Bekerja ke Malaysia karena Persoalan Ekonomi hingga Iming-iming Gaji Tinggi
Kondisi ekonomi tak memadai membuat para pekerja migran Indonesia nekat bekerja ke Malaysia. Ditambah lagi, rayuan agen akan iming-iming gaji tinggi. Sesampai di sana, mereka justru mengalami pelecehan, bahkan disekap.
Kondisi ekonomi tidak memadai membuat para pekerja migran Indonesia nekat bekerja ke Malaysia. Ditambah lagi, rayuan agen akan iming-iming gaji tinggi. Sesampai di sana, mereka justru mengalami pelecehan, gaji tidak dibayar sesuai harapan, bahkan ada yang pernah disekap.
Sulis Suwati (38), mantan pekerja migran Indonesia (PMI) dari salah satu daerah di Kalimantan Barat, pernah bekerja ke Malaysia pertengahan tahun 2000. Awalnya ia tidak berminat bekerja ke Malaysia. Namun, iming-iming gaji tinggi dari agen membuatnya berangkat. Bahkan, agen perekrut datang ke rumah menawarkan lowongan kerja di Malaysia.
Agen mengatakan, Sulis awalnya akan bekerja di pabrik (kilang) roti. Terkait biaya paspor dan perizinan akan dipotong gaji kemudian hari. Sulis pun berangkat menerima tawaran itu, apalagi kondisi ekonomi orangtuanya tidak memadai.
Sebelum bekerja ke Malaysia, Sulis pernah bekerja di salah satu perusahaan pengolahan kayu di Kalbar dengan penghasilan Rp 700.000 per minggu. Kalau bekerja ke Malaysia, ia berharap bisa berpenghasilan lebih tinggi lagi untuk mengubah ekonomi keluarga.
”Agen bilang gaji tinggi. Katanya kalau rajin bisa mendapat 1.000 ringgit (Rp 2,5 juta) per bulan. Waktu itu 1 ringgit setara Rp 2.500,” ungkapnya.
Baca juga : Sengkarut Masalah Pekerja Migran Indonesia Bermula sejak Prapenempatan
Namun, kenyataannya baru sampai di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, ia sudah melihat kejanggalan. Ia dan beberapa rekannya diserahkan agen pertama kepada agen kedua.
”Kami masuk ke Malaysia jalur utama atau jalur resmi, tetapi menggunakan paspor kunjungan,” ujar Sulis.
Saat tiba di Kuching, Sarawak, Malaysia, Sulis diserahkan kepada agen ketiga. Waktu di Kuching, ia ditampung di rumah agen. Ada banyak pekerja migran Indonesia di rumah itu. Setiba di Kuching, ia diserahkan lagi kepada agen lain yang lebih spesifik sesuai bidang pekerja. Ia waktu itu ke Miri menjadi pekerja rumah tangga.
Saat tiba di Miri, Sulis menginap satu malam di agen keempat. Cukup ramai saat itu. Di situ ia dan rekan-rekannya dilatih lagi untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga, termasuk jadwal bangun pagi.
Setelah menginap satu malam, ia pun diambil majikannya. Majikannya awalnya baik. Sulis diminta istirahat 2 x 24 jam terlebih dahulu. Setelah itu sudah mulai bekerja dan diberi jadwal pekerjaan. Gaji juga masih dibayar penuh.
Berjalan satu tahun, majikannya mulai aneh. Majikan laki-laki hendak melakukan pelecehan. ”Saya menolaknya. Saya memberanikan diri melawan. Saya lari ke luar rumah sehingga majikan itu tidak berani,” ungkap Sulis.
Ia memberanikan diri untuk lanjut bekerja menghabiskan izin kerja selama dua bulan karena ingin membantu orangtua di kampung. ”Kuat tidak kuat harus menyelesaikan kontrak. Kalau tidak selesai kontrak, saya harus bayar kerugian ke agen,” tuturnya.
Dengan ketakutan dan kecemasan, Sulis tetap berjuang menyelesaikan masa kerjanya. Apalagi, keluar rumah tidak boleh. Paspor dan izin kerja dipegang majikan. Jika terjadi apa-apa, tidak tahu minta tolong kepada siapa.
Upah tak sesuai
Setelah berjalan satu tahun satu bulan, Sulis meminta cuti ke Kalbar. Awalnya ia tidak diizinkan majikan, tetapi akhirnya diperbolehkan cuti satu bulan. Itu pun ternyata gajinya tidak dibayar sebagaimana mestinya.
Tanpa sepengetahuan majikan, ia diam-diam mencoba melihat kontrak kerjanya. Ternyata, seharusnya per bulan ia menerima 600 ringgit (Rp 2,1 juta). Namun, ia hanya menerima 200 ringgit (Rp 700.000) per bulan. Setahun seharusnya ia menerima 2.400 ringgit (Rp 8,4 juta), tetapi yang diterima hanya 1.200 ringgit (Rp 4,2 juta). Ia hanya diberi gaji enam bulan kerja.
Majikannya mengatakan, sisanya akan diberikan setelah cuti. Setelah kembali dari cuti, sisanya memang diberikan majikannya. Ia pun bekerja sampai akhir kontrak, yakni dua tahun dua bulan. Masa kerja itu sebetulnya lebih dua bulan dari kontak. Ia memutuskan pulang ke Indonesia tahun 2003.
Rekan-rekan Sulis yang lain juga bercerita pernah mengalami perlakuan pelecehan, bahkan lebih parah, sudah melewati batas. Namun, banyak rekannya yang tidak berdaya melawan keadaan. ”Ada juga teman-teman saya yang disetrika,” ungkapnya.
Setelah pulang dari Malaysia, Sulis bekerja di Kalbar sebagai pengasuh bayi hingga bekerja di warung. Setelah itu, ia menikah dan belajar berwirausaha. Kini ia merintis bisnis keripik sejak tahun 2008. Meski omzetnya belum begitu memadai, ia ingin hidup mandiri dan tidak bekerja ke luar negeri.
Disekap
Beberapa pekerja migran Indonesia bahkan pernah disekap di Malaysia. Pada Desember 2020 terungkap, delapan pekerja migran Indonesia sempat disekap agen di Sarawak, Malaysia. Lima orang berasal dari Jawa Barat, satu orang berasal dari Banten, satu orang dari Nusa Tenggara Timur (NTT), dan satu orang lagi dari Pontianak. Pekerja migran Indonesia tersebut semuanya perempuan.
Mereka berangkat ke Malaysia pada 2018 melalui jalur tidak resmi. Mereka berhasil dipulangkan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) ke Tanah Air pada Minggu (13/12/2020).
Baca juga : 136 Pekerja Migran Dipulangkan dari Malaysia Lewat Entikong
Hal tersebut terungkap ketika salah satu pekerja migran Indonesia berhasil menghubungi KJRI tanggal 14 November 2020. Dari informasi tersebut, KJRI berkoordinasi dengan pihak kepolisian Malaysia. Para pekerja migran Indonesia tersebut akhirnya dibebaskan dari rumah agen yang menyekap mereka.
Pekerja migran Indonesia yang pernah disekap salah satunya berasal dari NTT, yakni Maryam Syifa (29). Saat diwawancarai Kompas, Desember 2020, Maryam mengungkapkan, ia berangkat ke Malaysia pada 2018 dengan beberapa rekannya karena desakan ekonomi. Mereka berangkat ke Malaysia karena agen di Indonesia menjanjikan mereka akan mendapatkan gaji tinggi.
Agen di Indonesia mengiming-imingi mereka akan digaji sekitar 1.200 ringgit (Rp 4,2 juta) per bulan. Namun, saat tiba di Malaysia, mereka hanya menerima gaji 700-800 ringgit (Rp 2,45 juta-Rp 2,8 juta). Fasilitas tempat tinggal juga tidak layak. Mereka tidur di lantai.
Agen yang memberangkatkan mereka juga memotong gaji pekerja migran Indonesia dua bulan saat mulai bekerja. Ada juga gaji pekerja migran Indonesia yang dipotong tiga hingga empat bulan. Belum lagi harus membayar kepada agen sebesar 1.400 ringgit (Rp 4,9 juta) untuk mengurus paspor. Selama bekerja di Malaysia, para pekerja migran tidak pernah mengirim uang ke keluarga.
Saat masuk ke Malaysia pada 2018, sebagian dari mereka melalui jalur tidak resmi dan sebagian melalui jalur resmi. ”Entah kenapa agen di Pontianak ada yang mengirim pekerja migran Indonesia melalui jalur tidak resmi. Padahal ada paspor,” ungkap Maryam kala itu.
Menurut Maryam, mereka disekap agen di Malaysia karena tidak boleh berkomunikasi dengan orang lain. Mereka juga hanya boleh keluar pada saat bekerja. Saat berangkat dan pulang bekerja, mereka dijemput agen.
”Selama di sana tidak ada kekerasan secara fisik. Kalau kekerasan mulut atau omongan ada,” ungkap Maryam.
Para pekerja migran Indonesia akhirnya bisa menghubungi KJRI Kuching karena ada majikan yang memberi uang kepada salah satu dari mereka. Uang tersebut dipakai membeli telepon genggam. Dari situlah mereka bisa menghubungi KJRI Kuching.
Desakan ekonomi
Dedi Wahab (45), warga Kabupaten Sambas yang pernah menjadi pekerja migran Indonesia dan kini bekerja di salah satu lembaga pemberdayaan masyarakat di Kalbar, menuturkan, para pekerja migran berangkat ke Malaysia sebagian besar karena faktor ekonomi. Ada keinginan mereka mengubah nasib.
Baca juga : PMI yang Disekap Agen di Malaysia Dipulangkan ke Daerah Asal
Sebagian besar pekerja migran Indonesia asal Sambas berasal dari perdesaan. Melihat teman berhasil bekerja di Malaysia menjadi faktor pendorong. Apalagi, sektor perkebunan di dalam negeri tidak semua bisa menyerap tenaga kerja lokal.
”Mereka rata-rata petani, tukang bangunan, dan buruh. Penghasilan tidak menentu, karena di Sambas ada masa antara tanam dan panen. Menunggu panen tiga bulan, ada yang bekerja ke Malaysia,” ujarnya.
Mereka terkadang berangkat menggunakan jasa calo karena keterbatasan informasi. Mereka hanya menyiapkan sejumlah uang, kemudian calo mengurus keberangkatan. Sebagai gantinya, gaji mereka dipotong saat bekerja.
Dedi menuturkan, aspek kepastian kerja dan keberlanjutan kerja di dalam negeri perlu disiapkan pemerintah. Harapannya, jika ingin memperbaiki situasi, perlu penguatan desa. Buka lapangan pekerjaan di desa. Kunci masalah itu di desa.
Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Pontianak Andi Kusuma Irfandi menuturkan, faktor ekonomi salah satu yang membuat PMI bekerja ke Malaysia. Warga Sambas cukup banyak menjadi PMI, baik yang prosedural maupun nonprosedural.
”Mereka menjadi pekerja migran Indonesia karena di daerah asalnya rata-rata semi-bekerja, dalam arti kadang-kadang bekerja, kadang-kadang tidak. Itu pun dengan upah yang relatif murah. Ada disparitas gaji ketika di dalam negeri dibandingkan bekerja ke Malaysia,” ujarnya.
Agen-agen ilegal juga terkadang ada yang memengaruhi mereka. Selain itu, ada kedekatan kultur dengan negara tetangga sehingga mereka tidak mengalami kendala bahasa karena satu rumpun.
BP2MI selama ini telah berupaya menyadarkan warga di daerah-daerah kantong pekerja migran Indonesia. Pihaknya sudah memberi pandangan terkait risiko bekerja secara nonprosedural ke Malaysia.
BP2MI juga telah membuat grup Whatsapp bertukar informasi dengan para kepala kampung untuk memulai penyadaran, termasuk bagaimana cara bekerja agar sesuai prosedur. Masyarakat desa juga bisa mengakses sistem layanan virtual.
Masyarakat bisa langsung menghubungi BP2MI. Layanan itu berisi berbagai informasi jika ada masyarakat yang ingin bekerja ke luar negeri secara prosedural atau pengaduan. Sebab, minimnya informasi terkadang membuat warga terjebak bekerja ke Malaysia melalui jalur nonprosedural.
Pekerja migran Indonesia nonprosedural biasanya masuk ke Malaysia dengan berdalih mengunjungi keluarga. Ada juga beberapa yang melalui ”jalur tikus” saat berangkat ke Malaysia, tetapi biasanya sudah dicegah keberangkatannya oleh TNI.
Berdasarkan catatan Kompas, total panjang wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalbar 857 kilometer. Di jalur sepanjang itu terdapat 52 jalan setapak yang terhubung dengan 32 desa yang ada di Malaysia.