Pinang Betara yang tumbuh di pesisir Jambi dinobatkan sebagai penghasil buah terbanyak dan terbesar. Keunggulannya bahwa lebih baik dari lima varietas unggul asal India.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
Perburuan buah pinang telah mendongkrak harganya hingga 200 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Perkembangan harga itu menarik Siti Khodijah (38) beralih budidaya. Hamparan lahan tanam ratusan batang kakao digantinya dengan bibit pinang (Areca catechu).
Tiga tahun silam, Siti nekat menebangi batang-batang kakao di kebunnya. Awalnya, ia kewalahan mengurus 250 batang kakao yang kala itu diserang penyakit. Sudah ia coba obati, tetapi penyakit pada tanaman itu tak kunjung berakhir. Apalagi, harga panen buah kakao terus turun. Saat yang sama, ia dapati perkembangan harga pinang yang terus naik.
Akhirnya, tanpa ragu lagi ia tebangi tanaman kakao. Hamparan itu lalu ditanami pinang. ”Jumlahnya sekitar 150 batang,” ujar Siti, petani di Desa Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, Kamis (7/4/2022).
Dalam sepuluh tahun terakhir, harga pinang naik 200 persen dari sebelumnya Rp 7.000 per kg (2012) kini menyentuh rata-rata Rp 20.000 per kilogram di tingkat petani. Perburuan pinang terjadi di mana-mana seiring tingginya permintaan pasar dari Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Pabrik pengolahan pinang biji pun tumbuh di banyak tempat di Jambi. Kondisi itu menambah gairah para petani.
Selain dialami Siti Khodijah, gairah serupa juga dialami Rohani (43). Ia bersyukur karena tanamannya yang sudah lebih dari tiga tahun itu telah menghasilkan. Dari hamparan 3 hektar, Rohani dapat mengumpulkan hasil panen rata-rata 100 kilogram per bulan. Setelah buah-buah dikupas dan dijemur kering, hasil penjualannya mencapai hampir Rp 2 juta per bulan.
Ia pun bekerja sebagai buruh lepas di sebuah pabrik pengolahan pinang dekat rumah. Dengan upah rata-rata Rp 100.000 per hari, Rohani bisa menghasilkan Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta per bulan. ”Kalau dihitung-hitung, dari tanam pinang dan kerja di pabrik pinang, hasilnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Sewaktu mengunjungi CV Indokara, pabrik pinang tempat Siti dan Rohani bekerja, Presiden Joko Widodo menyebut potensi pinang sangat besar. Dapat terus dikembangkan menjadi komoditas ekspor yang besar. Sebab, banyak negara meminati komoditas itu.
Untuk itulah ia telah meminta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memperluas penanaman pinang varietas unggul, serta mendorong petani menerapkan pengelolaan budidaya yang lebih baik agar hasil panen maksimal.
Tanaman pinang tumbuh menyebar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Selama turun-temurun, masyarakat umumnya hanya memanfaatkan pinang sebagai bahan pelengkap tradisi ”menyirih pinang”. Di sebagian wilayah, tanaman tumbuh liar tanpa budidaya.
Meski merata persebarannya mencakup 25 provinsi, luas total penanaman pinang secara nasional mencapai 151.027 hektar. Terluas ada di Nusa Tenggara Timur, yakni 25.638 hektar, disusul Provinsi Jambi 22.414 hektar dan Riau 22.164 hektar.
Namun, ekspor terbesar datang dari Jambi yang berperan 30 persen lebih dari total ekspor pinang nasional yang bernilai Rp 5,11 triliun. Lebih dari 50 persen volume ekspornya mengalir ke Thailand, yakni 116.308 ton tahun 2021 dengan nilai Rp 2,16 triliun. Selebihnya, ekspor pinang menuju Iran, India, Bangladesh, China, Pakistan, Uni Emirat Arab, dan Singapura.
Mengapa volume terbesar ekspor pinang datang dari Jambi? Pinang asal Jambi tumbuh meluas dan terus berkembang dalam pengembangan budidaya. Uniknya, salah satu varietas yang tumbuh di wilayah Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, memiliki kualitas paling unggul dibandingkan puluhan varietas lainnya yang tumbuh di Nusantara. Varietas itulah yang mengangkat produktivitas pinang di kebun.
Setelah varietas itu dikembangkan, pemerintah lalu menetapkannya sebagai varietas unggul dengan nama Pinang Betara. Penanamannya diperluas di seluruh wilayah Jambi.
Balai Penelitian Tanaman Palma telah mengeksplorasi pinang unggul di sejumlah daerah di Indonesia sejak 1980-an. Balai itu berhasil mengoleksi 41 aksesi pinang. Dari jumlah tersebut, 24 aksesi diketahui memiliki keunggulan produksi. Namun, dari seluruhnya, Pinang Betara dinobatkan sebagai penghasil buah terbanyak dan terbesar.
Sebagaimana ditulis dalam buku Pinang, Teknologi Budidaya dan Pascapanen Pinang oleh tim peneliti Balai Penelitian Tanaman Palma, jumlah buah per tandan per pohonnya mencapai 131,35 butir. Jumlah itu melampaui varietas di bawahnya, yakni Bengkulu-1 yang menghasilkan 119 butir. Bahkan, pinang Betara jauh mengungguli lima varietas pinang unggul koleksi India yang diketahui sebagai produsen besar pinang dunia.
Produktivitas varietas Pinang Betara, kata Syahrul, menghasilkan 5,2 hingga 5,6 ton per hektar. Bandingkan dengan pinang biasa yang menghasilkan 3-4 ton saja. Karena itu, varietas itu akan diperluas penanamannya.
Di sini kami merasakan jurang yang dalam antara hasil inovasi kampus menuju komersialisasi oleh industri. (Sahrial)
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal mengatakan, untuk tahun ini lahan tanam pinang akan diperluas 300 hektar. Perluasan itu lewat bantuan bibit gratis varietas unggul Pinang Betara bagi petani. ”Penanamannya akan diperluas di Jambi, yakni di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, dan Muaro Jambi,” katanya.
Di negara-negara pengimpor, pinang biji Indonesia diolah menjadi beragam jenis produk. Di Asia Selatan, biji pinang diolah menjadi permen. Di negara-negara lainnya, pinang diolah menjadi bahan obat, bahan kosmetik, dan bahan pewarna. Adapun pelepah pinang diolah menjadi wadah pengganti piring, mangkuk, dan gelas. Sementara serabut kulit pinang diolah menjadi bahan isian jok kursi.
Menurut Peneliti Teknologi Hasil Pertanian Universitas Jambi, Sahrial, besarnya produksi pinang ditindaklanjuti rangkaian riset untuk mendorong agar hasil panen tak berhenti sebatas menjadi biji, melainkan beragam jenis produk dan manfaat.
Telah ada hasil riset pengolahan pinang biji menjadi bubuk pewarna, bahan kosmetik, dan bahan obat-obatan yang merupakan temuan dosen di kampus itu beberapa tahun silam. Sudah ada juga hasil riset pengolahan pinang menjadi permen. Hasilnya bahkan sudah dipatenkan Kementerian Hukum dan HAM. Riset lainnya mendapati kandungan cangkang, pelepah, dan sabut memiliki biomassa yang berenergi tinggi sehingga berpotensi diolah menjadi biobriket.
Namun, dari semua hasil riset dan inovasi itu, baru pelepah yang berhasil dikomersialisasi. Adapun produksi bahan kosmetik, pewarna, biobriket, hingga permen pinang belum bisa dikembangkan lebih lanjut. Kampus kesulitan untuk mengantarkannya pada sektor industri. ”Di sini kami merasakan jurang yang dalam antara hasil inovasi kampus menuju komersialisasi oleh industri,” katanya.
Dibutuhkan jembatan untuk mencapai ke sana sehingga pinang tak lagi semata komoditas ekspor yang besar, tetapi juga memiliki nilai dan manfaat yang menyejahterakan masyarakat.