Penembakan oleh Warga Sipil di Aceh Dinilai Bukan Kriminal Biasa
Polisi dan TNI diminta mengusut tuntas kriminalitas yang dilakukan warga sipil menggunakan senjata api di Provinsi Aceh. Sejumlah pihak menduga itu bukan kriminal biasa, apalagi sasarannya penegak hukum.
Oleh
ZULKARNAINI MASRY
·5 menit baca
Sejumlah pihak menilai kriminalitas yang dilakukan warga sipil menggunakan senjata api di Provinsi Aceh bukan kriminal biasa. Apalagi, sasaran serang adalah aparat penegak hukum. Polisi dan TNI diminta mengusut tuntas kasus-kasus penembakan itu hingga ke titik asal-muasal senjata.
Dalam satu pekan akhir Oktober 2021, publik Aceh dikejutkan dengan terjadinya tiga peristiwa kriminalitas yang berurutan, yakni penembakan Komandan Tim Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI wilayah Pidie, penembakan pos polisi di Aceh Barat, dan perampokan bersenjata di Aceh Timur.
Penembakan Komandan Tim BAIS Kapten Abdul Majid terjadi pada Kamis (28/10/2021) petang. Korban meninggal setelah ditembak menggunakan senapan serbu SS1-V2. Kepolisian menyebutkan itu adalah senjata sisa konflik Aceh.
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Komisaris Besar Winardy mengatakan, pihaknya telah menangkap tersangka pelaku penembakan yang merupakan warga sipil, yakni D (43) seorang petani, M (41) wiraswasta, dan F (42) tukang cukur.
Polisi menyimpulkan motif penembakan itu adalah perampokan sebab uang milik korban senilai Rp 35 juta diambil para pelaku. Jika benar karena motif perampokan, kondisi ini sangat meresahkan warga sebab seorang aparat penegak hukum pun menjadi sasaran perampokan.
Beberapa jam sebelum penembakan Komandan BAIS Pidie, terjadi penembakan pos polisi di Desa Manggi, Kecamatan Panton Reu, Kabupaten Aceh Barat, tepatnya pada pukul 03.15 WIB. Pos polisi diberondong dengan senapan serbu proyektil 5,56 milimeter.
Awalnya polisi menangkap lima terduga pelaku, tetapi yang ditahan hanya DP. Akan tetapi, setelah dilakukan pemeriksaan lebih dalam, DP dilepaskan. Belakangan, polisi menangkap JH yang sampai kini masih dalam pemeriksaan polisi.
”JH mengaku terlibat penembakan. Dia berperan sebagai pemantau sekaligus operator komunikasi HT (handy talky),” kata Winardi.
Winardy mengatakan, motif penembakan karena pelaku marah dengan polisi sebab pelaku menjadi target operasi atas perbuatan merampok penampang emas. Meski tidak ada korban perampokan yang melapor kepada polisi, kata Winardy, pihaknya berinisiatif memburu pelaku.
Untuk diketahui, di kawasan tersebut terdapat aktivitas pertambangan emas ilegal di kawasan hutan. Aktivitas tambang ilegal itu disokong oleh pemodal. Beberapa kali pernah ditindak, tetapi belakangan semakin masif.
Tiga hari kemudian, di Kabupaten Aceh Timur, terjadi perampokan sebuah toko pakaian. Pelaku menodongkan pistol ke arah pemilik dan pengunjung, Minggu (31/10). Mereka mengambil uang senilai Rp 140 juta.
Polisi telah menangkap empat tersangka dan menyita senjata api yang pelaku gunakan. Akan tetapi, polisi masih mendalami dari mana senjata itu diperoleh.
Terhadap tiga peristiwa itu, Winardy menyebutnya itu adalah kriminal biasa sehingga warga tidak perlu khawatir dan takut. ”Warga Aceh agar tetap tenang. Kami menjamin kondusivitas wilayah Aceh,” katanya.
Meski demikian, sejumlah pihak menilai tiga kasus kriminal yang dilakukan oleh sipil menggunakan senjata api harus dipandang sebagai persoalan serius. Kasus itu mengonfirmasi senjata api masih beredar di kalangan sipil. Penguasaan senjata api oleh sipil bisa dikenakan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Dosen Antropologi dan Pengamat Teroris dari Univeritas Malikussaleh Lhokseumawe, Al Chaidar, menuturkan, polisi harusnya tidak melihat kasus itu sebagai kriminal biasa. Sebab, selain karena menggunakan senjata api, sasarannya adalah aparat penegak hukum.
Ia melihat ada dua hal terkait kasus penembakan anggota BAIS TNI. Ada kemungkinan penembakan itu karena proses serah terima senjata yang gagal atau dia menduga pelaku memiliki jaringan ke kelompok etnonasionalis yang masih menginginkan kemerdekaan.
Al Chaidar mengatakan, pengelolaan pemerintahan yang buruk dan korupsi yang masif dapat memicu perlawanan kelompok-kelompok etnonasionalis.
Bagi Al Chaidar, penembakan TNI dan pos polisi sangat mengejutkan sebab selama ini kondisi Aceh dalam keadaan damai dan kondusif. Dia khawatir aksi kriminal bersenjata menghadirkan trauma bagi warga Aceh. ”Kasus ini harus diusut tuntas mulai dari jaringan hingga siapa pemasok senjata,” kata Al Chaidar.
Kasus ini harus diusut tuntas mulai dari jaringan hingga siapa pemasok senjata.
Tiga peristiwa kriminal oleh sipil menggunakan senjata api juga menunjukkan senjata api masih beredar di kalangan sipil. Al Chaidar mendorong kepolisian untuk mengumpulkan data-data kelompok sipil yang masih menyimpan senjata.
”Sepertinya pemerintah tidak ingin mengaitkan dengan kelompok etnonasionalis karena menganggap merusak perdamaian Aceh. Saya melihat pemerintah takut terhadap kelompok sipil demokratik,” kata Al Chaidar.
Menurut Al Chaidar, kelompok kriminal bersenjata rentan dimanfaatkan oleh kelompok fundamentalis agama atau jihadis. Jika dua kelompok ini bersatu, akan lahir gerakan teroris yang mengerikan. Oleh sebab itu, deteksi dini untuk mencegah sangat penting.
Direktur Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Hak Asasi Manusia Aceh Zulfikar Muhammad punya pandangan lain terhadap penembakan pos polisi di Aceh Barat. Dia menduga kasus itu ada hubungan dengan bisnis tambang emas ilegal di Aceh Barat. Kawasan tersebut memang marak dengan aktivitas pertambangan emas ilegal.
Zulfikar mengingatkan polisi agar melakukan penyelidikan secara profesional sehingga tidak ada potensi salah tangkap. ”Paling terjadi konflik sumber daya alam, rebut-rebutan area (tambang). Ini harus didalami, apakah ada kaitan sumber daya alam pada insiden ini,” kata Zulfikar.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Hendra Saputra juga menyatakan peristiwa penembakan pos polisi dan penembakan anggota TNI itu harus diusut tuntas agar publik mengetahui motifnya sehingga tidak memunculkan dugaan-dugaan.
”Pengusutan bukan hanya pada tahap siapa pelaku, melainkan juga motifnya. Institusi aparat penegak hukum harus menjadikan kasus itu untuk evaluasi internal,” ujar Hendra.
Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Safaruddin, aparat penegak hukum harus menghukum keras pelaku kekerasan dengan menggunakan senjata api. Tindak kriminal seperti itu dapat merusak citra damai Aceh dan menghadirkan trauma bagi warga.
Gangguan keamanan juga berpotensi menghambat pembangunan dan investasi di Aceh. Padahal, 16 tahun perdamaian Aceh sedang fokus membangun infrastruktur dan membuka diri untuk investor.
”Kita tidak ingin kembali ke masa konflik. Karena itu, setiap kekerasan dan kriminal harus ditindak tegas,” ujar Safaruddin.