Korupsi di Nganjuk dan Budaya Arkais Kita
Kisah rekayasa perangkat sebagaimana diduga dilakukan Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat bukanlah barang baru. Rekayasa seperti itu adalah budaya arkais (kuno) sejak berabad lalu.
MALANG, KOMPAS — Baru-baru ini publik kembali heboh setelah Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat yang tertangkap tangan KPK terkait seleksi pejabat di Nganjuk. Bahkan, disebut-sebut bukan hanya pejabat pemerintahan daerah, melainkan juga desa. Seleksi pejabat itu diduga melibatkan uang ratusan juta rupiah.
Proses tidak benar dalam seleksi pejabat tersebut jika ditelaah lebih jauh sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun lalu di Indonesia, khususnya Jawa—J Chailley-Bert dalam bukunya Java et ses habitants.
Sebagaimana dikutip Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3 pada bab ”Masyarakat yang Hierarkis”, menulis bahwa tahun 1900, pemilihan kepala desa tidak benar-benar dipilih oleh penduduk, tetapi oleh pihak yang berwenang. Hal itu untuk membantah Raffles yang mengatakan datang ke Jawa (mewakili Inggris) untuk memulihkan hak rakyat dalam memilih kepala desa.
Baca juga: Kekuasaan di Desa dan OTT Bupati Nganjuk oleh KPK
Saat itu, J Chailley-Bert menggambarkan bahwa pemilihan lurah yang dihadirinya di Probolinggo, Jawa Timur, sudah direkayasa oleh kontrolir Belanda dan wedana. Saat itu, dari lima calon yang dipilih hanya empat yang memutuskan untuk maju pemilihan.
Mereka adalah sekretaris desa, dua pemilik tanah, dan seorang pedagang. Kedua pemilik tanah kemudian mengundurkan diri dan tinggal dua calon. Hingga pada akhir pemilihan, terpilihlah sekretaris desa sebagai lurah.
J Chailley-Bert kemudian berkata, ”Upacara telah usai dan saya simpulkan dalam tiga kata, yaitu bersih, bebas, dan adil. Namun, saya bertanya, kenapa kontrolir itu selalu hadir dan memegang peran pertama, sedangkan pemimpin Jawa hanya memegang peran kecil dan menjadi figuran? Maka apa jadinya sistem protektorat?”
Kritik J Chailley-Bert terhadap sistem pemilihan kepala desa masa itu mungkin akan menemukan jawabnya jika menengok lebih jauh ke masa lampau. Jauh sebelumnya tercatat bahwa masyarakat kita sudah sangat lekat dengan budaya gratifikasi atau upaya menyenangkan atasan.
Baca juga: Terulang, Jual Beli Jabatan di Nganjuk Libatkan Bupati
Pasek-pasek atau pasak-pasak adalah bagian dari ritual upacara penetapan sima. Pasek-pasek adalah semacam hadiah berupa uang, barang, atau binatang yang diberikan kepada hadirin terutama para pejabat kerajaan, para saksi, dan pejabat desa yang terutama berbatasan dengan desa sima.
Dalam makalah berjudul ”Sang Hyang Watu Teas Dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengkapan Ritual Upacara Penetapan Sima Pada Masa Kerajaan Mataram Kuno” karya Timbul Haryono (1980) disebutkan bahwa pemberian pasek-pasek bisa berupa barang, seperti kain dan cincin.
Jumlah dan kualitas barang yang dibagikan didasarkan atas urutan kepangkatan dan tinggi-rendahnya kedudukan. Misalnya, jika pemberian pasak-pasak dalam bentuk kain, kain untuk pejabat tinggi jenisnya berbeda dengan yang diberikan kepada pejabat rendah. Demikian pula ukurannya.
Baca juga: Akhir Karier Politik Bupati Nganjuk
Pada era supermodern seperti sekarang ini, budaya arkais rekayasa perangkat desa dan suap-menyuap masih terus eksis dan ditularkan dari generasi ke generasi. Hal ini terjadi mungkin saja karena modernitas itu hanya chasing atau kemasan luar. Namun, isi di dalamnya—otak (pemikiran) kita—tetap arkais alias kuno. Sekuno orang-orang bercelana cawat ratusan tahun lalu.
Politik predator
Praktik suap atau gratifikasi melalui celah seleksi pengisian pejabat sebagaimana dilakukan oleh Bupati Nganjuk, menurut dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari, merupakan praktik politik predator.
”Ciri politik predator itu tiga, yaitu power abuse atau penyalahgunaan wewenang, inefisiensi kebijakan, dan korupsi. Hal itu dilakukan untuk membiayai pencitraan dan mengelola rivalitas. Dalam mengelola rivalitas, dukungan harus dijaga dan menekan rivalitas. Makanya, butuh rente untuk membiayainya, seperti untuk tim sukses, pemilih, tokoh masyarakat, dan lainnya,” kata Wawan.
Upaya mencari rente atau duit dari dana non-bujeter dengan cara-cara tidak benar itu, menurut Wawan, terjadi karena sistem keuangan pemerintahan sekarang semakin terbangun dan terawasi dengan baik, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban.
”Itu membuat celah untuk mencari dana non-bujeter bagi pemimpin daerah menjadi tidak mudah. Maka, solusinya adalah dengan melakukan political abuse (menyalahgunakan wewenang) dengan menerima duit yang tidak seharusnya seperti kasus di Nganjuk,” kata pengamat politik tersebut.
Ciri politik predator itu tiga, yaitu power abuse atau penyalahgunaan wewenang, inefisiensi kebijakan, dan korupsi.
Citra baik bagi seorang pemimpin sangatlah penting. Jika berkaca pada teori looking-glass self theory ala Charles Horton Cooley, citra pemimpin itu ditentukan interaksinya dengan masyarakat. Jika masyarakat melihat pemimpinnya memiliki sikap baik, pemimpin itu akan bercitra baik (meski sebenarnya mungkin ia tidak benar-benar baik).
Intinya, sosok sesorang itu ditentukan oleh asosiasi/pandangan orang lain (masyarakatnya). Semakin banyak tindakan atau citra baik dilakukan pada masyarakat, si pemimpin itu akan disebut seorang pemimpin baik. Dan, untuk itu, seorang pemimpin butuh usaha dan dana.
Arti bagi desa
Kasus jual beli jabatan dalam seleksi perangkat desa di Nganjuk juga menggambarkan betapa belum berdayanya desa. Menurut pegiat Komunitas Sinau Desa Iman Suwongso, ketidakberdayaan itu bisa karena tidak tahu/paham aturan, serta bisa jadi memang mentalitas inlander dan inferior dari masyarakat desa masih menempel kuat.
”Ketidakberdayaan ini karena desa tidak tahu bahwa memilih perangkat desa tidak perlu persetujuan bupati. Kepala desa berhak mengangkat perangkat desa setelah berkonsultasi dengan camat. Konsultasi itu pun terukur. Jika nama calon disetujui karena apa, dan jika tidak disetujui pun karena apa. Harus ada alasan tertulisnya sehingga camat tidak bisa semena-mena ’memainkan’ proses itu menjadi transaksional,” kata Iman.
Sebagaimana diketahui, pengisian perangkat desa merupakan kewenangan desa. Hal itu sesuai UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diterjemahkan dalam PP di bawahnya, serta Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.
Baca juga: BUMDes dan Budaya Lama Desa yang Tidak Pernah Berubah
Pengisian perangkat desa bisa dilakukan dengan mutasi atau penjaringan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat 4 Permendagri Nomor 67 Tahun 2017. Dalam sistem penjaringan ini, peran camat hanya bertugas memberikan konsultasi, sebagaimana disebut dalam Pasal 7 Ayat 5 Permendagri di atas. Jadi, tidak ada hubungannya secara langsung dengan bupati.
Berkonsultasi dengan camat pun artinya bukan menunggu nama perangkat desa dari camat. Camat berperan mengawasi bahwa calon terpilih adalah sesuai kriteria (pendidikan, KTP, dan sebagainya), dan bukan asal maunya kepala desa. Hal ini merupakan bagian dari tugas camat untuk membina desa.
Proses transaksional camat dengan kepala desa dalam pengisian perangkat desa sebenarnya sudah jamak terjadi. Di Kabupaten Malang, misalnya, pernah sebuah desa menanti lebih dari sebulan untuk turunnya persetujuan/rekomendasi camat dalam seleksi perangkat desa. Usut punya usut, camat enggan memproses persetujuan karena butuh uang pelicin, sedangkan desa tidak mau memberikannya.
Seandainya desa tersebut paham, jika camat tidak memberikan jawaban atas permohonan konsultasi/rekomendasi selama 14 hari, kepala desa bisa langsung melantik/mengangkat perangkat desa yang sudah dipilihanya. Tidak perlu menunggu jawaban camat hingga berbulan-bulan.
”Ketidaktahuan dan ketidakpahaman terhadap aturan seperti itulah yang memaksa desa akhirnya ikut saja apa kata camat, bupati, atau siapa yang membisiki. Dan, akhirnya, seperti kasus OTT Bupati Nganjuk, bahwa seorang bupati bisa turut campur dalam seleksi perangkat desa. Ini sangat tidak benar,” kata Iman.
Begitulah, OTT Bupati Nganjuk adalah momentum untuk menyadari bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam membangun dan memberdayakan desa. Bukan perkara mudah, tetapi bisa dilakukan jika ada niat.
Baca juga: Memikirkan Ulang Demokrasi