Berantas ”Lorong Tikus” untuk Lindungi Pekerja Migran Indonesia
Aparat kewalahan terutama karena perahu dan kapal pengangkut PMI ilegal bisa berangkat dari mana pun di pesisir Batam dan Bintan. Selain faktor geografis, penyelundupan PMI ilegal terus berlangsung karena ada jaringan.
BATAM, KOMPAS — Persoalan ekonomi dan keterbatasan lapangan kerja di daerah membuat minat masyarakat untuk bekerja ke luar negeri tidak pernah surut karena iming-iming gaji tinggi. Sebagian terpaksa berangkat melalui jalur tidak resmi, yang kerap disebut ”lorong tikus”, agar secepatnya bekerja dan ada pula yang terjebak jalan pintas pengelola perusahaan penempatan pekerja migran yang nakal.
Aktivis kemanusiaan di Batam, Provinsi Kepulauan Riau, RD Chrisanctus Paschalis Saturnus Esong, Jumat (5/3/2021), mengatakan, pandemi Covid-19 memberi pengaruh besar terhadap tren kasus buruh migran bermasalah. Selama pandemi, daerah asal PMI bermasalah menjadi lebih beragam dari sebelumnya yang terkonsentrasi di Nusa Tenggara dan Jawa.
”Saat pandemi, impitan ekonomi semakin keras. Banyak orang, mau tidak mau, harus berangkat ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Tidak ada pilihan lain,” kata Paschalis.
Ada yang berangkat menggunakan jalur resmi. Namun, banyak juga yang memakai jalan pintas atau ”lorong tikus”, istilah di Malaysia untuk jalur-jalur kedatangan pekerja migran ilegal. Sebagian PMI di Malaysia menggunakan jalur itu dari Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Riau, dan Sumatera Utara.
Baca juga: Prapenempatan Pekerja Migran Indonesia Menjadi Awal Persoalan
Di Sumut dan Kepri, jalurnya melalui laut. Sementara di Kalimantan, mayoritas melalui darat. Dalam berbagai penyelidikan kasus pengiriman PMI ilegal ke Malaysia ditemukan keterangan bahwa penyelundup melibatkan WNI dan WN Malaysia.
Paschalis mengatakan, jalur laut paling banyak dari pesisir Batam dan Bintan, Kepri, menuju Johor Bahru, Malaysia. Dari sana, hanya butuh berlayar paling lama 2 jam dengan perahu cepat atau 6 jam dengan kapal motor kapasitas 20 gross ton.
”Berkali-kali perahu dan kapal pengangkut PMI ilegal terbalik karena cuaca buruk dan kelebihan muatan,” ujar Koordinator Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKP-PMP) Kepri pada Keuskupan Pangkal Pinang itu.
Jalur laut juga dipakai dari Bengkalis, Riau dan Labuhan Batu, Sumut, menuju Negeri Sembilan dan Selangor. Jalur ini membutuhkan waktu pelayaran lebih dari 5 jam dengan kapal dan lebih dari 10 jam dengan kapal motor.
Karena waktu tempuhnya, rute Batam-Bintan ke Johor Bahru lebih sering dipakai penyelundup pekerja migran ilegal. Aparat kewalahan terutama karena perahu dan kapal pengangkut PMI ilegal bisa berangkat dari mana pun di pesisir Batam dan Bintan. Selain faktor geografis, penyelundupan PMI ilegal juga terus berlangsung dari Kepri karena melibatkan jaringan yang rumit.
Sepanjang 2020, sedikitnya 519 calon pekerja migran Indonesia tanpa dokumen tertangkap saat mencoba masuk ke Malaysia dan Singapura lewat Batam, Kepulauan Riau. Data Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Kepri, menunjukkan, sepanjang 2020 ada 40.940 pekerja migran Indonesia pulang lewat Batam. Mereka adalah PMI yang pulang mandiri (38.257 orang), PMI tanpa dokumen yang dipulangkan (2.146), dan calon PMI yang tertangkap aparat saat mencoba berangkat secara ilegal (519).
Sebelum dipulangkan ke daerah asal, khusus PMI tanpa dokumen biasanya ditampung sementara di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Tanjung Pinang Kementerian Sosial yang dikelola Dinas Sosial Provinsi Kepri.
”Sebagai daerah perbatasan, suka tidak suka, Kepri harus membantu pekerja migran dari daerah lain. Itu tugas kami sebagai saudara dan sesama orang Indonesia,” kata Kepala Dinas Sosial Kepri Doli Boniara saat dihubungi dari Batam, Jumat.
Meski demikian, yang menjadi soal, Kepri bukan hanya menjadi jalur kepulangan, tetapi sejak lama juga dikenal sebagai jalur gelap keberangkatan favorit PMI tanpa dokumen. Jaringan Safe Migran Batam mencatat, sepanjang 2020 ada 75 kasus perdagangan orang dan buruh migran bermasalah yang diungkap di kota ini. Sebanyak 111 orang dari berbagai daerah menjadi korbannya.
Pada 1 Juni 2020, Singapura mulai melonggarkan pembatasan sosial secara bertahap. Hal ini, menurut Paschalis, dimanfaatkan jaringan mafia perdagangan orang. Para mafia itu bergentayangan ke daerah-daerah miskin menawarkan janji surga untuk bekerja di Singapura dengan gaji besar. Saat ini, penjahat itu juga memanfaatkan media sosial untuk menjangkau korbannya.
Baca juga: Kementerian Ketenagakerjaan Bangun 45 Layanan Terpadu Satu Atap
Kepala Seksi Kelembagaan dan Pemasyarakatan Program UPT BP2MI Tanjung Pinang Darman M Sagala menegaskan, Singapura hanya membuka perbatasan bagi urusan bisnis dan diplomatik. Negara itu belum membuka lagi kesempatan untuk pekerja sektor informal, sedangkan Malaysia sama sekali belum membuka perbatasan.
Sepanjang 2020, Polda Kepri mencatat 11 kali pengungkapan kasus terkait perdagangan orang dan buruh migran bermasalah. Polisi pun menggerebek tempat penampungan dan menemukan 6 pekerja migran tanpa dokumen pada 24 Januari lalu. Salah satu korban diketahui merupakan PMI yang pulang saat pandemi Covid-19 dan mencoba berangkat lagi secara ilegal lewat Batam.
Disekap
Di Malaysia, beberapa PMI juga pernah disekap. Pada Desember 2020 terungkap, delapan perempuan PMI disekap agen di Sarawak, Malaysia. Lima orang dari Jawa Barat, satu orang dari Banten, satu orang dari Nusa Tenggara Timur (NTT), dan satu orang lagi berasal dari Pontianak.
Mereka berangkat ke Malaysia pada 2018 melalui jalur tidak resmi. Mereka berhasil dipulangkan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching ke Tanah Air pada Minggu (13/12/2020).
Hal tersebut terungkap ketika saat salah satu PMI menghubungi KJRI tanggal 14 November 2020. Dari informasi tersebut, KJRI berkoordinasi dengan pihak kepolisian Malaysia. Para PMI tersebut akhirnya dibebaskan dari rumah agen yang menyekap mereka.
Maryam Syifa (29), salah satu PMI asal NTT yang disekap, menuturkan, dirinya berangkat ke Malaysia pada 2018 karena desakan ekonomi dan dijanjikan agen akan mendapatkan gaji 1.200 ringgit (Rp 4,2 juta) per bulan. Setibanya di Malaysia, dia hanya menerima gaji 700 ringgit (Rp 2,45 juta) dan dipaksa tidur di lantai. Gaji dipotong dengan berbagai alasan dan harus membayar biaya pengurusan keberangkatan kepada agen membuat mereka tidak bisa mengirim uang untuk keluarga.
Setali tiga uang, begitu pula pengalaman Sutiri (38), warga Desa Rungkang, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, yang nekat berangkat bekerja ke Malaysia melalui jalan pintas. Dari informasi tetangganya, Sutiri didatangi agen perekrut calon pekerja migran tahun 2018.
”Agen itu dari Jakarta, datang langsung ke rumah saya. Dia menjelaskan tentang gaji, proses keberangkatan, dan peraturan selama bekerja di sana (Malaysia),” kata Sutiri di Brebes, Jumat.
Kala itu, Sutiri diiming-imingi gaji 1.200 ringgit (Rp 4,2 juta) per bulan, jauh di atas penghasilannya sebagai buruh tani. Begitu bekerja di Malaysia, dia tidak menerima gaji pertamanya dengan alasan untuk penggantian biaya tiket pesawat dan pembuatan paspor dan berlanjut selama dua tahun.
Tak tahan dengan perlakukan agen, Sutiri melarikan diri dan melapor ke Kedutaan Besar RI Kuala Lumpur. ”Agen itu dipanggil ke KBRI Kuala Lumpur kemudian dimarah-marahi. Orang KBRI menyebut tentang perdagangan manusia,” ucap Sutiri. Sampai kini, agen tersebut belum membayar hak-hak Surtini.
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Dinperinaker) Brebes Warsito Eko Putra menuturkan, pekerja migran yang berangkat secara ilegal tidak bisa mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal. Saat terjerat masalah, penyelesaiannya juga menjadi jauh lebih sulit.
”Kasus itu (Sutiri) tidak dilaporkan kepada kami. Dulu, waktu berangkat juga tidak melapor kepada kami, jadi kami tidak tahu. Kalau berangkat tanpa izin, begitu ada masalah sulit penyelesaiannya,” kata Eko.
Aktivis buruh migran Brebes sekaligus Ketua Badan Buruh dan Pekerja Pemuda Pancasila, Jamaluddin, menilai, pekerja migran berangkat ilegal karena tidak mendapatkan informasi yang cukup. Jamal menuturkan, sebagian besar pekerja migran mendapatkan informasi mengenai lowongan pekerjaan atau mekanisme pemberangkatan pekerja migran dari calo atau agen penyalur pekerja, bukan pemerintah. Hal ini membuat masyarakat pedesaan tidak memahami, apakah proses keberangkatan mereka bekerja ke luar negeri tersebut resmi atau tidak.
Sejak 16 November 2020 hingga 30 Juni mendatang, Pemerintah Malaysia menjalankan program rekalibrasi pekerja migran. Pekerja migran Indonesia di Malaysia didorong memanfaatkan program tersebut, yang memungkinkan mereka pulang atau tetap bekerja di sana.
Dihubungi di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (4/3/2021), Koordinator Fungsi Penerangan Sosial dan Budaya KBRI Kuala Lumpur Yoshi Iskandar mengatakan, program rekablibrasi salah satu kesepakatan Pemerintah Indonesia-Malaysia untuk menjadi solusi bagi kebutuhan Malaysia terhadap pekerja migran sekaligus pemulangan yang aman bagi WNI di Malaysia.
”Bagi yang pulang, prosedurnya lebih mudah. Ini seperti menerangi lorong tikus,” ujarnya.
Yoshi mengatakan, rekalibrasi pulang diberikan kepada WNI yang tidak punya izin apa pun untuk tinggal atau bekerja di Malaysia. Sedikitnya 4.000 WNI di berbagai rumah detensi imigrasi (rudenim) Malaysia kini menanti pemanfaatan program itu. Selain di rudenim, lebih dari 4.000 WNI juga tersebar di sejumlah penampungan atau tempat tinggal sementara.
Dalam kondisi normal, warga asing tanpa izin harus membayar denda hingga 3.000 ringgit atau tahanan beberapa waktu sebelum bisa keluar Malaysia. Mereka juga masih harus membayar ongkos angkutan keluar Malaysia dan biaya dokumen untuk perlintasan antar negara bila paspor sudah tidak berlaku.
Kini, denda diturunkan menjadi rata-rata 500 ringgit. Selain itu, KBRI Kuala Lumpur juga rutin mendatangi berbagai rudenim dan tempat penampungan WNI untuk membantu pengurusan surat perjalanan laksana paspor (SPLP). Sejak pandemi, lebih dari 50.000 WNI pulang atau dipulangkan dari Malaysia. ”Kami terus berkomunikasi dengan pihak berwenang untuk mempercepat pemulangan (WNI) di rudenim,” kata Yoshi.
Pada Januari 2021 saja, 222 WNI pulang dari Malaysia lewat program rekalibrasi. ”Kalau sudah pulang, jangan kembali lagi secara ilegal,” ujarnya.
Program perekrutan merupakan jalan tengah bagi kebutuhan dunia usaha Malaysia atas PMI dan keberadaan PMI yang sudah tidak punya izin kerja. Para pemberi kerja dapat mendaftarkan pekerja migran di tempat usaha masing-masing dengan memanfaatkan rekalibrasi jalur perekrutan ulang.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan, ”Program ini berlaku untuk pekerja migran yang sudah di Malaysia dan bekerja di sektor yang ditetapkan. Bukan untuk pekerja baru.”
Wartawan Malaysiakini.com, Alyaa Alhadjri, melaporkan, selama pandemic Covid-19, kebijakan utama Pemerintah Malaysia memperketat perbatasan untuk mencegah pekerja migran Indonesia tak berdokumen masuk sejak Maret 2020, yang juga bagian dari kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19. Sampai 26 Februari lalu, Menteri Senior Dato’ Seri Ismail Sabri Yaakob mengatakan, 12.087 migran dan 922 tekong (pengelola kapal) ditahan karena mencoba masuk perbatasan Malaysia melalui jalan tikus.
Koordinator Migrant Care Malaysia Alex Ong mengatakan, ketentuan regulasi ketenagakerjaan Malaysia telah menyulitkan pekerja migran berpindah majikan. Para pekerja migran dengan keterampilan rendah kerap mendapatkan pekerjaan tidak layak dengan upah rendah, kondisi tempat kerja buruk, dan minim perlindungan.
”Banyak yang digaji harian sehingga kehilangan penghasilan begitu dipecat selama pandemi Covid-19. Mereka yang kehilangan pekerjaan juga banyak yang jadi pekerja migran tak berdokumen jika bertahan di Malaysia,” ujar Alex.
Berkait hal ini, untuk mengisi lowongan pekerjaan yang ditinggalkan buruh migran, Pemerintah Malaysia sejak 16 November 2020, sehingga 30 Juni, 2021, menerapkan dua kebijakan—Program Rekalibrasi Pulang dan Program Rekalibrasi Tenaga Kerja—untuk migran ilegal yang ingin pulang ke negara asal atau tetap bekerja di Malaysia.
(ESA/XTI/ETA/BRO/TRA)