Aceh dalam Pasung Korupsi
Kasus korupsi di Provinsi Aceh terus berulang. Pelakunya mayoritas aparatur sipil negara dan rekanan. Selain karena pengawasan internal yang lemah, rendahnya integritas pengelola anggaran publik memicu korupsi.
Kasus korupsi bertubi-tubi terjadi di Provinsi Aceh. Dari kasus korupsi telur ayam, pembenihan sapi, hingga beasiswa pendidikan. Sebagian pejabat di Aceh tidak belajar dari kasus korupsi sebelumnya, atau integritasnya yang memang rendah.
Setelah melakukan penyidikan selama setahun, Kepolisian Daerah Aceh menetapkan sembilan tersangka dalam kasus pengadaan, penggemukan, dan pembenihan sapi di Unit Pelaksana Teknis Daerah Inseminasi Buatan dan Inkubator (UPTD-IBI) Saree, Kabupaten Aceh Besar. Program ini berada di bawah Dinas Peternakan Aceh.
Penetapan tersangka diumumkan oleh Direktur Kriminal Khusus Polda Aceh Komisaris Besar Sony Sonjaya, Rabu (18/8/2021). Para tersangka adalah ZA, SS, AK, DW, AH, IPS, dan HA. Mereka adalah aparatur sipil negera. Sedangkan dua tersangka lain adalah rekanan/swasta yakni KW dan SY.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Wilayah Aceh, menemukan kerugian negara mencapai Rp 1,2 miliar.
Baca juga: Ketua KPK: Jangan Ada lagi Korupsi di Aceh
Penyidik menemukan induk sapi tidak dibeli dari pusat pembibitan, namun dari pasar bebas. Ini jelas menyalahi kontrak.
Sony mengatakan program yang dibiayai dana otonomi khusus itu bermasalah sejak pengadaan induk sapi. Penyidik mencari alat bukti hingga ke Pulau Jawa. Dari penyidikan itu ditemukan induk sapi tidak dibeli dari pusat pembibitan, namun dari pasar bebas. Ini jelas menyalahi kontrak.
Kasus monumen kerajaan
Satu pekan sebelumnya, Kejaksaan Negeri Aceh Utara menetapkan lima tersangka korupsi pembangunan monument Kerajaan Samudera Pasai. Tiga tersangka pegawai negeri dan dua tersangka rekanan.
Monumen itu dibangun untuk mengenang kejayaan kerajaan Islam pertama di Nusantara dan menjadi objek wisata sejarah. Namun, bangunan tidak sesuai dengan spesifikasi karena anggarannya diduga dikorupsi.
Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Utara Diah Ayu Hartati menuturkan, negara mengalami kerugian Rp 20 miliar dari pagu Rp 49 miliar. Pembangunan monumen itu dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun jamak, di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Diah mengatakan, dari hasil pemeriksaan saksi, dokumen, dan fisik bangunan ditemukan dugaan penyimpangan. Salah satunya perubahan spesifikasi mutu beton dari seharusnya K 500 menjadi K 250. Bahkan, saat diuji menggunakan hammer test atau alat uji kekuatan beton, hasilnya bervariasi yakni K 200, K 140, dan K 120. Dengan mutu beton seperti itu, dikhawatirkan tidak mampu menopang menara setinggi 71 meter.
Baca juga: Dugaan Korupsi Peremajaan Sawit dan Tembakau Agar Dituntaskan
“Bangunan tersebut memiliki pondasi yang tidak kokoh, padahal dari luar terlihat megah. Saya khawatir bangunan itu tidak tahan gempa,” ujar Diah.
Hasil penelusuran Kompas, dalam kurun 2020-2021, terdapat delapan kasus korupsi di Aceh yang telah ditetapkan tersangka. Kasus korupsi tersebar di beberapa kabupaten ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Mayoritas program yang dikorupsi itu dibiayai dana otonomi khusus.
Nilai kerugian negara dari delapan kasus tersebut mencapai Rp 33,5 miliar. Nilai kerugian negara setara dengan 6.700 unit toilet untuk rumah warga miskin atau 372 unit rumah layak huni untuk warga duafa.
Mufakat jahat
Dari delapan kasus korupsi yang sedang ditangani itu, jumlah tersangka sebanyak 34 orang, Sebanyak 12 orang di antaranya adalah rekanan/swasta.
Kepala Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) Mahmuddin menuturkan, dalam kasus korupsi proyek yang dibiayai uang negara, biasanya melibatkan aparatur negara sipil (ASN) dan rekanan. Aparatur negara sebagai pengambil kebijakan dan rekanan sebagai pelaksana.
Dalam kasus itu, dipastikan mereka bersepakat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sebab, jika salah satu pihak tidak bersedia, maka penyimpangan tidak akan terjadi.
"Adanya mufakat jahat antara ASN dana rekanan. Jadi korupsi memang direncanakan," kata Mahmuddin.
Baca juga: Dugaan Korupsi Beasiswa Aceh, Negara Rugi Rp 10 Miliar
Adanya mufakat jahat antara ASN dana rekanan. Jadi korupsi memang direncanakan (Mahmuddin)
Mahmuddin menambahkan dalam beberapa kasus, keinginan korupsi telah diatur sejak program dirancang. Di sisi lain, pengawasan internal sangat lemah sehingga korupsi mudah terjadi.
Salah satu kasus yang kini jadi perhatian publik di Aceh korupsi beasiswa dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Tidak tanggung-tanggung, hasil audit BPKP Aceh, dari pagu Rp 21,7 miliar negara mengalami kerugian Rp 10 miliar atau nyaris separuhnya.
Kasus ini dalam penyelidikan Polda Aceh dan belum ada penetapan tersangka. Namun, Humas Polda Aceh Kombes Winardy mengatakan pihaknya sedang mencari alat bukti tambahan agar segera dapat menetapkan tersangka. Puluhan saksi telah diperiksa, mulai dari penerima beasiswa, pegawai di instansi pengelola beasiswa, dan anggota DPR Aceh sebagai pemilik program.
Hambat pembangunan
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh Indra Khairan menuturkan, korupsi bukan hanya merugikan negara. Warga juga dirugikan karena tidak mendapatkan manfaat dari program itu.
Dalam kata lain, korupsi menghambat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan warga. Dia mencontohkan, program beasiswa seharusnya dapat dinikmati utuh oleh mahasiswa untuk menyelesaikan studinya, namun dipotong oleh oknum.
Temuan pelanggaran hukum dan kerugian keuangan negara membuktikan bahwa lemahnya pemerintah mengontol pengelolaan keuangan. Semua itu akan dapat terlaksana dengan komitmen kepala daerah (Indra Khairan)
Baca juga: Presiden Minta Dana Otsus Aceh Tepat Sasaran
“Temuan pelanggaran hukum dan kerugian keuangan negara membuktikan bahwa lemahnya pemerintah mengontrol pengelolaan keuangan. Semua itu akan dapat terlaksana dengan komitmen kepala daerah,” ujar Indra.
Harapan terbesar pencegahan korupsi ada pada komitmen kepala daerah. Namun, dalam konteks Aceh, gubernur yang diharapkan berada di depan melawan korupsi, justru tersandung kasus korupsi. Mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf divonis bersalah karena suap dana otonomi khusus bersama mantan Bupati Bener Meriah, Ahmadi.
Dihubungi terpisah Juru Bicara Pemprov Aceh Muhammad Mta mengatakan pemerintah tidak bisa menjamin semua aparatur taat aturan dalam mengelola anggaran. “Pemprov Aceh hanya bisa menyampaikan kepada semua pejabat agar bekerja sesuai aturan dan jangan korupsi,” kata Muhammad.
Muhammad menambahkan, kerja aparatur Pemprov Aceh diawasi oleh kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan publik. Jika ada oknum pejabat yang korupsi, konsekuensinya diproses hukum.
“Apabila ada yang terindikasi melakukan korupsi, itu tentu kewenangan aparat penegak hukum. Namun, tetap mengedepankan praduga tidak bersalah sampai dibuktikan di pengadilan,” ujar Muhammad.
Integritas rendah
Koordinator Masyarakat Transaparansi Anggaran (MaTA) Alfian punya pandangan lain terhadap kasus-kasus korupsi di Aceh. Di luar pengawasan yang lemah, Alfian melihat integritas aparatur sipil negara masih rendah sehingga mudah tergoda untuk korupsi anggaran publik.
Integritas yang rendah memicu korupsi (Alfian)
Baca juga: Kejaksaan Dalami Dugaan Korupsi Dana Otsus Aceh
Alfian menuturkan para aparatur negara yang tersandung korupsi rata-rata berpendidikan sarjana yang tahu aturan. “Integritas yang rendah memicu korupsi,” ujar Alfian.
Integritas tinggi, menurut dia, seharusnya menjadi syarat dalam menempatkan seseorang pada jabatan penting agar tidak melakukan korupsi.
Setiap tahun ada saja kasus korupsi di Aceh yang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan. Sepertinya bagi aparatur sipil negara di provinsi berjuluk Serambi Mekkah tidak menjadikan pelajaran dari kasus-kasus itu.