Kisah Taufik, Tertembak Saat Berusia Dua Tahun dalam Konflik Aceh
Perdamaian Aceh kini berusia 16 tahun. Melalui dana otonomi khusus, Aceh terus membangun. Namun, penyelesaian hak reparasi korban konflik masih belum tuntas, padahal keadilan ekonomi dan pemulihan trauma korban penting.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Saat berusia dua tahun, Taufik (23), warga Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh, terkena tembakan. Dia adalah korban langsung dari konflik di Aceh. Kini, Aceh sudah damai, tetapi suara korban belum sepenuhnya terdengar.
Dengan mengapit sebuah map, Taufik masuk ke aula tempat seremonial peringatan 16 tahun hari perdamaian Aceh, Minggu (15/8/2021), di Kompleks Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh. Map itu berisi kliping koran tentang berita penembakan yang dia alami saat berusia dua tahun, foto, dan salinan ijazah.
Hari itu dia ingin bertemu dengan Gubernur Aceh Nova Iriansyah atau Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud. Namun, orang yang hendak ia jumpai itu tidak hadir pada acara tersebut.
”Saya mau bertemu untuk menyampaikan harapan sebagai korban konflik. Saya baru selesai kuliah, siapa tahu ada program untuk para korban,” ujar Taufik.
Taufik memperlihatkan kliping koran terbitan Harian Serambi Indonesia. Judul berita ”Bocah 2 Tahun Ditembak”. Bocah dalam berita itu adalah Taufik.
Peristiwa pilu itu terjadi pada Sabtu, 2 Desember 2000. Sore itu Taufik bersama abang dan pamannya jalan-jalan sore menggunakan sepeda motor. Taufik duduk di tengah. Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan seorang anggota TNI yang juga mengendarai sepeda motor.
Saat pamannya sedang ngobrol dengan TNI itu, tiba-tiba dari arah berlawanan datang sebuah sepeda motor. Lalu, dor! Sebuah tembakan merobek dada Taufik. Sebenarnya sasaran tembak adalah anggota TNI, tetapi meleset ke tubuh mungil Taufik.
Mereka langsung tiarap. Sementara pelaku penembakan menghilang.
”Panas, abang minta minum,” ujar Taufik kala itu memegang dada. Darah mengalir deras dari tubuh kecil itu. Tangis pecah. Paman, abang, dan warga panik mendapati sebuah lubang menganga di dada tembus ke punggung bagian kanan.
Lalu, dor! Sebuah tembakan merobek dada Taufik.
Saat itu juga Taufik dibawa ke puskesmas, tetapi puskesmas tidak mampu menangani. Taufik dirujuk ke Banda Aceh, tetapi RS juga tidak mampu menangani hingga akhirnya Taufik diterbangkan ke Medan, Sumatera Utara. Biaya pengobatan ditanggung Danrem 012/Teuku Umar.
Kini Taufik sudah dewasa, luka tembakan sudah pulih, tetapi parut masih ada. Meski saat tertembak berusia dua tahun, dari cerita abang dan ibunya, dia tetap merawat ingatan.
Pada hari peringatan perdamaian, sebagai korban, Taufik ingin suara dan harapannya didengar pemerintah. ”Korban konflik berhak atas dana otonomi khusus,” kata Taufik.
Pada 2006, saat kelas IV SD, dia diberi bantuan tunai oleh Pemprov Aceh Rp 10 juta. Uang itu dipakai untuk biaya sekolah. Hanya sekali itu dia mendapatkan bantuan atas statusnya sebagai korban.
Saat kuliah, dia tidak mendapatkan beasiswa korban konflik. Padahal, setiap tahun, Pemprov Aceh mengalokasikan beasiswa pendidikan. Meski demikian, dia berhasil menamatkan S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh tahun 2021.
”Saya beruntung masih bisa kuliah, tetapi masih banyak korban lain yang tidak bisa kuliah,” ujarnya.
Taufik berharap dana otonomi khusus digunakan untuk reparasi korban konflik. Sebab, menurut dia, perdamaian tanpa pemerataan kesejahteraan dapat memicu persoalan sosial.
Komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Ainal Mardiah, menuturkan, korban konflik di Aceh berhak memperoleh reparasi, seperti jaminan kesehatan, pemulihan trauma, dan pemberdayaan ekonomi.
Pemberian reparasi baru dilakukan pada 2022. Tahap pertama untuk 245 orang korban yang ditetapkan dalam surat keputusan Gubernur Aceh. Sementara jumlah korban yang sudah diambil kesaksian sebanyak 5.400 orang.
Pengambilan kesaksian dilakukan bertahap sampai semua mendapatkan giliran.
”Jumlah kesaksian yang kami ambil 5.400 orang. Kami akan menyusun rekomendasi reparasi mendesak untuk para korban,” ujar Ainal.
Para korban yang memberi kesaksian tersebar di 23 kabupaten di Aceh. Mereka mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, dan penculikan. Ada juga ahli waris yang anggota keluarganya meninggal atau hilang diculik saat konflik.
”Kebutuhan mendesak bagi korban adalah pemulihan kesehatan, psikologis, dan pemberdayaan ekonomi,” ujar Ainal.
Pemberian reparasi baru dilakukan pada 2022. (Ainal Mardiah)
Korban konflik yang diambil kesaksian itu ada pada rentang tahun 1976 hingga 2005. Konflik Aceh dimulai sejak 1976 saat Hasan Tiro mendeklarasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Gunung Halimon, Kabupaten Pidie.
Konflik di Aceh berakhir pada 15 Agustus 2005. Pemerintah RI dan GAM menandatangani perjanjian perdamaian di Helsinki, Finlandia. Salah satu poin dalam naskah perdamaian adalah negara akan menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap korban konflik. KKR Aceh dibentuk untuk memfasilitasi penyelesaian pelanggaran tersebut.
Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Fakrurrazi menuturkan, setiap tahun pihaknya menyalurkan bantuan modal usaha kepada para korban. Namun, karena alokasi anggaran yang minim, jumlah penerima menjadi sedikit. Tahun 2021, 400 korban diberikan modal usaha.
Sementara untuk mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sesuai dengan poin perjanjian perdamaian, mereka berhak mendapatkan hibah lahan seluas 2 hektar per orang. Namun, program hibah lahan pertanian untuk mantan GAM itu belum tuntas.
Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, menuturkan, perdamaian menjadi modal penting bagi Aceh untuk membangun daerah. Berkah damai telah dirasakan oleh warga, tetapi bagi korban belum sepenuhnya menikmati perdamaian.
”Hak korban, mantan kombatan, dan mantan tahanan-narapidana politik harus diberikan agar mereka juga benar-benar merasakan berkah damai,” kata Nasir.
Nasir berharap pemanfaatan dana otonomi khusus tepat sasaran agar makna damai yang sebenarnya dinikmati warga Aceh.