Terjeratnya Bupati Ngajuk Novi Rahman Hidayat dalam operasi tangkap tangan KPK menambah daftar panjang kepala daerah terjerat korupsi. Integritas kepala daerah tidak bisa dibangun dalam sekejap mata.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·4 menit baca
Kabupaten Nganjuk kembali geger. Untuk kedua kalinya, sang bupati harus menjadi pesakitan akibat operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Suap jabatan kembali menjadi modus kepala daerah terjerat kasus penyelewengan jabatan.
Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat yang terpilih pada Pilkada 2018 tersebut merupakan putra daerah Nganjuk. Lahir pada 2 April 1980, Novi menghabiskan masa bersekolah SD hingga SMU di kabupaten ini.
Setelah lulus dari SMU Darul Ulum tahun 1999, Novi melanjutkan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Balitar dan lulus pada 2005. Selanjutnya, Novi menyelesaikan studi magister manajemen di Universitas Islam Kadiri setahun setelahnya.
Sebelum terjun ke dunia politik, Novi lebih dulu menjadi seorang pengusaha. Sejak 2005, Novi hampir selalu menduduki jabatan direksional di perusahaannya.
Setahun setelah lulus jenjang magister, Novi menjabat posisi direktur utama di Tunas Adtha Mandiri. Di perusahan inilah Novi kemudian berkarier selama lebih dari satu setengah dekade sebagai presiden direktur dan direktur utama.
Di luar perusahaan itu, Novi juga menjabat sebagai komisaris utama di PT Putra Mandiri Plastik dan PT Putra Mandiri Real Estate sejak 2008 serta PT Putra Mandiri Sawit sejak 2011.
Kegiatan bisnisnya mengantarkan Novi untuk turut aktif di berbagai organisasi pebisnis. Setelah memimpin perusahaan real estatnya, Novi menjadi Ketua Real Estate Indonesia (REI) Kediri pada 2015 hingga 2015.
Di samping itu, ia juga menjabat beberapa jabatan di organisasi lain, seperti posisi Sekretaris Perbarindo PBI Kediri tahun 2011 sampai 2016 dan Bendahara Yapindo PBI Kediri pada periode waktu yang sama.
Pengalaman bisnis dan organisasinya pun ia jadikan modal untuk terjun ke gelanggang politik. Upayanya pun diganjar jabatan Bupati Nganjuk ketika ia memenangi Pilkada 2018 saat berpasangan dengan Marhaen Djumadi dan meraih suara sebesar 54,73 persen atau setara dengan 303.195 suara.
Awal masa kepemimpinannya bisa dibilang cukup menjanjikan. Demi menjamin pemerintahan yang bersih, Novi bahkan tak segan untuk mundur dari jabatannya di perusahaan dan organisasi bisnisnya setelah ia menjabat sebagai bupati.
Tak hanya itu, ia juga berani mengambil langkah tegas untuk ”bersih-bersih” di lingkungan pemerintah kabupaten dengan mengganti 18 kepala dinas, badan, dan kantor di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk yang terindikasi memiliki afiliasi dengan mantan bupati yang korup.
Bahkan, kinerja awalnya sempat diganjar oleh berbagai pujian. Salah satunya berasal dari mantan menteri BUMN Dahlan Iskan. Dalam tulisannya, Dahlan bahkan menyebut bahwa Novi bisa sukses seperti Bupati Banyuwangi Azwar Anas. Bukan tanpa alasan, selain sama-sama didukung oleh PDI-P, keduanya merupakan politisi yang memiliki latar belakang santri.
Sayangnya, tak sampai habis jabatannya, Novi tertangkap OTT atas dugaan korupsi jual beli jabatan pada 9 Mei 2021. Tak hanya mengingkari janjinya sendiri untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kasus yang menjerat Novi juga menyingkap fenomena korupsi yang membudaya.
Sebelumnya, eks Bupati Nganjuk Taufiqurrahman juga terjerat kasus korupsi. Tak tanggung-tanggung, Taufiqurrahman bahkan disangka dengan kasus korupsi sebanyak dua kali.
Pada kasus pertama, ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi lima proyek di Nganjuk pada 2009. Namun, ia kemudian berhasil memenangkan gugatan praperadilan. Tak terbukti bersalah, ia pun dilepaskan.
Akan tetapi, delapan tahun berselang, Taufiqurrahman kembali tersandung kasus korupsi. Kali ini, ia pun terbukti telah melakukan korupsi terkait dengan jual beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nganjuk.
Kasus ini menjadi salah satu yang cukup menggemparkan. Pasalnya, posisi politik Taufiqurrahman sebenarnya cukup kuat. Saat itu, ia merupakan Bupati Nganjuk dua periode yang didukung oleh PDI-P.
Taufiqurrahman juga sempat menjabat posisi tertinggi di kabupaten tersebut sebagai Ketua DPC PDI-P Nganjuk. Namun, begitu ia disangka dengan kasus korupsi, ia pun segera didepak dari kepengurusan dan keanggotaannya dicabut.
Setali tiga uang, hal serupa terjadi di kasus Novi. Tak hanya kehilangan jabatan publiknya, kemungkinan besar ia pun juga akan ditendang oleh partainya sendiri.
Hal ini tampak dari gelagat partai pengusungnya saat pilkada silam. Sehari setelah penangkapannya, DPP PDI-P segera mengumumkan bahwa Novi bukan anggota PDI-P dan tak menjadi bagian dari partai itu.
Selain PDI-P, para pengurus PKB juga segera mengeluarkan pernyataan bahwa Novi bukanlah kader dari partainya. Bahkan, mereka pun tak segan untuk melempar bola panas dan menyatakan bahwa Novi merupakan kader PDI-P. Hal ini berdasar dari rekaman yang menunjukkan Novi yang mengaku sebagai kader PDI-P dalam sebuah acara stasiun televisi lokal.
Hingga kini, Novi bisa dibilang masih terombang-ambing secara politik. Memang, Novi bukanlah pejabat publik yang berangkat dari organisasi partai. Besarnya modal ekonomi dan sosial yang dimilikinyalah yang akhirnya memancing partai-partai untuk mendompleng pada pilkada.
Namun, sekejap membalikkan telapak tangan, pengaruhnya pun lenyap setelah ia dicokok KPK. Maka, hampir dapat dipastikan bahwa karier politik sang konglomerat pun tuntas. (LITBANG KOMPAS)