Pendidikan Kontekstual Lindungi Kearifan Lokal Masyarakat Adat
Pendidikan bagi masyarakat adat tidak bisa disamakan dengan kurikulum nasional. Pendidikan adat mesti mempertimbangkan konteks dan visi hidup masyarakat adat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat adat memiliki pengetahuan dan laku hidup yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Agar pengetahuan itu tidak hilang, pendidikan bagi masyarakat adat tidak boleh diseragamkan dengan kurikulum pendidikan nasional. Pendidikan mesti kontekstual, yakni sesuai kebutuhan dan visi hidup masyarakat adat.
Pengetahuan tersebut beragam, tergantung lingkungan tempat masyarakat adat tinggal. Masyarakat adat di hutan, misalnya, memiliki pemahaman soal meracik obat tradisional dari tanaman. Mereka juga memiliki zonasi dan aturan pemanfaatan hasil bumi berikut sanksi adat bagi yang melanggar.
Pengetahuan dan laku hidup itu lantas diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu tujuannya adalah agar ruang hidup mereka tetap terjaga. Antropolog dan Direktur Sokola Institute, Saur Marlina Manurung, mengatakan, pengetahuan vernakular masyarakat adat mesti dijaga.
Jika tujuan hidup mereka adalah tinggal di hutan, tidak mungkin kita kasih pendidikan ala kota yang tidak mengajarkan cara berburu, melaut, hingga meramu obat dari lingkungan sekitar.
”Sebanyak 80 persen biodiversitas bumi dikelola atau ada di kawasan hidup masyarakat adat yang jumlahnya hanya 5 persen (secara global). Mereka juga memiliki kekayaan kultur. Sebanyak 90 persen kebudayaan dunia dimiliki oleh masyarakat adat,” ucap Saur, yang kerap dipanggil Butet ini, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (2/6/2022).
Untuk memperkuat pengetahuan tersebut, masyarakat adat dapat diberi pendidikan kontekstual. Contohnya adalah pendidikan untuk mempersiapkan mereka untuk melawan pembalak liar di hutan serta pendidikan membaca agar mereka tidak terkecoh saat diminta menandatangani dokumen asing yang bisa merugikan.
Contoh lain, memberi pendidikan tentang memelihara dan mengembangbiakkan kuda untuk masyarakat di Sumba. Ini karena kuda dianggap sebagai harta masyarakat Sumba. Pendidikan kontekstual juga bisa mengenai pertanian hingga maritim, tergantung kondisi geografis di tempat tinggal masyarakat adat.
Butet mengatakan, pendidikan untuk masyarakat adat tidak bisa disamakan dengan kurikulum pendidikan nasional. Ini karena pendidikan nasional berorientasi pada kehidupan perkotaan. Pengetahuan yang diperoleh pun tidak selalu berguna di ruang hidup mereka. Pendidikan adat mesti selaras dengan visi hidup masyarakat adat.
”Jika tujuan hidup mereka adalah tinggal di hutan, tidak mungkin kita kasih pendidikan ala kota yang tidak mengajarkan cara berburu, melaut, hingga meramu obat dari lingkungan sekitar,” ucap Butet.
Ia menambahkan, lingkungan hidup masyarakat adat beragam sehingga beragam pula pengetahuan yang dimiliki. Penyeragaman paradigma pendidikan bakal menghilangkan pengetahuan itu. ”Mereka adalah profesor di tempatnya masing-masing,” katanya.
Saat dihubungi terpisah, pengajar Sokola Rimba, Fadilla Mutiarawati, berpendapat, pengetahuan yang dimiliki masyarakat adat mesti diakui dan dihargai. Pengakuan tersebut membuat kedudukan masyarakat adat dan semua pihak setara. Ini juga mengikis stigma bahwa masyarakat adat terbelakang.
”Definisi pintar tidak bisa disamaratakan. Saat saya mengajar di Sumba, anak-anak menangkap belalang dengan mengamati gerakannya. Mereka juga tahu ekosistem belalang, fisiologinya, hingga struktur tubuhnya. Itu, kan, pemahaman tentang biologi,” kata Faradilla, Sabtu (4/6/2022).
Pendidik mesti merumuskan materi yang tepat bersama masyarakat adat. Materi itu biasanya terkait masalah yang sedang dihadapi masyarakat atau hal yang ingin mereka pelajari. Setelahnya, pendidik dan masyarakat adat bersama-sama mencari orang yang tepat untuk mengajarkan materi itu. Dalam konteks ini, pendidik bertindak sebagai fasilitator.
Adapun penyampaian materi di sekolah adat mesti menyesuaikan dengan karakter peserta didik. ”Waktu belajar sangat dipengaruhi oleh musim. Di Sumba, masa sebelum masa tanam adalah saat anak-anak berkumpul dan bermain. Sekolah bisa diadakan saat itu. Saat musim tanam, musim tenun, atau musim membangun rumah, mereka tidak berkumpul,” ucap Fadilla yang juga pernah mengajar di sekolah formal.
Sjamsul Hadi, Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mengatakan, pemerintah membuka ruang penerapan pendidikan kontekstual di sekolah adat. Pemerintah juga siap memfasilitasi.
Pemerintah pun kini menyiapkan percepatan standar kompetensi khusus (SKK) untuk fasilitator pendidikan adat. Setelah SKK diterapkan, pendidik dapat mengikuti uji kompetensi dan memperoleh sertifikasi.
”Dengan ini, kami mendorong pemda agar bisa memfasilitasi (pendidikan adat), salah satunya dengan memberi insentif untuk tenaga, fasilitator, dan pendidik adat,” kata Sjamsul.
Hingga kini, Kemendikbudristek mencatat ada 105 sekolah adat yang tersebar di sejumlah wilayah, antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jambi, Sumatera Selatan, Maluku, Papua, Riau, Sulawesi, dan Kalimantan. Sekolah adat ini diinisiasi warga dan dibina oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat.