OTT Bupati Probolinggo dan ”Sensasi Pedas” Korupsi
Kapok lombok korupsi. Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya yang juga anggota DPR RI ditangkap terkait jual beli jabatan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·6 menit baca
Lagi-lagi kepala daerah di Jawa Timur tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari ditangkap bersama suami sekaligus mentor politiknya, Hasan Aminuddin. Begitulah keberulangan ”kapok lombok” korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Disebut kapok lombok, karena seperti sensasi makan cabai, pedasnya sesaat, sebelum kemudian menikmatinya lagi. Begitu seterusnya sampai yang bersangkutan dipaksa keadaan untuk tidak boleh menikmatinya lagi. Begitu pun korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sejenisnya. Berkali-kali para pelaku ditangkap, diadili, dan dihukum, tak juga membuat pelaku lain jera dan sungguh-sungguh tulus mengemban amanat rakyat.
Pun dengan kasus OTT KPK terhadap bupati Probolinggo kali ini. Belum lupa dalam ingatan, deretan kepala daerah tertangkap KPK dengan kasus serupa, seperti penangkapan Bupati Nganjuk, Jombang, dan Sidoarjo. Rupanya hal itu tidak menyurutkan pejabat lain menghentikan penyalahgunaan kekuasaan. Kali ini, Bupati Probolinggo ditangkap terkait jual beli jabatan, Senin (30/8/2021).
Begitu kabar OTT KPK menyebar di grup-grup Whatsapp masyarakat Probolinggo, beragam tanggapan muncul, mulai dari mempertanyakan kebenaran berita hingga mengucapkan doa. Salah satu komentar yang muncul demikian, ”Cara Allah yang masih sayang pada hambanya.”
Menggantikan suami
Puput Tantriana Sari (38) menjabat bupati Probolinggo sejak tahun 2013. Saat ini, ia menjabat periode kedua 2018-2023. Puput menjadi bupati menggantikan suaminya, Hasan Aminuddin (56), yang saat ini menjadi anggota DPR RI dari Partai Nasional Demokrat (periode 2014-2019 dan 2019-2024).
Sebelumnya, Hasan merupakan bupati Probolinggo dua periode, yaitu tahun 2003-2008 dan 2008-2013. Sebelum menjabat bupati, Hasan adalah Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo periode 1999-2003.
Adapun Tantri, sebelum terjun dalam kancah politik, bekerja sebagai seorang staf di Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (2004-2008). Tanpa latar belakang politik, ia masuk dunia politik atas bimbingan suaminya.
Jalan Puput menuju jabatan bupati tidaklah mulus. Sebelum bertarung dalam pilkada 2012, bupati kala itu menggeser posisi Sekretaris Daerah Kabupaten Probolinggo Kusnadi menjadi staf biasa di Kecamatan Dringu pada tahun 2012. Kusnadi menilai kebijakan itu terkait dengan rencananya maju sebagai calon bupati Probolinggo bersaing dengan Puput Tantriana.
Pencopotan jabatan itu sempat dijadikan dasar Kusnadi menggugat ke Mahkamah Konsitusi terkait hasil Pilkada 2012 yang memenangkan pasangan Puput Tantriana Sari-Timbul Prihanjoko. Berdasar putusan MK nomor 92/PHPU.D-x/2012, gugatan tersebut ditolak.
Pada Pilkada 2012, saat itu bertarung tiga pasangan calon bupati Probolinggo, yaitu Puput Tantriana Sari-Timbul Prihanjoko (mendapat suara 40,7 persen), Salim Qurays-Agus Setiawan (30,9 persen suara), dan Kusnadi-Wahid Nurahman (28 persen suara).
Setelah Puput menjadi bupati, beberapa kali tampak Hasan Aminuddin muncul menemaninya dalam beberapa kegiatan. Sosok Hasan juga masih menjadi bahan pemberitaan di Pemkab Probolinggo dengan segala aktivitas politik dan sosialnya. Apalagi, ia kini menjabat Wakil Ketua Komisi IV DPR yang beberapa kali berkegiatan di Kabupaten Probolinggo.
Rekam jejak Hasan sejak menjadi aktivis, anggota dewan, bupati, hingga kemudian berhasil mengusung istrinya menjadi bupati membuktikan kekuasaan pria kelahiran Probolinggo, 7 Januari 1965, tersebut cukup mengakar. Bahkan, saat ini berembus kabar bahwa keluarga Hasan akan kembali mengusung anaknya dari istri pertama untuk maju dalam kontestasi bupati pada Pilkada 2023.
Kuatnya dinasti kekuasaan keluarga itu di Probolinggo tidak berbanding lurus dengan kuatnya ekonomi masyarakat. Kabupaten Probolinggo merupakan wilayah di pantura timur Provinsi Jawa Timur berpenduduk 1,1 juta jiwa. Penduduknya tersebar di daerah berkontur pesisir pantai maupun pegunungan (Gunung Bromo). Rata-rata warganya dari etnis Madura, Jawa, dan lainnya.
Statistik menyebutkan, kabupaten ini memiliki beberapa daerah dengan kemiskinan cukup tinggi. Statistik Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Probolinggo tahun 2020 terbitan BPS Probolinggo menyebutkan, jumlah penduduk miskin Probolinggo sebanyak 218.350 jiwa atau 18,61 persen.
Bila dibandingkan kabupaten/kota lain, Kabupaten Probolinggo masuk dalam deretan tingkat kemiskinan tinggi di Jatim bersama sejumlah wilayah di Pulau Madura. Tahun 2019, tingkat kemiskinan di Jatim 10,37 persen.
Padahal, bila ditelisik lebih jauh, potensi Kabupaten Probolinggo sebenarnya sangat besar. Mereka memiliki potensi perikanan dan perkebunan, dari pantai hingga pegunungan. Kekayaan perikanan melimpah, buah mangga, tembakau, bawang merah, serta memiliki wisata Gunung Bromo, air terjun Madakaripura, dan lereng pegunungan Argopuro.
Mangga Probolinggo tersohor di Tanah Air. Bahkan, produk mangga milik Suli Artawi, warga Dusun Alas Kandang, Kecamatan Besuk, diekspor ke beberapa negara sejak lama. Pun, di tengah pandemi kali ini, olahan bawang merah milik Nurul Khotimah warga Dringu juga berhasil ekspor ke Jepang.
Bersinar
Dengan potensi sebesar itu, cukup bekal bagi Probolinggo bersinar sebagaimana namanya. Sejarawan Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menyebut, nama Probolinggo berasal dari kata prabha (sinar) dan lingga (dewa, dalam hal ini Syiwa). Artinya adalah tempat yang bersinar.
Hal itu merujuk pada berbagai peninggalan sejarah di kawasan Tiris dan sekitarnya—Candi Kedaton, temuan arca Bima, dan temuan punden berundak di Lereng Argopuro.
Namun, sebagian orang juga memercayai bahwa nama Probolinggo berasal dari kata prabu (raja) dan linggih (duduk atau berada). Hal itu merujuk pada kedatangan Raja Hayam Wuruk yang sempat singgah di sana, saat raja Majapahit itu sedang melakukan perjalanan ke timur pada 1359 Masehi.
”Peran pemimpin sangat penting dalam menentukan masa depan wilayahnya. Pemimpin baik adalah yang bisa memanfaatkan ruang kebijakan yang dimiliki untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Bukan sebaliknya, memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri atau kelompok,” kata dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang, Wawan Sobari.
Menurut Wawan, terus munculnya suap dan korupsi kepala daerah adalah karena tingginya ongkos politik untuk menjadi pemimpin. ”Itu bisa dilakukan karena si pemimpin daerah tersebut saat maju pilkada telah ’mengijonkan’ proyek kepada pihak tertentu agar mendapatkan dukungan. Atau, dia juga butuh membiayai partai dan lainnya untuk menjaga stabilitas kepemimpinanya (menjaga rivalitas),” kata dia.
Menjaga stabilitas kepemimpinan (menjaga rivalitas) paling mudah, menurut Wawan adalah dengan uang. Dan untuk itu dibutuhkan dana-dana taktis yang biasanya diambil melalui cara-cara mudah, seperti suap dan korupsi.
” Tindakan seperti ini adalah ciri politik predator, yaitu terjadi power abuse atau penyalahgunaan wewenang, inefisiensi kebijakan, dan korupsi. Hal itu dilakukan untuk membiayai pencitraan dan mengelola rivalitas. Dalam mengelola rivalitas, dukungan harus dijaga dan menekan rival. Makanya butuh rente untuk membiayainya seperti untuk tim sukses, pemilih, tokoh masyarakat, dan lainnya,” kata Wawan.
Selama masyarakat masih menilai ukuran keberhasilan kepala daerah dengan tangibility (materi), praktik politik predator tersebut masih akan terus terjadi.
Filsuf politik Niccolo Machiavelli dalam Skinner (1990:170) menyebut, ”If a man is trully eager to acquire eternal glory, he should ask God to allow him to live in a corrupt city in order to have chance to reform it.” (Jika orang benar-benar ingin mendapatkan kebesaran mutlak (abadi), maka ia harus meminta kepada Tuhan untuk mengizinkannya hidup di kota yang korup untuk berupaya mereformasinya). Dalam beberapa kasus, para pemimpin justru ikut arus korupsi dan melanggengkannya.
Pada akhirnya, siapa yang menabur akan menuainya. Siapa yang berbuat akan menerima akibatnya, ngunduh wohing pakarti. Atau, seperti komentar di grup WA atas OTT KPK kali ini, ”Begitulah cara Allah yang masih sayang pada hamba-Nya”. Kasus Probolinggo ini kembali mengingatkan betapa pentingnya pemimpin menjaga kepercayaan warga.