Menentang Maut demi Seribu Ringgit
Setidak-tidaknya tiga tahun terakhir, Malaysia adalah negara tujuan utama pekerja migran Indonesia. Meski upah di Negeri Jiran tak tinggi, ribuan warganegara Indonesia rela menentang maut untuk bisa bekerja di Malaysia.
Solidarity is key to our common survival and prosperity, within borders and across borders. As we deal with today’s crisis and look to the future, one thing is clear: we need a human-centred recovery, with justice and equity, a recovery that is sustainable and inclusive of all. (Guy Ryder, Director-General of International Labour Organization to mark May Day, 1 May 2021)
Ketika jutaan buruh berunjuk rasa atau berdiskusi untuk memperingati Hari Buruh Internasional (May Day), Sabtu (1/5/2021) lalu, ribuan pekerja lainnya, termasuk dari Indonesia, terpaksa menantang maut, mempertaruhkan hidupnya demi bisa bekerja lagi. Pandemi Covid-19 membuat para buruh itu tercabut dari mata pencahariannya.
Kebijakan pembatasan dalam bekerja, termasuk bagi pekerja migran, membuat sejumlah buruh terpaksa kembali ke negeri asalnya, dan kehilangan pekerja. Sejak pandemi terjadi, pemerintah Malaysia misalnya, melakukan pembatasan terhadap pekerja migran, termasuk dari Indonesia. Ribuan pekerja migran dipulangkan dengan paksa, walaupun perusahaan atau majikan di Negeri Jiran itu masih membutuhkan mereka.
Baca juga: Sengkarut Pekerja Migran Indonesia Bermula sejak Prapenempatan
Menurut laporan Alyaa Alhadjri dari Malaysiakini.com, yang bekerja sama dengan Kompas, dan didukung Sasakawa Foundation (Jepang) melaporkan persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, Operasi Benteng dari Pemerintah Malaysia pada Mei 2020 hingga Februari 2021, menyebabkan 12.087 pekerja migran dan 922 pawang perahu, yang biasa membantu buruh migran masuk ke Malaysia secara illegal, ditangkap. Sebagian besar buruh migran ini diyakini dari Indonesia. Pemulangan pekerja migran dari berbagai negara itu akan meninggalkan sekitar 40.000 lowongan pekerjaan, yang akan diisi oleh warga Malaysia yang selama pandemi juga kehilangan pekerjaan.
Harapannya, pekerja migran yang dipulangkan itu tak kembali lagi ke Malaysia, sehingga tak menjadi terduga penyebar virus korona baru juga. Apalagi, khusus Indonesia, termasuk negara yang memiliki penyebaran Covid-19 yang tinggi. "Setelah pekerja migran asal Indonesia kembali, mohon jangan kembali lagi (ke Malaysia) secara ilegal," kata Juru Bicara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur, Yoshi Iskandar kepada Malaysiakini.com.
Setelah pekerja migran asal Indonesia kembali, mohon jangan kembali lagi (ke Malaysia) secara ilegal,
Kebijakan pembatasan yang ditetapkan pemerintah Malaysia efektif mengurangi jumlah TKI yang masuk ke negeri itu secara resmi. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) tahun 2020 menunjukkan, Malaysia yang selama ini menjadi tujuan utama pekerja migran Indonesia, tahun lalu bukanlah lagi yang menarik hati bagi TKI. Jumlah pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di Malaysia menurun drastis, tinggal 14.630 orang, kalah banyak dibandingkan yang ditempatkan di Hongkong sebanyak 53.206 orang, dan di Taiwan (34.415 orang). Padahal, selama dua tahun sebelumnya, TKI yang ditempatkan di Malaysia lebih dari 170.000 orang, yakni 90.664 orang (2018) dan pa- da 2019 sebanyak 79.662 orang.
Namun, jumlah warganegara Indonesia (WNI) yang mencoba peruntungan ke Malaysia, melalui jalan ilegal, tampaknya tak menyurut. Pandemi tak memberikan pilihan pada mereka. Mereka juga tidak memiliki pekerjaan saat kembali ke Tanah Air. Jalan bahaya ditempuh, meski- pun nyawa menjadi taruhannya. Memang tidak ada laporan pasti mengenai jumlah WNI yang masuk kembali ke Malaysia, untuk bekerja, secara ilegal. Namun, selalu saja ada calon TKI, sebagian di antaranya pernah bekerja di Malaysia, menjadi korban saat akan kembali memasuki negeri tetangga itu.
Dalam catatan Kompas, kejadian terakhir, jelang peringatan May Day, adalah menimpa 31 calon TKI yang akan masuk ke Malaysia secara illegal, digagalkan oleh jajaran Polres Batubara, Sumatera Utara. Namun, tekong kapal motor yang membawa mereka bisa melarikan diri, dengan melompat ke Sungai Gambus di Kecamatan Lima Puluh Pesisir, Batubara, Minggu (25/04/2021) lalu. Calon TKI itu selamat, tetapi menderita kerugian dana, yang dibayarkan pada sindikat yang bisa menyelundupkan calon TKI ke Malaysia. Dan, tiada jaminan mereka tak akan kembali lagi mencoba mencari pendapatan di Malaysia.
Baca juga: Bekerja ke Malaysia karena Persoalan Ekonomi hingga Iming-iming Gaji Tinggi
Akhir Maret lalu, Supriyono alias Ronggo (40 tahun), buruh migran asal Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah ditemukan tewas di Perairan Pangke, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Korban diduga menjadi salah satu dari tiga korban kecelakaan kapal yang terjadi di perairan Kepulauan Riau itu, Minggu (28/3/2021). Dalam kecelakaan itu, enam orang selamat dan dua penumpang lain belum diketahui nasibnya. Supriyono sebelumnya pernah bekerja di Malaysia, dan menjelang bulan puasa tahun lalu, ia kembali ke Indonesia. Ketiadaan pekerjaan di daerah asalnya membuat dia terpaksa mencoba peruntungan lagi di Malaysia, meski melalui jalan “tikus”, yang berujung kematian.
Empat bulan pertama tahun 2021 ini, menurut Kepala BP2MI Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Siwa, sebanyak 46 TKI asal provinsi itu meninggal di Malaysia. "Semua TKI yang meninggal itu tidak memiliki dokumen resmi atau ilegal," kata Siwa, seperti dilaporkan Kompas.com, Kamis (22/4/2021) malam. Pada Januari 2021, TKI asal NTT yang meninggal sebanyak 10 orang, Februari (tujuh orang), Maret (15 orang), dan April 2021 sebanyak 14 orang.
Seribu ringgit
Tahun lalu, saat pandemi Covid- 19 memuncak, enam jenazah WNI ditemukan otoritas keamanan Malaysia di pesisir Pantai Teluk C, Bandar Penawar, Johor, Malaysia, Minggu (20/9/2020). Enam WNI itu diduga hendak memasuki wilayah Malaysia melalui jalur laut saat perahu yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan. (Kompas, 22/9/2020).
Ancaman penindakan tegas dari pemerintah Malaysia dan Covid-19 yang melanda nyaris seluruh dunia, memang tak menyurutkan niat sejumlah WNI untuk meninggalkan Tanah Air, menuju Malaysia, menjadi pekerja migran di rumah tangga, perkebunan, atau di manapun. Malaysia menjadi negara tujuan yang paling diminati TKI, sebab lokasinya dekat dengan Indonesia, serta secara bahasa dan secara budaya tidak ada masalah. Padahal, Ringgit Malaysia (RM) tak secemerlang upah di negara tujuan lain.
Baca juga: Berantas ”Lorong Tikus” untuk Lindungi Pekerja Migran Indonesia
Kisah enam WNI yang tewas terdampar di Johor menjadi satu-satunya tragedi calon pekerja migran Indonesia yang terungkap tahun lalu, saat virus korona baru meraja. Impitan ekonomi dan iming-iming upah yang besar membuat sejumlah orang mengabaikan keselamatan jiwanya. Demi perut. Padahal, seorang pekerja migran di Malaysia hanya dijanjikan menerima upah 1.200 RM atau sekitar Rp 4,2 juta, per bulan. Setelah sampai di negeri Jiran, apalagi secara illegal, tidak berdokumen, mereka menerima tak lebih dari 700 RM, atau sekitar Rp 2,45 juta per bulan, tanpa fasilitas tempat tinggal yang memadai, dan tanpa jaminan keselamatan selama bekerja.
Kematian tak hanya mengancam WNI yang ingin bekerja di Malaysia, saat berangkat melalui laut, tetapi juga setelah mereka bekerja. Nyaris setiap tahun ada saja laporan WNI yang meninggal saat bekerja di Malaysia, baik secara legal atau illegal, karena kecelakaan kerja atau menjadi korban kekerasan. Masih tahun 2020, sebelum pandemi menyergap, sepuluh WNI juga ditemukan tewas atau hilang, saat kapal kayu pengangkut tenaga kerja migran ilegal itu tenggelam di Selat Malaka, Kabupaten Bengkalis, Riau, gegara ombak tinggi. (Kompas, 26/1/2020).
Namun, tragedi yang memilukan terjadi pada akhir Januari 2017, saat 43 warga Indonesia ditemukan tewas di Batam dan Bintan (Indonesia), serta di Johor, Malaysia. Kapal cepat yang membawa calon TKI illegal itu karam di Pesisir Timur Johor Bahru pada Senin (23/1/2017). (Kompas, 25-30/1/2017). Lautan memang menjadi jalan \'\'aman" untuk masuk ke Malaysia, dibandingkan melalui penerbangan, yang gampang terdeteksi. Sepanjang 2019, misalnya, sebanyak 966 calon pekerja mi- gran ilegal asal NTT dicegah bepergian keluar negeri melalui Bandara El Tari, Kupang. Jika melalui perairan, bisa saja mereka berhasil keluar. (Kompas, 10/1/2020)
Baca juga: Batam Dikenal sebagai Jalur Gelap Buruh Migran Ilegal, Pemerintah Bisa Apa?
Saya takut, karena banyak orang yang meninggal ketika berusaha masuk secara ilegal ke Malaysia, melalui laut. Empat kali saya masuk dan bekerja di Malaysia, selalu memakai jalur yang legal.
“Saya takut, karena banyak orang yang meninggal ketika berusaha masuk secara ilegal ke Malaysia, melalui laut. Empat kali saya masuk dan bekerja di Malaysia, selalu memakai jalur yang legal. Sesuai aturan, meski ada juga yang ternyata upahnya tak seperti yang dijanjikan,”papar Ros- midi, mantan TKI asal Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia sempat 11 tahun bekerja di Malaysia, dan menyaksikan rekannya menjadi korban saat bekerja di Neger Jiran itu.
Menurut Figo (bukan nama sebenarnya), yang pernah 15 tahun lebih bekerja di Malaysia, TKI acapkali tak memiliki pilihan, sehingga harus ke Malaysia secara illegal. Selain selama masa pandemi ini memang tak boleh masuk, atau harus menjalani karantina yang lama dan mahal, denda jika memaksa pun tinggi. Di Tanah Air mereka tak memiliki pekerjaan. Tuntutan kebutuhan keluarga terus mendesak. Mereka dan keluarganya harus hidup....
Oleh sebab itu, seperti diingatkan Direktur Jenderal Organisasi Buruh Internasional (ILO) Guy Ryder, dibutuhkan solidaritas dan kepedulian semua pihak, termasuk pemerintah negara asal pekerja migran dan negara tujuan, supaya buruh migran bisa juga sejahtera. Saat kita menghadapi krisis hari ini dan melihat ke masa depan, kita membutuhkan pemulihan yang berpusat pada manusia, dengan keadilan dan kesetaraan, pemulihan yang berkelanjutan dan inklusif untuk semua.