Hari ini, Sabtu (15/8/2020), tepat 15 tahun perjanjian damai Aceh ditandatangani. Berbagai kalangan berharap kesejahteraan warga harus terus ditingkatkan.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
KOMPAS/NINA SUSILO
Wali Nanggroe Aceh Tengku Malik Mahmud Al-Haytr, Ketua Umum Dewan Pengurus Partai Aceh Muzakir Manaf, Ketua DPR Aceh Dahlan Djamaluddin, dan Bupati Pidie Jaya Aiyub Abbas bertemu Presiden Jokowi dalam rapat tertutup di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (13/2/2020) siang. Dalam pertemuan itu disampaikan harapan supaya beberapa poin dari MOU Helsinki yang dinilai belum terealisasi diwujudkan.
BANDA ACEH, KOMPAS - Usia perjanjian perdamaian di Provinsi Aceh pada Sabtu, (15/8/2020) ini tepat 15 tahun. Semua kalangan di Aceh berharap perdamaian itu abadi sekaligus perekonomian Aceh diperkuat agar warga sejahtera.
Kompas melakukan wawancara dengan berbagai kalangan terkait capaian pembangunan selama 15 tahun perdamaian di Aceh. Warga Aceh bersyukur perdamaian masih terjaga hingga kini. Konflik selama tiga dekade telah membuat Aceh tertinggal dalam banyak sektor.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Dahlan Jamaluddin mengatakan Komite Peralihan Aceh (KPA), Pemprov Aceh, dan warga Aceh telah menunjukkan komitmen menjaga perdamaian. Aceh kini sangat kondusif dan sangat terbuka bagi dunia luar.
Perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI dilakukan pada 15 Agustus 2005 di Kota Helsinki, Finlandia. Salah satu butir perjanjian adalah Aceh mendapatkan dana otonomi khusus yang dimulai sejak 2008 - 2027. Dana otonomi khusus diharapkan menjadi modal bagi Aceh untuk membangun ekonomi warga dan sumber daya manusia.
Namun, Dahlan menilai selama 15 tahun perdamaian pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia masih lemah. Justru pembangunan fisik atau infrastruktur sangat dominan.
“Terkadang pembangunan fisik tidak untuk kepentingan ekonomi warga. Saya menyebut itu kepentingan rente. Buktinya tidak sedikit bangunan dari dana otonomi khusus terbengkalai,” kata Dahlan.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Kapal nelayan rusak ditambat di tepi Sungai Aceh, di Lampulo, Banda Aceh, Aceh, Kamis (12/7/2018). Kapal tersebut dibiayai dana otonomi khusus Aceh tahun anggaran 2013. Namun, program tersebut tidak berjalan seperti yang direncanakan dan diduga terjadinya penyimpangan.
Dahlan mengatakan banyak program pemerintah daerah tidak memiliki rencana komprehensif, akibatnya tidak berdampak pada peningkatan kualitas hidup warga. Misalnya program perikanan budidaya dan pertanian. Setiap tahun puluhan miliar dialokasi untuk sektor tersebut, namun petani tambak dan petani padi masih banyak yang miskin.
"Perdamaian tanpa pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan warga rasanya hambar. Sebab tujuan utama perdamaian untuk membangun kehidupan yang lebih sejahtera," kata Dahlan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada Maret 2020 menunjukkan jumlah penduduk miskin Aceh sebanyak 814.900 orang atau 14,99 persen dari jumlah penduduk. Aceh merupakan provinsi dengan penduduk kedua termiskin di Sumatera dan nomor tujuh tingkat nasional. Sementara jumlah penganggur pada Maret 2020 sebanyak 136.000 orang.
Warga Aceh dari kalangan menengah ke bawah yang diwawancai Kompas mengaku sulit mendapatkan pekerjaan di Aceh. Anwar (43), petani garam di Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar menuturkan perdamaian membuat dirinya kembali ke kampung halaman dari Malaysia, sebagai tenaga kerja ilegal. Awalnya dia optimis perdamaian akan membuat hidupnya lebih sejahtera.
Anwar mengakui tidak pernah mendapatkan program pemberdayaan ekonomi dari Pemerintah Provinsi Aceh. “Saya heran, Aceh banyak uang otonomi khusus tapi rakyat masih susah cari pekerjaan dengan upah yang layak. Saya jadi petani garam penghasilan pas-pasan,” kata Anwar.
Aceh banyak uang otonomi khusus tapi rakyat masih susah cari pekerjaan dengan upah yang layak. (Anwar)
Nazir (25) warga Desa Meunyee Lhee, Kecamatan Nibong, Kabupaten Aceh Utara juga mengaku kesulitan mencari pekerjaan. Beberapa tahun bekerja di percetakan dengan gaji di bawah upah minimal provinsi. Bermodal ijazah sekolah menengah pertama dia sukar memperoleh pekerjaan dengan upah yang memadai.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Anwar (43) petani garam tradisional di Desa Lamnga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (9/92020) saat sedang bekerja di dapur garam milik sendiri. Usaha garam itu menjadi penopang kehidupan keluarganya.
Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Rustam Efendi mengatakan pertumbuhan ekonomi Aceh sejak 2012-2017 rata-rata 4,3 persen. Pada 2020, dia memprediksi justru akan terpuruk karena hantaman pandemi korona.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi karena program pemerintah tidak mampu menstimulus aktivitas ekonomi warga. “Elit-elit Aceh harus menyamakan pikiran, inilah saatnya membangun daerah, selagi ada dana otonomi khusus,” kata Rustam.
Dana otsus
Sejak 2008 hingga 2020, Aceh telah memperoleh dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 81 triliun. Separuh dari APBD Aceh bersumber dari dana otsus. Dana otsus akan berakhir pada 2027.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Helvizar Ibrahim mengatakan dana otsus digunakan untuk kepentingan publik. Seperti jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, pembangunan rumah layak huni, pembangunan jalan lintas kabupaten, dan pembangunan infrastruktur pertanian.
Helvizar mengatakan semua program pembangunan yang dilakukan Pemprov Aceh untuk menekan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Dia mencontohkan sejak 2018-2019 jumlah rumah layak huni dibangun 28.722 unit dan beasiswa pendidikan untuk 1.268.410 orang dengan anggaran Rp 2, 5 triliun.
“Sebelum ada dana otsus angka kemiskinan pada 2007 sebesar 26,65 persen. Saat ini, angka kemiskinan Aceh sebesar 14,99 persen. Artinya selama 12 tahun dana otsus di Aceh mampu menurukan angka kemiskinan sebesar 11,66 persen,” ujar Helvizar.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Rohani (70) warga Desa Siron Blang, Kecamatan Cot Glie, Aceh Besar berada di depan rumah bantuan dari Pemprov Aceh. Bantuan rumah layak huni diperuntukkan kaum duafa atau miskin.
Sementara Direktur Lembaga Kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) Muzammi menilai dana otsus lebih banyak digunakan untuk belanja rutin aparatur pemerintah.
“Kami menemukan dana otsus dipakai untuk beli mobil dinas, belanja tiket pesawat sampai dengan pengadaan alat tulis kantor. Otsus lebih banyak dinikmati oleh birokasi,” ujar Muzammi.