Porang hingga Kelor, Komoditas Khas yang Menarik Minat Internasional
Satu per satu tanaman yang sebelumnya dipandang sebelah mata kini mulai jadi komoditas. Produk-produk itu ramai-ramai masuk pasar internasional.
Memiliki 25 persen spesies flora di dunia dengan jumlah mencapai 20.000 spesies, Indonesia adalah gudang pangan dan obat. Satu per satu tanaman khas di daerah yang sebelumnya tidak diperhatikan kini mulai dikelola serius dan diminati di luar negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, transaksi ekspor pertanian pada 2021 mencapai 4,24 miliar dollar AS, meningkat 2,86 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 4,12 miliar dollar AS. Kenaikan didukung oleh meningkatnya ekspor tanaman obat, aromatik, dan rempah-rempah.
Dengan penanganan yang baik, produk-produk tanaman lokal bisa menembus pasar ekspor dan menyejahterakan banyak orang. Kompas mencatat beberapa di antaranya, berikut ini.
Andaliman
Rempah dari dataran tinggi Danau Toba, Sumatera Utara, andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) kini tak lagi hanya digunakan untuk masakan tradisional Batak. Butir-butirannya juga dipakai di restoran-restoran top di Eropa untuk bumbu makanan premium.
”Para pembeli rempah dari Eropa menyebut andaliman The King of Spices, Raja Rempah. Andaliman dari dataran tinggi Danau Toba dihargai dengan nilai yang sangat tinggi,” kata Kiki Andrea (40), eksportir andaliman dari Kabupaten Samosir, Senin (9/5/2022).
Cita rasanya yang khas, yakni pedas dan menggigit serta meninggalkan rasa getir, kebas, dan kelu di lidah membuatnya dicari. Kini, berton-ton andaliman dikirim ke Eropa setiap tahun untuk membumbui berbagai jenis makanan, khususnya olahan daging di restoran-restoran premium.
Selain karena cita rasa, andaliman kian diminati karena dikemas dalam narasi yang sangat kuat. Tanaman itu tumbuh di lapisan tanah vulkanik hasil letusan dahsyat supervolcano Toba sekitar 74.000 tahun lalu, letusan gunung api terbesar dalam dua juta tahun terakhir yang mengubah kehidupan di Bumi.
”Narasi itu sangat kuat untuk mempromosikan produk. Semakin banyak koki-koki kelas dunia yang menggunakan andaliman sebagai bumbu utama di makanan olahannya,” kata Kiki.
Baca juga: Andaliman Diminati Koki Dunia, Tembus Pasar Ekspor
Pada tahun 2021, Kiki mengekspor 1,2 ton andaliman kering ke Jerman. Pembeli itu, kata Kiki, lalu memasarkan andaliman ke hampir semua negara di Eropa. Sebagai bumbu masak, volume 1,2 ton tersebut sudah termasuk cukup besar.
Kiki mulai mengekspor andaliman sejak tahun 2016 setelah teknologi pengawetan andaliman mulai dilakukan dengan teknik pengeringan khusus sehingga tahan hingga satu tahun. Sebelumnya, andaliman hanya bertahan sekitar lima hari setelah dipanen. Andaliman kering dengan kualitas terbaik dihargai di pasar ekspor sekitar 49 euro (sekitar Rp 753.000) per kilogram.
Andaliman juga kini dijadikan teh. Intan Damanik, pengembang andaliman di Sumut, bahkan tahun ini mulai mengekspor teh andaliman untuk diuji coba di sejumlah negara, seperti Timur Leste, Jepang, dan Belanda.
”Dengan mengolah menjadi teh, nilai tambah dari andaliman menjadi sangat tinggi,” kata Intan. Teh andaliman ukuran 24 gram (12 sajian) dijual sekitar Rp 28.000. Harga bubuk teh andaliman itu jauh lebih tinggi dari harga andaliman mentah yang dihargai sekitar Rp 30.000 sampai Rp 60.000 per kilogram.
Ekspor juga menjaga harga andaliman di tingkat petani yang jika panen raya melorot. Andaliman kini mulai dibudidayakan petani di ladangnya dari sebelumnya sekadar tanaman perdu di tepi hutan.
Gelinggang
Daun gelinggang (Cassia alata), yang disebut juga ketepeng atau daun senna,sejak 2013 rutin diekspor dari Kalimantan Selatan ke Jepang sebulan atau dua bulan sekali dengan volume 16-26 ton. Dinas Perdagangan Kalsel mencatat, pada Maret 2022 saja, ekspor gelinggang mencapai 26 ton senilai 130.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,9 miliar.
Ekspor ditangani PT Sarikaya Sega Utama di Banjarbaru. Ekspor sejatinya sudah dilakukan sejak 2005, tetapi saat itu volumenya masih kecil, kurang dari 10 ton untuk sekali pengiriman.
Kepala Dinas Perdagangan Kalsel Birhasani mengatakan,di Jepang daun gelinggang dimanfaatkan untuk beberapa macam produk herbal, misalnya teh herbal dan obat herbal. Adapun di Tanah Air daun gelinggang belum banyak dimanfaatkan selain sebagai obat tradisional untuk mengobati gatal.
Baca juga: Ekspor Daun Gelinggang dari Kalsel Bukukan Rp 25 Miliar di Awal 2022
Subkoordinator Karantina Tumbuhan Balai Karantina Pertanian Kelas I Banjarmasin Priyatno mengatakan, daun gelinggang diekspor dalam bentuk daun kering setelah melalui proses pengeringan menggunakan oven. ”Tahun 2022 ini, rata-rata dua kali ekspor dalam satu bulan. Sekali ekspor sebanyak 4 ton daun kering dengan nilai sekitar Rp 270 juta,” katanya.
Bahan baku daun gelinggang diperoleh dari petani yang ada di Tanah Laut (Kalsel) dan Kapuas (Kalteng). Sebagian bahan baku dipanen dari tanaman yang sudah dibudidayakan, sebagian lagi diambil dari tanaman yang tumbuh liar.
Berdasarkan data sistem automasi perkarantinaan IQFast (Indonesian Quarantine Full Automation System) hingga akhir Maret 2022, Karantina Pertanian Banjarmasin telah menyertifikasi ekspor daun gelinggang sebanyak 45 ton dengan nilai ekspor lebih dari Rp 2,5 miliar. Pada 2021 lalu, ekspor daun gelinggang dari Kalsel ke Jepang tercatat 222,6 ton atau senilai Rp 15,7 miliar.
Baca juga: Di Tengah Pandemi, Ekspor Pertanian Indonesia Terus Meningkat
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Iwan Aflanie mengatakan, daun gelinggang akan lebih baik dan menguntungkan jika tidak diekspor dalam bentuk mentah (crude), tetapi dalam bentuk produk olahan yang telah diteliti. ”Kemungkinan besar masih banyak bahan yang terkandung dalam daun gelinggang yang belum diketahui. Pemanfaatannya pun tidak hanya sebatas obat kulit,” katanya.
Pinang
Belum banyak diketahui bahwa biji pinang ternyata dapat diolah menjadi beragam jenis produk turunan yang dibutuhkan industri makanan, farmasi, hingga kosmetik. Jika dikembangkan, pinang dapat menjadi komoditas ekspor yang besar.
Pinang (Areca catechu) tumbuh menyebar dari ujung timur hingga barat Nusantara seluas total 151.027 hektar. Dari 25 provinsi yang membudidayakan pinang, Jambi mencetak produksi dan ekspor terbesar. Ekspor nasional senilai Rp 5,11 triliun, 30 persennya disumbang dari Jambi.
Ekspor pinang mengalir paling banyak ke Thailand, yakni 116.308 ton (2021). Sisanya menuju Iran, India, Bangladesh, China, Pakistan, Uni Emirat Arab, dan Singapura.
Baca juga: Harapan Besar pada Si Unggul Pinang Betara
Pinang Jambi varietas Pinang Betara disebut-sebut sebagai pinang terbaik di dunia. Buahnya besar-besar. Pinang yang tumbuh subur di lahan gambut itu memiliki produktivitas sangat tinggi. Bisa menghasilkan 5,6 ton per hektar. Bandingkan dengan pinang jenis lainnya yang rata-rata menghasilkan 3 hingga 4 ton per hektar.
Sayangnya, ekspor pinang masih berupa biji. Indonesia belum mengolahnya menjadi beragam jenis produk bernilai tambah untuk dipasarkan internasional. Setelah biji kering dikirim, industri luar negeri mengolahnya menjadi beragam produk mulai dari permen kesehatan, bahan obat-obatan, hingga bahan pewarna.
Hasil riset Universitas Jambi (Unja) bersama Universitas Brawijaya dan Rajamangala University of Technology Lanna di Thailand menyebutkan, buah pinang mengandung banyak nutrisi dan senyawa aktif, seperti flavonoid, fenolat, katekin, quercetin, dan sebagian kecil tanin, yang semuanya bermanfaat sebagai antioksidan alami. Kadarnya masuk kategori tinggi, yakni 6,5 hingga 7,1 persen. Pinang juga kaya akan kandungan bioaktif yang berfungsi meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Dengan potensi tersebut, ekstrak biji pinang dapat diolah menjadi beragam produk suplemen makanan, produk farmasi, hingga produk kosmetik. ”Ketiga kategori produk ini bernilai tinggi dan merupakan tren kebutuhan di masa depan,” jelas Peneliti Teknologi Hasil Pertanian Unja, Sahrial.
Selain itu, pelepah, sabut, dan cangkang pinang merupakan biomassa yang berkandungan energi tinggi. ”Sehingga cocok diolah menjadi biobriket,” katanya. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong industri dalam negeri memproduksi pinang hingga sektor hilirnya sehingga memberi manfaat lebih besar bagi masyarakat luas.
Sejauh ini, alumnus Program Studi Teknologi Pertanian yang tergabung di Rumah Jambe-e serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unja memproduksi sendiri pelepah pinang menjadi piring dan mangkuk ramah lingkungan. Mereka memberdayakan petani pinang di pesisir Jambi untuk mengolahnya.
Seluruh produk itu dipasarkan secara daring di toko daring. Dalam sebulan, rata-rata volume penjualan produk pelepah pinang ini 2.000-an piring dan mangkuk. ”Potensi pasarnya masih terbuka luas, khususnya untuk ekspor,” lanjutnya.
Porang
Umbi porang(Amorphophallus muelleri) digadang sebagai ”emas hitam” karena pangsa pasarnya yang terbuka lebar secara global maupun domestik. Zat yang terkandung dalam porang baik untuk obat-obatan dan kosmetik. Porang juga merupakan bahan pangan sehat dan berkualitas tinggi karena kadar karbohidrat dan glukosanya rendah.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, budidaya tanaman porang tersebar di 15 provinsi di Indonesia. Budidaya terbesar ada di Jatim, disusul kemudian NTT, Jateng, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan daerah lainnya. Adapun luas tanaman porang tahun 2021 mencapai 47.461 ha, meningkat dari tahun sebelumnya 19.950 ha.
Kepala Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya Cicik Sri Sukarsih mengatakan, mayoritas produksi porang diekspor. Hal itu tak lepas dari kekayaan nutrisinya, seperti karbohidrat, protein, lemak, phosphor, glucomannan, dan zat besi.
Kekayaan nutrisi itu menjadikan porang bermanfaat sebagai sumber pangan sehat, menurunkan kolesterol, menurunkan kadar gula darah, mencegah kanker, dan mengatasi sembelit. Porang diolah menjadi konyaku jelly, chips, dan beras shirataki.
Cicik mengatakan, frekuensi ekspor porang dari Jatim selama 2021 mencapai 160 kali dengan volume 6.041 ton. Nilai ekspornya tercatat Rp 272 miliar. Ekspor tahun ini diyakini akan lebih bagus seiring dibukanya keran ekspor ke sejumlah negara menyusul membaiknya situasi pandemi Covid-19 di dunia.
Baca juga: Jalan Panjang Menambang Emas Hitam
Dalam rentang Januari-Maret 2022 saja, ekspor porang mencapai 266,1 ton dengan nilai Rp 20 miliar. Pada periode yang sama tahun lalu, ekspor mencapai 232 ton dengan nilai Rp 13,6 miliar.
Adapun negara tujuan ekspor terbesarnyaadalah China, disusul Thailand dan Vietnam. Selain itu Jepang, Qatar, India, Amerika Serikat, Belgia, Australia, Bulgaria, Perancis, Italia, Malaysia, Myanmar, Singapura, Korea Utara, dan Afrika Selatan.
Koordinator Karantina Tumbuhan BBKP Surabaya Iman Suryaman menambahkan, porang yang diekspor dalam bentuk irisan (chips) kering telah memberi nilai tambah. Proses itu menghadirkan lapangan kerja baru di sentra produksi terbesar di Kabupaten Madiun.
Ketua Petani Porang Bumi Makmur Kabupaten Madiun Nurcholis Mustazim (33) mengatakan, meski porang telah dikenal di pasar luar negeri, pemanfaatannya di pasar domestik belum berkembang dengan baik. ”Dibutuhkan kehadiran industri hilir untuk mendiversifikasi produk turunan porang agar masyarakat Indonesia juga bisa merasakan manfaatnya,” ujar Nucholis.
Ekspor tahun ini diyakini akan lebih bagus seiring dibukanya keran ekspor ke sejumlah negara menyusul membaiknya situasi pandemi Covid-19 di dunia. (Cicik Sri Sukarsih)
Saat ini, penjualan masih bergantung pada pasar ekspor sehingga saat terjadi gangguan, seperti pandemi Covid-19 dan ketatnya persyaratan dari China sebagai importir terbesar, harga porang menjadi tidak stabil.
Baca juga: Ekspor Umbi Porang Terhenti
Di tingkat petani umbi porang basah yang baru dipanen saat ini dihargai Rp 3.000 hingga Rp 4.000 per kilogram, turun signifikan dibandingkan dengan musim panen tahun lalu yang mencapai Rp 4.000-Rp 7.000 per kg. Pada tahun 2020, harga bisa menembus Rp 14.000 hingga Rp 15.000 per kg.
Kelor
Kreativitas warga telah membuat daun kelor (Moringa oleifera) menjadi aneka teh yang diperdagangkan hingga ke 30 negara. Pemilik CV Tri Utami Jaya Nasrin H Mukhtar, eksportir kelor di Mataram, NTB,mengatakan, usaha pengolahan kelor ia mulai sejak 2016, tetapi ekspor baru dimulai pada2021 atau sejak peresmian pabrik pengolahan kelor mereka di Mataram. Mereka fokus memproduksi teh celup kelor, teh bubuk kelor, dan kopi kelor.
”Di luar negeri, kelor sangat diminati. Selain dianggap pohon ajaib, juga merupakan superfood untuk meningkatkan imunitas, detoks, serta kandungan vitamin dan mineralnya yang bagus bagi tubuh,” kata Nasrin.
Baca juga: Memanen Rupiah dari Kelor Timor
Tercatat ada 30 negara yang menjadi tujuan pengiriman produk mereka, seperti Singapura dan Malaysia, Hong Kong, China, Australia, hingga Amerika Serikat, negara-negara Timur Tengah dan Eropa seperti Perancis, Jerman, Spanyol, dan Inggris.
Skala ekspornya memang belum besar atau dalam ukuran kontainer. Sebagian masih pada level pengiriman sampel hingga beberapa telah mengulangi pemesanan (repeat order) dengan kapasitas rata-rata sekali pengiriman di bawah 100 kilogram.
Nasrin mencontohkan, pengiriman ke Madrid telah beberapa kali dilakukan dengan total sekitar 300 kilogram, Swedia sekitar 70 kilogram, Amerika di bawah 100 kilogram. Pengiriman terakhir ke Jepang menjelang Lebaran kemarin sekitar 70 kilogram.
”Tetapi ke Jepang pengiriman sudah empat kali. Target, pada 2022 ini, harus bisa pecah telur atau realisasi mengirim satu kontainer berkapasitas 20-25 ton ke Jepang,” kata Nasrin.
Harga jual untuk produknya sama ke setiap negara. Bedanya pada biaya pengiriman. Satu kotak teh celup isi 15 kantong dijual Rp 30.000, sedangkan isi 25 kantong dijual Rp 75.000. Adapun satu kaleng bubuk isi 150 gram dijual Rp 150.000 dan kopi dijual 20.000 per kemasan.
Untuk menjaga pasar ekspor, dirinya terus memastikan kualitas produk dari hulu hingga hilir terjaha. Di hulu, ia melibatkan 500 petani yang sudah dieduksi bagaimana membudidayakan kelor hingga menyediakan daun kelor kering. Total ada 250 hektar lahan, baik di Lombok maupun Sumbawa, yang dikelola petani. Dalam 1 hektar, terdapat sekitar 20.000 pohon. Seluruhnya dibudidayakan organik tanpa pupuk dan pestisida.
Nasrin juga menjamin pembelian seluruh hasil panen dari petani dengan harga per kilogram daun kelor kering antara Rp 10.000-Rp 15.000. Selain ekspor, Nasrin juga membangun jaringan pemasaran di dalam negeri.
Di hilir, ia menjaga keamanan pangan dan sarana produksi. Ia misalnya, mengantongi sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP), sertifikat halal, BPOM, sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), kekayaan intelektual, karantina, dan sederet uji seperti umur simpan hingga uji bahan baku.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki saat berkunjung ke pabrik itu Januari lalu mengatakan teh kelor memiliki protein yang tinggi bahkan tujuh kali lipat dibandingkan daging sapi. Selain itu, juga mengandung zat besi yang tinggi hingga 25 kali lipat dari bayam.
”Di pasar dunia, kelor masuk dalam kategori super food. Namun sayangnya, di dalam negeri edukasi soal kelor belum tinggi. Sehingga literasi juga penting dilakukan,” kata Teten.
Baca juga: Nasi Goreng Daun Kelor Penjaga Imun Tubuh