Aceh dikenal sebagai daerah konflik. Sekitar tiga dasawarsa konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia terjadi. Konflik telah menyebabkan segenap sendi kehidupan hancur, terutama di sektor pendidikan dan ekonomi.
Namun, momen tsunami jadi dua sisi mata uang. Di satu sisi, tsunami memberi duka mendalam. Di sisi lain, musibah itu memicu terjadi perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia. Perdamaian itu disepakati di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Damai itu pun membuat kehidupan di Aceh membaik, setidaknya pada pendidikan dan ekonomi.
Konflik memang telah membuat segala sendi kehidupan sosial masyarakat Aceh mati. Betapa tidak, semasa konflik, pada siang hari warga tak bisa bebas beraktivitas, terutama di zona-zona rawan. Beberapa tempat ada razia baik oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ataupun TNI/Polri. Di malam hari lebih parah. Di Aceh saat konflik, dipastikan tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan setiap memasuki pukul 18.00 karena berlakunya jam malam.
Hal itu praktis membuat kesempatan warga berkreasi sangat terbatas. Akses pada pendidikan jadi sempit. Warga yang biasanya pergi ke surau jelang magrib untuk belajar, terutama pendidikan agama menjadi tak bisa lagi selama konflik. Demikian pada kehidupan ekonomi, aktivitas niaga di pusat-pusat perdagangan hanya terjadi setengah hari.
Tak pelak, selama konflik, Aceh pun terpuruk. Mereka terbelakang dalam bidang pendidikan dan ekonomi saat konflik terjadi. Padahal, daerah itu memiliki sumber daya alam melimpah, terutama cadangan migas di Arun, Lhokseumawe yang dahulu salah satu terbesar di dunia. Di luar itu, konflik berkepanjangan menyebabkan banyak korban jiwa dari sisi GAM, TNI/Polri, maupun warga sipil. Sebab, selama konflik, Aceh mencekam, baku tembak antara GAM dan TNI/Polri bisa terjadi di mana pun dan kapan saja.
Namun, 26 Desember 2004, gempa besar berkekuatan 9,1-9,3 skala richter menghantam Aceh. Tak lama, gelombang besar atau belakangan disebut tsunami menerjang. Wilayah pesisir barat Aceh yang menghadap langsung dengan sumber gempa dan tsunami luluh lantak. Ratusan ribu warga meninggal. Infrastruktur pun lumpuh total.
Musibah itu memang memberikan duka mendalam. Tapi, berkat duka itu pula GAM dan Pemerintah Indonesia baru tersadar untuk menghentikan konflik. Puncaknya, 15 Agustus 2006 di Finlandia, terjalin perundingan damai antara GAM dan Pemerintah Indonesia. Damai itu pun membuat Aceh membaik. Paling tidak, kini, warga bisa bebas mengakses pendidikan. Kehidupan ekonomi pun tumbuh lagi. Malah, kini, Aceh dikenal sebagai negeri 1.000 warung kopi yang geliatnya terjadi hampir 24 jam.
”Dulu waktu konflik, jelang magrib sampai pagi, dipastikan tidak ada warga yang berani ke luar rumah. Bagaimana interaksi sosial dan ekonomi bisa terjadi. Sekarang, semua bersyukur. Kita bisa merasakan nikmat damai. Setidaknya, warga bisa membuka usaha dan bisa menjalani hidup dengan tenang serta damai. Hal itu terlihat jelas dengan terus bermunculan warung kopi baru dari waktu ke waktu,” ujar Hendri (28), warga Banda Aceh ditemui di Banda Aceh, Selasa (31/7/2018).
Patut ditularkan
Konflik terbukti jadi sesuatu yang sangat merugikan. Sebaliknya, damai terbukti menjadi sesuatu yang sangat mahal dan berharga. Di tengah perbedaan pandangan politik di Indonesia akhir-akhir ini, semangat perdamaian dari Aceh patut ditularkan ke seluruh Indonesia. Hal itu bisa diwujudkan, terutama melalui Kirab Obor Asian Games 2018 yang berlangsung di Aceh Besar dan Banda Aceh, Selasa ini. ”Kami masyarakat Aceh, sangat siap menularkan semangat itu ke seluruh Indoensia melalui Asian Games,” kata Bupati Aceh Besar Mawardi Ali ketika ditemui di kediamannya di Lambaro, Aceh Besar, Senin (30/7/2018).
Beberapa kali, Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia (Inasgoc) Erick Thohir mengingatkan, Asian Games adalah momentum untuk mempersatukan semua masyarakat Indonesia di tengah perbedaan yang ada. Tanpa semangat persatuan tersebut, yang dirugikan adalah para atlet. Sebab, mereka tidak akan mendapatkan dukungan penuh satu suara dari masyarakat Indonesia.
”Kalau atlet kita gagal berprestasi di rumah sendiri, tentu yang akan malu semua warga Indonesia. Apalagi olahraga memang ajang prestisius yang bisa cepat mengangkat harkat dan martabat suatu bangsa jika menang dan sebaliknya,” tutur Erick.
Indonesia pun penting sekali menjaga citranya selama Asian Games 2018. Apalagi ajang itu akan dihadiri sedikitnya oleh sekitar 20.000 orang atlet dan ofisial dari 45 negara peserta Asian Games. Di sisi lain, akan hadir sekitar 200.000-250.000 wisatawan asing untuk menyaksikan laga-laga dalam gelaran empat tahunan tersebut.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil mengutarakan, Asian Games memang ajang besar yang mempertaruhkan nama baik Indonesia. Jika gagal menjadi tuan rumah yang baik, nama Indonesia pasti akan tercoreng. Sebaliknya, bila sukses, nama Indonesia akan harum. ”Hal ini patut dijaga oleh segenap warga Indonesia selama Asian Games nanti. Dan, semangat persatuan itu harus diutamakan agar target tersebut tercapai,” ujar menteri yang juga putra asli Aceh itu.
Konflik Aceh yang terjadi selama puluhan tahun saja bisa menemukan jalan bijaksana untuk berdamai demi kehidupan lebih baik. Di tengah krisis politik jelang Pemilihan Presiden pada 2019, segenap masyarakat Indonesia harus berkaca pada konflik di ”Bumi Serambi Mekkah”, Aceh. Bahwa, konflik tidak akan melahirkan kebaikan. Hanya jalan damai yang akan menuntun pada kebaikan.