Memikirkan Ulang Demokrasi
Dari semua provinsi di kawasan barat, tengah, dan timur Indonesia, terdapat empat provinsi dengan konsistensi perkembangan positif. Semua aspek pengukuran demokrasi DIY, NTB, Sulut, dan Papua tidak mengalami kemunduran.
Tren pengukuran kemajuan demokrasi Indonesia menunjukkan capaian positif dalam 11 tahun masa penilaian (2009-2019).
Merujuk data BPS, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) meningkat dari 67,3 (2009) ke 74,92 poin indeks (2019). Dibagi rata, angka perbaikan kinerja demokrasi mencapai 0,69 poin per tahun.
Baca juga: Pandemi dan Tantangan Eksistensi Demokrasi
Capaian hasil pengukuran terakhir mengindikasikan kemajuan demokrasi dalam kategori ”sedang”. Namun, sejumlah persoalan membayangi perbaikan performa demokrasi itu. Terdapat aspek, variabel, dan indikator yang justru mengalami kemunduran. Selain itu, belum semua warga menikmati manfaat pembangunan politik ini secara merata.
Merosotnya kebebasan
Kemunduran paling menonjol terjadi pada aspek kebebasan sipil. Penurunan indeks dalam kurun 11 tahun pengukuran mencapai 9,77 poin. Kemerosotan itu bahkan melebihi angka kenaikan IDI pada periode sama (7,62). Dari empat variabel kebebasan sipil, hanya kebebasan dari diskriminasi yang menunjukkan tren positif (3,43 poin). Tiga variabel lain menurun.
Kebebasan berkumpul dan berserikat turun 13,41 poin. Kebebasan berpendapat turun paling tinggi hingga 19,68 poin. Kebebasan berkeyakinan bergerak minus hingga 7,64 poin.
Baca juga: Pengabaian Kebebasan Sipil Bisa Ciptakan Iklim Otoritarian
Kemunduran kebebasan sipil ini disumbang oleh sejumlah indikator. Adanya ancaman/penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah dan masyarakat menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat, serta kebebasan berpendapat.
Sementara kebebasan berkeyakinan rontok karena adanya aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama.
Sementara kebebasan berkeyakinan rontok karena adanya aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama. Tindakan/pernyataan pejabat yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama juga menurunkan kebebasan berkeyakinan.
Dari enam indikator kebebasan sipil yang mengalami kemunduran, empat merupakan andil aparat pemerintah dan aturan tertulis (negara). Sementara ancaman dari masyarakat muncul pada dua indikator. Dengan kata lain, kedua entitas berperan menghambat kebebasan sipil, dengan sumbangan negara lebih dominan.
Baca juga: Resesi Demokrasi
Dominasi negara sebagai pendorong kemajuan demokrasi juga tampak dalam perbaikan aspek hak-hak politik. Dalam pemenuhan hak memilih dan dipilih, KPU dan pemerintah berkontribusi mendorong kenaikan menonjol indikator peningkatan fasilitas bagi penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilih (46,53). Selain itu, KPU dan pemerintah berperan memperbaiki kualitas daftar pemilih tetap (43,67).
Untuk variabel partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintah, warga dan negara andil secara paradoksal. Di satu sisi, pemerintah berhasil memfasilitasi pengaduan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan (49,97). Di sisi lain, penyampaian aspirasi nonkonvensional oleh warga (demonstrasi/mogok yang bersifat kekerasan) menegasi pemenuhan hak-hak politik (-46,84). Negara masih dominan berkontribusi menentukan arah perbaikan hak-hak politik.
Informalitas
Kinerja aspek lembaga demokrasi seluruhnya ditopang oleh lembaga formal (parpol, DPRD, KPU, birokrasi, peradilan). Indikator kaderisasi oleh parpol (65,24), perda inisiatif DPRD (40,51), perempuan pengurus parpol (26,15), dan alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan (23,95) merupakan penyumbang terbesar kenaikan sub-indeks ketiga itu.
Sebaliknya, dua indikator yang mengalami penurunan adalah netralitas KPUD dalam penyelenggaraan pemilu (-9,91) dan penghentian penyidikan yang kontroversial oleh jaksa atau polisi (-1,03).
Baca juga: Menghidupkan Demokrasi
Konsekuensinya, pasang surut kinerja lembaga demokrasi dalam 11 tahun terakhir bergantung pada performa pemerintah, parpol, dan penyelenggara pemilu. Padahal, di luar institusi dalam pengertian formal, lembaga dalam pengertian informal justru ikut mendorong bekerjanya demokrasi, terutama di daerah.
Praktik-praktik informal ”sponsor” calon kepala daerah untuk mengikuti pilkada, sebagaimana diungkap KPK, ikut mendorong bekerjanya mesin politik kandidat. Begitu juga jejaring paternalisme ikut dongkrak kompetisi pilkada.
Bekerjanya demokrasi juga tak lepas dari peran narasi dalam membingkai makna positif atau negatif demokrasi.
Bekerjanya demokrasi juga tak lepas dari peran narasi dalam membingkai makna positif atau negatif demokrasi. Persaingan wacana atau konstruksi wacana berbagai praktik demokrasi turut menyumbang persepsi terhadap demokrasi. Apalagi perkembangan teknologi digital kian memudahkan praktik persuasi, resonansi, dan proses halus pembingkaian makna berbagai peristiwa yang terkait dengan demokrasi.
Karena itu, refleksi atas perkembangan 11 tahun pengukuran kinerja demokrasi Indonesia adalah apakah kita masih akan bertahan dengan pendekatan demokrasi yang berpusat pada rakyat (rule by people) di tengah dominannya kontribusi negara dalam menentukan perkembangan demokrasi? Atau, kita lebih realistis memandang demokrasi dengan pendekatan yang berpusat pada negara.
Baca juga: Ketahanan Masyarakat Sipil
Opsi pendekatan lainnya, kita bisa belajar dari hasil perbandingan perkembangan IDI pada tingkat provinsi. Sepanjang 2009-2019, terdapat disparitas kemajuan demokrasi antarkawasan. Rerata kenaikan IDI provinsi di kawasan barat (7,76) dan tengah (7,54) relatif sama. Sebaliknya, provinsi di timur mengalami rerata penurunan hingga 0,54 poin.
Uniknya, dari semua provinsi di kawasan barat, tengah, dan timur Indonesia, terdapat empat provinsi dengan konsistensi perkembangan positif. Seluruh aspek pengukuran demokrasi DI Yogyakarta (barat), NTB dan Sulawesi Utara (tengah), dan Papua (timur) tidak ada yang mengalami penurunan.
Karena itu, penting untuk diteliti faktor pendorong kestabilan tren positif itu. Apakah negara (provinsi) berperan sentral atau mendesentralisasikan perannya kepada warga dalam mendorong kemajuan demokrasi?
Jika tren positif pada empat provinsi didorong keberhasilan devolusi ”berdemokrasi”, gagasan demokrasi yang terdesentralisasi bisa menjadi harapan mengembalikan kredo demokrasi ”dari, oleh, dan untuk rakyat”.
(Wawan Sobari, Dosen Bidang Politik Kreatif; Kaprodi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya)