Orang Rimba di Tengah Kepungan Tambang Batubara
Meski air sungai tercemar oleh tambang batubara, warga terpaksa memanfaatkannya untuk minum dan mandi. Warga bertahan demi menjaga ruang adat yang tersisa.

Penyakit kulit dialami warga komunitas adat Orang Rimba di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021), menyusul masifnya aktivitas tambang batubara. Sebagian warga terpaksa mengungsi karena tak tahan dengan pekatnya debu yang beterbangan di udara dan kondisi air sungai yang tercemar.
Tradisi melangun di wilayah Serenggam kian terdesak tambang batubara. Ruang-ruang ritual adat kehilangan roh bersamaan tumbangnya pohon-pohon senggeris. Rentetan penyakit pun melanda komunitas Orang Rimba di Jambi.
Besilo (35) hampir kehilangan asa. Gatal-gatal pada kulitnya dan ketiga anaknya kian meradang. Iritasinya terus meluas, mengeluarkan nanah, lalu mengerak. Ketika tak sengaja tergaruk, tampaklah warna kemerahan di antara celah luka. Terasa perih.
Kondisi itu membuat bayinya, Becantum Bungo, yang berusia enam bulan, kian rewel. Gatal dan perih datang silih berganti. ”Sudah dibawa berubat (berobat), tapi belum sembuh,” kata Besilo, Senin (18/10/2021).

Penyakit kulit dialami warga komunitas adat Orang Rimba di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021), menyusul masifnya aktivitas tambang batubara. Sebagian warga terpaksa mengungsi karena tak tahan dengan pekatnya debu yang beterbangan di udara dan kondisi air sungai yang tercemar.
Penyakit kulit yang dialami Becantum paling parah dibandingkan dengan kedua kakaknya, Betitai (5) dan Merakop (3). Iritasinya telah menyebar luas.
Tak hanya di tangan dan kaki. Merembet pula ke pantat dan punggung. Penyakit serupa dialami Besilo, istri, dan puluhan warga di kelompok itu.
Menurut Besilo, kelompok tersebut tengah menjalani tradisi melangun (berpindah ke tempat lain sebagai ungkapan dukacita karena ada anggota kelompok yang meninggal). Di tengah masa melangun, tambang batubara masuk ke wilayah itu.
Ada sembilan perusahaan masuk beruntun dalam lima bulan terakhir. Para pekerja berdatangan dengan alat berat. Menumbangkan hamparan tanaman. Lalu, berlanjut dengan aktivitas tambang.

Pengangkutan hasil tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021). Pekatnya debu yang beterbangan di udara menghalangi jarak pandang dan mengancam keselamatan pengguna jalan lainnya.
Saban hari, ratusan truk pengangkut batubara hilir mudik melewati pondok Besilo dan warga sekitar. Setiap kali truk melintas, pekatnya partikel debu beterbangan di udara.
Selain itu, sumber air bersih di Sungai Radin, yang dimanfaatkan warga sehari-hari, menjadi keruh.
Sejak itu, rentetan penyakit mereka alami. Warga mulai mengeluh dari penyakit kulit, batuk, gangguan pernapasan, hingga diare. Puncak keprihatinan mereka hadapi dua pekan lalu. Seorang warga ditabrak hingga tewas oleh salah satu truk pengangkut batubara.

Anak-anak bermain di Sungai Radin, yang berada di seberang area tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021). Hasil uji kualitas air oleh tim Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari menunjukkan, air di bawah baku mutu alias asam karena tercemar. Warga disarankan tidak mengonsumsi ataupun memanfaatkan air dari sana.
Karena tak tahan menghadapi situasi tersebut, sebagian warga mengungsi. Tersisa Besilo dan beberapa keluarga lain.
Salah satu pemimpin kelompok adat Orang Rimba di wilayah itu, Tumenggung Mena, mengatakan, sebagian warga masih bertahan demi menjaga ruang-ruang ritual adat yang tersisa. Ada sejumlah petak hamparan coba belum dibuka.
Itulah yang mereka perjuangkan. Jangan sampai turut diratakan alat berat. ”Di sinilah tanah kelahiran. Kuburan nenek moyang. Ini tumpah darah kami,” katanya.
Dalam kepercayaan Orang Rimba, hutan yang dianggap keramat tak boleh dibuka. Mereka menyebutnya tano bedewo. Di situlah makam-makam nenek puyang, tempat tersuci Orang Rimba di penyangga Bukit Duabelas. Ada pula tempat keramat untuk mengubur ari-ari bayi yang baru lahir.

Anak-anak dari komunitas adat Orang Rimba wilayah Serenggam bermain di dekat areal tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021). Masifnya aktivitas tambang di wilayah itu memicu rentetan sejumlah penyakit yang dialami warga setempat.
Tidak sembarangan orang dapat mendekat, apalagi memasuki wilayah itu. Menggilas dan menumbangkan pohon-pohon di dalamnya sama saja mengusir dewo. Hal itu merupakan pelanggaran terberat dalam adat.
Kepergian dewo dapat mengakibatkan rentetan masalah. Salah satunya diyakini wabah penyakit kulit yang kini melanda mereka.
Pemimpin rombongan lainnya, Tumenggung Ngelembo, menceritakan sebagian wilayah itu semula dikelola sebuah perusahaan sawit. Belakangan, kebunnya terbengkalai.
Di tengah kondisi itu, ada perusahaan batubara masuk. Aktivitas para pekerja menumbangkan tanaman langsung diprotes Orang Rimba. Akhirnya, alat berat meninggalkan lokasi.

Pembangunan jalan angkut hasil tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021).
Namun, tak lama berselang, ketenteraman warga kembali terusik. Alat berat kembali masuk. Kali ini jumlahnya tidak sedikit.
Lima bulan terakhir, sembilan perusahaan datang beruntun membuka wilayah itu untuk tambang batubara. Sebagian hutan keramat akhirnya tergilas. Pohon-pohon senggeris yang menandai kehidupan tumbang dalam sekejap.
Aktivitas tambang dan pengangkutan batubara itu, kata Ngelembo, bagai tak menghiraukan keberadaan mereka.
Hal senada dikemukakan Parlaungan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari. Setelah memperoleh informasi mengenai dampak lingkungan dari aktivitas tambang itu, timnya langsung mengecek ke lokasi pada Senin lalu. Hasil pantauan di lapangan menunjukkan terjadinya pencemaran udara dan air.

Tim Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari menguji kualitas air Sungai Radin, yang berada di seberang area tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021). Hasil uji menunjukkan kualitas air di bawah baku mutu alias terlalu asam karena tercemar. Warga disarankan tidak mengonsumsi air dari sana.
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Kerusakan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Batanghari, Dewi Andriyani menjelaskan, partikel debu begitu pekat di udara. Kondisi itu dapat mengganggu kesehatan masyarakat.
Begitu pula sumber air dari Sungai Radin dinyatakan tidak layak dikonsumsi ataupun digunakan untuk mandi. Air sungai itu keruh.
Saat tim menguji kadar pH (power of hydrogen) air, hasilnya menunjukkan angka 5,78 yang berarti kondisi air asam. ”Kualitasnya di bawah baku mutu. Air sungai ini telah tercemar,” katanya. Air minum yang aman dikonsumsi oleh manusia memiliki pH antara 6,5 dan 8,5.

Tim Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari menguji kualitas air Sungai Radin yang berada di seberang area tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021). Hasil uji menunjukkan kualitas air di bawah baku mutu alias terlalu asam karena tercemar. Warga disarankan tidak mengonsumsi air dari sana.
Tim juga mendapati pembangunan areal tambang menutup aliran sungai untuk membangun jalan angkut batubara. Aktivitas tambang berada persis di seberang sungai sehingga paparan partikel logam dan debunya langsung mengontaminasi.
Menurut Bejajo (45), warga setempat, mereka tak punya pilihan. Meski dinyatakan telah tercemar, mereka terpaksa tetap memanfaatkannnya untuk minum ataupun mandi. ”Karena hanya sungai ini yang paling dekat. Sungai lainnya sangat jauh, sekitar 5 kilometer dari sini,” ujarnya.
Menurut Bejajo, warga sudah meminta petugas di sana menyediakan air bersih bagi Orang Rimba. Hingga kini, permintaan itu belum direspons.
Sebagaimana diketahui, tambang batubara jika tanpa pengelolaan lingkungan memadai dapat mencemari lingkungan dan menyebabkan gangguan kesehatan. Pembuangannya berupa partikel abu yang mengandung arsen, timah hitam, dan logam berat lain memapar di udara dan air serta dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia, seperti kanker kulit.

Sebagian warga komunitas Orang Rimba wilayah Serenggam mengungsi karena tak tahan dengan pencemaran udara dan air dari masifnya tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021). Sebagian warga yang masih bertahan di sana tengah menghadapi wabah penyakit kulit yang diduga akibat paparan abu batubara.
Kepala Dinas Kesehatan Batanghari dr Elfi Yennie mengaku belum mengetahui perihal wabah penyakit di kelompok Orang Rimba wilayah Serenggam. Namun, pihaknya akan mengecek dan menindaklanjuti. ”Petugas puskesmas terdekat akan mengecek ke lokasi,” ujarnya.
Parlaungan menambahkan, dari sembilan perusahaan tambang batubara yang beroperasi di sana, beberapa di antaranya belum memiliki izin usaha pertambangan. Ada pula yang belum mengurus izin pengolahan limbah cair dan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun).
Kondisi itu sepatutnya mendapatkan pengawasan ketat dari pemerintah pusat. ”Sebab, pengawasan dan pembinaan tambang batubara, sesuai aturan, kini merupakan kewenangan pemerintah pusat,” ujarnya.
Ia pun mendorong agar perusahaan-perusahaan tambang batubara tersebut memperhatikan keberadaan komunitas adat yang tinggal di sana. Misalnya, dengan menerapkan tanggung jawab sosial.

Tambang batubara di Koto Boyo, Kecamatan Batin XXIV, Batanghari, Jambi, Senin (18/10/2021).