Demi menyelamatkan hutan, masyarakat terus berjuang mengusir petambang emas dan perambah liar. Namun, masyarakat butuh kepastian negara atas legalitas hak hutan adat bagi mereka.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Sudah empat tahun lamanya menanti, hak hutan adat tak kunjung didapatkan masyarakat adat Depati Muaro Langkap di penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Kerinci, Jambi. Di tengah penantian itu, warga terus berjuang mengusir petambang emas liar yang terus menggerogoti hutan tersebut.
”Sudah kami ajukan sejak 2018 dan sudah berulang kali diadakan pertemuan para pihak tetapi sampai sekarang tak jelas kabarnya,” kata Helmi Muid, Ketua Lembaga Adat Depati Muaro Langkap, Desa Tamiai, Batang Merangin, Kerinci, Sabtu (4/6/2022).
Pekan lalu, masyarakat kembali menggelar operasi memberantas tambang-tambang liar di sepanjang Sungai Penetai, Kecamatan Batang Merangin. Setelah empat jam perjalanan kaki, warga akhirnya tiba di lokasi. Aktivitas tambang ilar itu rupanya telah masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), sedikit lagi masuk ke hutan adat.
”Sudah masuk taman nasional. Jika tidak diberantas, sedikit lagi akan masuk ke dalam areal yang diusulkan hutan adat,” katanya.
Perda payung inilah yang akan memayungi pengakuan masyarakat hukum adat pada seluruh kabupaten di wilayah itu.
Pada 2018, masyarakat mengajukan penetapan hak hutan adat seluas 3.100 hektar. Waktu itu, hutan-hutan di wilayah itu kedatangan petambang liar. Para pekerja tambang membawa masuk alat berat untuk mengeruk emas.
Demi menyelamatkan hutannya, warga beberapa kali menggelar operasi. Petambang akhirnya keluar. Enam bulan belakangan, masyarakat kembali dibuat resah karena petambang emas liar masuk lagi.
Tak hanya di Desa Tamiai, dua desa penyangga TNKS, yakni Renah Alai dan Lubuk Mentilin di Kecamatan Jangkat, juga masih harus berperang melawan praktik perambahan liar, di tengah penantian panjang atas pengakuan negara pada kawasan hutan adat mereka.
Desa-desa yang masuk dalam marga Serampas sudah dikuatkan dengan adanya Peraturan Daerah Merangin Nomor 8 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas tahun 2016. Desa Renah Alai mengajukan hak kelola hutan adat seluas 1.161 hektar, sedangkan Lubuk Mentilin mengajukan 67 hektar dan 372 hektar pada dua blok terpisah. Sejak diajukan pada 2020, kedua usulan itu masih belum juga berbalas.
Di luar kawasan hutan, masyarakat Bintang Marak dan Talang Kemuning yang berada di bawah satu kesatuan Adat Depati Nyato, Kecamatan Bukit Karmen, Kabupaten Kerinci, juga masih menunggu terbitnya pengakuan hak kelola hutan adat yang diajukan kepada Bupati Kerinci. Masyarakat Depati Nyato mengalokasikan APL pada dua desa itu seluas 342,68 hektar untuk hutan adat. Pengajuannya sudah sejak 2000.
Wakil Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Adi Junedi melihat lambatnya pengakuan hak hutan adat. Padahal, dari sisi persyaratan sudah lengkap.
Yang memakan waktu di proses verifikasi. Sebab, verifikasi dilakukan langsung tim dari pusat untuk turun ke lapangan. Antrean menjadi panjang karena banyaknya usulan dari sejumlah daerah. Harusnya, kata Adi, KLHK bisa mendistribusikan pekerjaan verifikasi teknis ini ke unit kerja KLHK di tingkat regional, misalnya melalui Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL).
Sejauh ini, kawasan hutan yang diajukan hak hutan adat semakin tinggi ancamannya dari berbagai praktik ilegal para pendatang. Masyarakat adat yang ingin terlibat langsung membentengi hutannya seharusnya diapresiasi dan didukung dengan percepatan legalitas.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, saat ini izin hutan adat di provinsi itu sebanyak 29 izin dengan total luas kelola 7.983 hektar. Jika dihitung dari total luas perhutanan sosial di Jambi yang mencapai 300.000 hektar lebih, itu berarti realisasi hutan adat tak sampai 3 persen.
Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Bambang Yulisman mengakui masih kecilnya angka realisasi penetapan hutan adat. Hal itu disebabkan alur proses perizinan yang panjang. Alur itu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penetapan hutan adat langsung ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Itu sebabnya, untuk usulan hak hutan adat membutuhkan waktu proses lebih lama.
Terkait itu, Adi mengatakan, perlu dibuat solusi. Salah satunya, aturan payung di tingkat daerah. Pihaknya telah mengusulkan Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jambi tentang Tata Cara Pengakuan Masyarakat Hukum Adat yang melingkupi semua daerah di Provinsi Jambi. Perda payung inilah yang akan memayungi pengakuan masyarakat hukum adat (MHA) pada seluruh kabupaten di wilayah itu. ”Sehingga tidak diperlukan banyak perda serupa di setiap kabupaten ataupun kota,” ujarnya.
Jika aturan payung direalisasi, akan menjadi salah satu terobosan hukum yang memangkas regulasi. Konsep ini memberikan kewenangan Pemerintah Provinsi Jambi untuk dapat menetapkan MHA di kabupaten. ”Ini akan menjadi solusi yang mengatasi stagnasi penetapan MHA di sejumlah daerah,” kata Adi.