Menanti Penjabat Gubernur yang Mengerti Aceh
Persoalan mendasar di Aceh adalah kemiskinan, sulitnya lapangan pekerjaan, persoalan narkoba, korupsi, dan kekerasan seksual terhadap anak. Penjabat Gubernur Aceh diharapkan memahami persoalan Aceh.
Jabatan Gubenur Aceh Nova Iriansyah akan berakhir pada 5 Juli 2022. Jabatan gubernur akan diisi oleh pejabat yang ditunjuk oleh presiden. Namun, publik berharap penjabat gubernur itu mengerti Aceh.
Beberapa nama yang disebut masuk bursa calon adalah Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar; Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal, dan Direktur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat T Iskandar.
Ketiga nama tersebut adalah putra Aceh yang berkarier di pemerintah pusat. Mereka dianggap memiliki peluang yang sama untuk ditunjuk sebagai penjabat Gubernur Aceh.
Baca Juga: Prioritaskan Usaha Produktif untuk Tekan Kemiskinan di Aceh
Namun, selain tiga nama itu, ada juga calon yang digadang dari kalangan pemerintah daerah, yakni Sekretaris Daerah Aceh Taqwallah. Adapun dari kalangan militer muncul nama mantan Panglima Kodam Iskandar Muda Mayor Jenderal Achmad Marzuki.
Akan tetapi pascaterbit keputusan Mahkamah Konstitusi melarang perwira aktif TNI/Polri menjadi penjabat gubernur, peluang Achmad Marzuki menjadi kecil.
Penjabat gubernur akan memimpin Aceh selama 2,5 tahun, hingga terpilihnya gubernur definitif pada pilkada serentak 2024.
Sosiolog, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Otto Syamsuddin Ishak, dalam diskusi ”Sosok Pj Gubernur Aceh: Sipil atau Militerkah?” menuturkan, Aceh pernah dipimpin oleh penjabat gubernur sipil dan militer.
Penjabat dari sipil adalah Tamizi Akarim, Direktur Jenderal di Kemendari tahun 2012, sedangkan penjabat berlatar militer adalah Mayor Jenderal Soedarmo (2016-2017). Roda pemerintahan di tangan pejabat militer dan sipil berjalan lancar.
Baca Juga: Aceh dalam Pasung Korupsi
Namun, tarik-menarik antara militer dan penjabat sipil terjadi. ”Militer menginginkan daerah bekas konflik mereka yang pegang, sedangkan kalangan sipil menginginkan penjabat gubernur Aceh dipegang putra Aceh,” kata Otto.
Meski putusan terakhir di tangan Presiden, ”agen politik” terus melakukan lobi agar calonnya yang dipilih. Beberapa calon dikaitkan mendapat dukungan dari partai politik. ”Presiden Joko Widodo tidak mau ada penjabat yang dikait-kaitkan dengan partai,” kata Otto.
Menurut Otto, penjabat gubernur yang dibutuhkan adalah yang mengerti anatomi masalah Aceh. Sebagai daerah bekas konflik, otonomi khusus, dan menerapkan syariat Islam, Aceh tidak sama dengan provinsi lain.
Bagi Aceh, penjabat gubernur bukan hanya menjadi perpanjangan tangan daerah dengan pusat, melainkan juga harus menjalankan misi keacehan. Salah satunya melobi pemerintah pusat untuk memperpanjang dana otonomi khusus yang akan berakhir pada 2028.
Oleh sebab itu, sosok penjabat gubernur nantinya diharapkan orang yang punya jiwa keacehan.
”Problem lain di Aceh, masyarakat dan elite yang terpecah. Periode Nova Iriansyah tidak maksimal, ASN juga tidak bekerja bagus, anggaran daerah tidak mampu dibelanjakan,” kata Otto.
Otto menilai publik Aceh tidak berani mengajukan calon penjabat gubernur kepada presiden. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) hanya mengeluarkan kriteria, tetapi tidak berani mengusulkan nama-nama calon.
”Seharusnya DPRA berani mengusulkan beberapa calon kepada presiden,” ujar Otto.
Anggota Komisi I DPRA, Bardan Sahidi, menuturkan, pihaknya tidak mengusulkan calon, tetapi hanya membuat delapan kriteria. Bardan berharap Presiden mempertimbangkan kriteria versi DPRA.
Baca Juga: Demokrasi Sungsang Aceh
Kriteria penjabat gubernur versi DPRA di antaranya wajib beragama Islam, keturunan Aceh, memahami persoalan Aceh, komitmen menjaga perdamaian, komitmen memperjuangkan kekhususan Aceh, dan netral dalam pilkada.
”Kami telah kirim surat ke Presiden. Rakyat menginginkan gubernur yang dapat menjawab persoalan,” kata Bardan.
Kemiskinan menjadi persoalan utama yang harus cari solusi. Jumlah penduduk miskin Aceh 15,43 persen atau 833.000 jiwa, tertinggi di Pulau Sumatera.
Penjabat gubernur tidak mengusung visi dan misi. Akan tetapi, jika berkomitmen menjalan program dalam dokumen rencana pembangunan Aceh, angka kemiskinan dapat ditekan.
”Tugas berat kami (DPRA) untuk memastikan arah pembangunan (di bawah penjabat gubernur) sesuai dengan rencana,” kata Bardan.
Selama ini, hubungan politik Gubernur Nova Iriansyah dengan DPRA dan partai politik pengusung tidak begitu baik. Hal itu pula berimbas pada gagalnya pemilihan wakil gubernur. Nova yang menggantikan Irwandi Yusuf sebagai gubernur memimpin Aceh seorang diri sejak 2018 hingga Juli 2022.
Transaksi dan tarik ulur kepentingan justru membuat kursi wakil gubernur kosong hingga periode berakhir. Memimpin Aceh seorang diri membuat Nova tidak maksimal dalam bekerja.
Para elite di Aceh cenderung terpecah. Banyak program yang diusung dalam visi-misi paket gubernur-wakil gubernur tidak berjalan. Target penurunan kemiskinan 1 persen per tahun tidak tercapai. Kasus korupsi tinggi dan sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) juga besar.
Pada 2020, SiLPA Aceh sebesar Rp 3,9 triliun, sedangkan pada 2021 sebesar Rp 2,8 triliun. Adapun Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) setahun mencapai Rp 17 triliun.
Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka, Teungku Jamaica, berpendapat, kepemimpinan Nova Iriansyah lemah sehingga tidak mampu menggerakkan aparaturnya untuk mengerjakan semua program yang dijanjikan dalam kampanye.
Oleh karena itu, kata Jamaica, Aceh butuh pemimpin yang tegas dan komitmen antikorupsi. ”Saya mengusung mantan Panglima Kodam Iskandar Muda Achmad Marzuki sebagai penjabat gubernur. Gaya kepemimpinan militer tegas dibutuhkan oleh Aceh,” kata Jamaica.
Juru Bicara Pemprov Aceh Muhammad Mta mengatakan, dalam konteks pemilihan penjabat gubernur, dia tidak bisa berbicara banyak. Baginya yang terpenting sosok yang dipilih dapat bekerja maksimal untuk Aceh.
Dinilai kinerja Pemprov Aceh di bawah Nova Iriansyah tidak maksimal, Muhammad mengatakan, persoalan SiLPA dipicu oleh persoalan politik saat pembahasan anggaran. Dia menyebutkan adanya pengusulan program-program lain oleh legistalif yang di luar perencanaan sebelumnya.
Persoalan SiLPA dipicu oleh persoalan politik saat pembahasan anggaran.
”Harapannya akan perubahan anggaran. Namun, ketika perubahan anggaran tidak dapat dilakukan, otomatis SiLPA membengkak,” kata Muhammad.
Di sisi lain dalam dua tahun, pemerintah dihadapkan pada persoalan pandemi Covid-19. Banyak program yang tidak bisa dilakukan karena anggaran harus dialihkan untuk penanggulangan Covid-19. ”Yang namanya pemerintahan, ya, tentu tidak ada yang sempurna, terlebih lagi karena pandemi Covid-19,” ujar Muhammad.
Tidak berharap banyak
Selain melanjutkan pembangunan dan melaksakan tugas administrasi, tugas besar penjabat gubernur adalah menyukseskan pilkada serentak 2024. Oleh karena itu, sebagian pihak di Aceh tidak berharap banyak perubahan pada penjabat sementara.
Baca Juga: Penembakan oleh Warga Sipil di Aceh Dinilai Bukan Kriminal Biasa
Menurut aktivis perempuan Aceh, Cut Mutia, latar belakang militer, sipil, atau partai politik sama saja untuk penjabat Gubernur Aceh. Bagi Cut, yang terpenting dia paham persoalan Aceh dan komitmen menjalankan yang bersih.
Cut mengatakan, pada pundak penjabat gubernur, jangan dibebankan pembangunan yang besar. Sebab, dengan masa jabatan 2,5 tahun, tak banyak yang bisa dilakukan.
”Penjabat sementara bertugas menyiapkan Pilkada 2024. Dia tidak akan mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan, korupsi, dan sebagainya,” ujar Cut.
Cut mengatakan, penjabat gubernur harus mampu menyatukan atau merangkul para pihak di Aceh. Memastikan pilkada berjalan demokratis, aman, dan jujur.
Menurut Cut, persoalan pembangunan menjadi beban tanggung jawab gubernur definitif yang terpilih 2024. Namun, siapa pun yang dipilih menjadi penjabat gubernur, dia harus mengerti Aceh.
Baca Juga: Abadikan Damai, Perkuat Ekonomi Aceh