminal biasa,” kata Winardy. Ia menegaskan bahwa Aceh dalam keadaan yang damai. Dia meminta para pihak tidak mengaitkan kriminal bersenjata di Aceh dengan kelompok tertentu, termasuk eks kombatan GAM.
Bukan kriminal biasa
Namun, dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Al Chaidar, berpendapat, kekerasan bersenjata tidak dapat dipandang sebagai kriminal biasa. Sebab, penggunaan senjata api oleh sipil dapat mengganggu keamanan dan perdamaian.
Beberapa kasus kriminal bersenjata di Aceh yang dilakukan sipil melibatkan eks kombatan. Menurut Al Chaidar, kondisi ini menunjukkan kultur kekerasan yang kerap dilakukan saat konflik belum mampu ditanggalkan.
”Penembakan dan kekerasan itu adalah kultur yang dilakukan masa konflik. Padahal sudah damai, seharusnya pola kekerasan tidak dilakukan lagi,” katanya.
Orang-orang yang terlatih menggunakan senjata api, selain aparat negara adalah eks kombatan dan milisi. Namun, belakangan bandar narkoba juga disebut memiliki senjata api. ”Namun, polisi tidak mau mengait-ngaitkan dengan latar belakang mereka (pelaku) untuk menjaga situasi damai,” kata Al Chaidar.
Catatan Kompas sejak 2011 hingga 2022 terjadi delapan kasus penembakan oleh sipil. Kejadian itu tersebar di Aceh Besar, Banda Aceh, Bireuen, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Barat. Sebanyak 13 orang tewas. Dari kasus-kasus tersebut, sebagian pelaku adalah eks kombatan.
Korban bukan hanya warga sipil, melainkan juga dari kalangan militer. Komandan Badan Intelijen Strategis Pidie bahkan tewas ditembak dari jarak sangat dekat pada November 2021.
Al Chaidar mengatakan, keterlibatan eks kombatan dalam kasus kriminal bersenjata karena proses reintegrasi mereka dari situasi konflik ke kehidupan normal tidak sepenuhnya berhasil. ”Mereka masih hidup dalam dua alam; konflik dan perdamaian. Saat ada masalah mereka cenderung menggunakan kekerasan. Mereka belum terbiasa dengan jalan damai,” katanya.
Pendidikan perdamaian dan sosialisasi kehidupan bernegara minim dilakukan kepada eks kombatan. Padahal, mereka salah satu aktor yang terlibat dalam konflik.
Ketidakadilan pembangunan pascadamai akan melahirkan kekecewaan yang dapat berdampak pada peningkatan kriminalitas. (Azhari Cagee)
Al Chaidar khawatir jika jalan kekerasan masih menjadi pilihan, perdamaian Aceh terancam. Imbasnya calon investor akan takut masuk ke Aceh. ”Jika tidak ada jaminan keamanan, jangan berharap investasi akan masuk,” katanya.
Maraknya kasus kriminal bersenjata menandakan senjata api ilegal masih beredar di Aceh. Sebagian senjata yang digunakan merupakan senjata bekas konflik yang tidak terdata untuk dimusnahkan.
Direktur Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Hak Asasi Manusia Aceh Khairil Arista menuturkan, senjata ilegal yang beredar di Aceh dapat menjadi ancaman bagi proses pembangunan perdamaian. ”Perdamaian sedang kita rajut. Kriminal bersenjata dapat menghadirkan trauma bagi warga Aceh. Jangan sampai ulah oknum menodai lembaran perdamaian,” ujarnya.
Khairil mendorong kepolisian dan untuk menyisir keberadaan senjata ilegal yang dikuasai sipil agar tidak digunakan untuk kriminal. Ia juga berharap pendidikan perdamaian kepada eks kombatan dan generasi muda Aceh diperkuat. ”Konflik membuat Aceh tertinggal dalam banyak hal. Perdamaian memberi harapan untuk pembangunan. Jangan sampai kita kembali ke masa lalu,” katanya.
Pasca-perdamaian, Aceh telah membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Lembaga ini mendapat tugas untuk menjalankan program penguatan perdamaian.
Ketua Badan Reintegrasi Aceh Azhari Cagee menuturkan, menjaga perdamaian tugas mahaberat yang harus diemban semua pihak di Aceh dan pemerintah. Perdamaian akan sukar dirawat apabila kesejahteraan korban konflik dan eks kombatan belum baik.
Masih banyak eks kombatan dan korban konflik yang hidup melarat. ”Jika ekonomi mereka tidak diperbaiki, mereka rawan terprovokasi untuk melakukan kriminal,” kata Azhari. Dia berharap pemerintah menunaikan semua poin dalam nota perjanjian damai, salah satunya pembagian lahan pertanian untuk eks kombatan masing-masing 2 hektar yang hingga kini belum tuntas.
Sebenarnya BRA memiliki program pemberdayaan ekonomi eks kombatan dan korban konflik, tetapi anggaran yang dikelola minim. ”Dari Rp 8 triliun dana otonomi khusus setahun, BRA hanya diberikan Rp 16 miliar, hanya cukup untuk gaji staf dan operasional. Idealnya BRA dialoaksikan Rp 500 miliar,” ujar Azhari yang juga mantan kombatan.
Terkait dengan kriminal bersenjata, Azhari berharap tidak dikaitkan dengan eks kombatan. ”Kami (eks kombatan) komitmen menjaga perdamaian. Namun, dana otonomi khusus harusnya diutamakan untuk korban konflik, eks kombatan, dan eks tahanan politik/narapidana politik,” ujarnya.
Azhari mengatakan, ketidakadilan pembangunan pascadamai akan melahirkan kekecewaan yang dapat berdampak pada peningkatan kriminalitas.