Masalah Kini dan Nanti di Lokasi Penyangga Ibu Kota Negara Baru
Pembenahan hak masyarakat lokal yang lebih dulu bermukim, bukan hanya masyarakat adat, dinilai penting didahulukan sebelum rencana pemindahan ibu kota negara ke Kaltim terealisasi.
Sebagai calon penyangga ibu kota negara baru, Balikpapan, Samarinda, serta perbatasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara memiliki berbagai persoalan terkait bencana, air baku, dan lahan. Perpindahan penduduk secara masif dan pembangunan besar-besaran selayaknya didahului penuntasan sejumlah masalah itu demi menghindari konflik dan krisis.
Rancangan undang-undang pemindahan ibu kota negara (IKN) masih dibahas di DPR. Meski demikian, rencana pembangunan IKN di sebagian Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur masih berlanjut. Selain kawasan inti, pemerintah berencana mengembangkan kluster ekonomi yang bertumpu pada kerja sama tiga kota, yakni Balikpapan, Samarinda, dan wilayah IKN itu sendiri.
Balikpapan akan menjadi pintu masuk utama dan menjadi kantor sementara beberapa instansi saat proses pembangunan.
Dalam paparan kepada Redaksi Kompas pada 2 Maret 2021, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, kluster ekonomi itu terbagi menjadi empat bagian. Pertama, Kota Samarinda akan menjadi percontohan tambang batubara berkelanjutan serta basis manufaktur baru untuk energi terbarukan.
Baca juga : Pesan Presiden, Tolong Dihitung Benar
Kedua, wilayah IKN di sebagian Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara direncanakan menjadi pusat pemerintahan pusat inovasi hijau. Di dalamnya akan ada manufaktur berteknologi tinggi dan bersih serta basis wisata pertemuan, insentif, konvensi/konferensi, dan pameran (MICE).
Ketiga, Balikpapan direncanakan menjadi pusat petrokimia dan simpul logistik Kaltim dengan pelabuhan dan bandar udara utama bagi wilayah Kaltim. Terakhir, perbatasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara dirancang menjadi pertanian hulu dan pusat wisata alam. Pertanian hulu tersebut akan terhubung dengan sektor hilir agroindustri.
Seiring rencana tersebut, Balikpapan, Samarinda, serta wilayah sekitar Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara akan menjadi magnet manusia dan kemungkinan bisnis baru. Di satu sisi, konsep tersebut akan mendatangkan perputaran ekonomi baru. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menghindari potensi kerugian bagi warga yang sudah lebih dulu tinggal di sekitar IKN.
Salah satu tantangan yang dihadapi Samarinda ialah banjir yang kian meluas. Dari 10 kecamatan di Samarinda, hanya satu kecamatan yang bebas dari banjir, yaitu Kecamatan Sambutan. Berada di wilayah hilir sungai dan beberapa wilayah lebih rendah dari permukaan sungai, Samarinda memiliki tingkat risiko banjir pada level tinggi.
Baca juga : Rumah Pilkada: Menanti Banjir (Tak) Tiba di Samarinda
Pada Juni 2019, banjir melanda tiga kecamatan, yaitu Samarinda Utara, Samarinda Ulu, dan Sungai Pinang. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Samarinda mencatat 36.475 jiwa terdampak. Banjir terulang pada Mei 2020 yang melanda lima kecamatan yang mengakibatkan 44.900 jiwa terdampak. Itu membuat mobilitas warga terganggu. Bahkan, sejumlah bangunan pemerintahan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan juga tergenang.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang, melihat banyak persoalan di hulu yang memperparah banjir di Samarinda. Menurut catatan Jatam, setidaknya terdapat 349 lubang tambang di Kota Samarinda.
”Banjir semakin parah karena daerah resapan air berkurang akibat aktivitas tambang. Hal itu diperparah dengan banyaknya perusahaan tambang yang tidak mereklamasi lubang tambang setelah aktivitas tambang selesai,” katanya.
Pemerintah Kota Balikpapan juga tengah berupaya merealisasikan proyek desalinasi air laut dengan kapasitas 50 liter per detik. Proyek yang ditargetkan mulai dikerjakan tahun 2020 ini urung terlaksana.
Kepala Bappeda Kota Samarinda Ananta Fathurrozi mengatakan, pemerintah mengantisipasi potensi bencana yang semakin parah dengan membuat beberapa rencana besar. Rencana itu disesuaikan jika ibu kota negara resmi pindah ke Kaltim. Kota lama Samarinda, menurut Ananta, akan ditata ulang agar tidak semrawut.
Untuk mengurangi dampak banjir, Pemkot Samarinda juga berencana mengembangkan wilayah yang belum padat dengan harapan bisa menjadi tempat baru untuk tempat tinggal warga. Di beberapa tempat rawan banjir akan disediakan pompa air agar genangan cepat surut.
”Kami juga memiliki wacana untuk memindahkan pusat pemerintahan di daerah yang belum padat. Ini masih terus kami bahas beserta pengelolaan limbah dan air bersih bagi warga. Ada atau tidak ada IKN, rencana ini seharusnya tetap berjalan,” kata Ananta, dihubungi dari Balikpapan, Selasa (30/3/2021).
Sementara itu, Balikpapan memiliki permasalahan sendiri. Menurut data Badan Pusat Statistik 2018, luas wilayah Balikpapan 508,39 kilometer persegi dengan kepadatan penduduk 1.251 jiwa per kilometer persegi. Angka itu masih jauh dibandingkan dengan DKI Jakarta dengan kepadatan penduduk 15.663 jiwa per kilometer persegi.
Meski demikian, perpindahan ibu kota negara diperkirakan membuat orang lebih banyak berdatangan ke Kaltim, termasuk ke Balikpapan. Menurut rencana, pemerintah akan memindahkan 1,5 juta aparatur sipil negara ke IKN baru ini.
Baca juga : Geliat Pengembang Poperti Menangkap Peluang di Ibu Kota Negara Baru
Balikpapan akan menjadi pintu masuk utama dan menjadi kantor sementara beberapa instansi saat proses pembangunan. Sebab, berbagai fasilitas dasar seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat hiburan tersedia di Balikpapan.
Pada Februari 2020, penduduk Balikpapan berjumlah sekitar 680.000 jiwa. Untuk kebutuhan air bersih, hampir 80 persennya menggunakan air PDAM Kota Balikpapan dengan kebutuhan air 2.000 liter per detik. Dengan sumber air dari Bendungan Teritip serta Waduk Manggar yang mengandalkan air hujan dan 23 sumur bor, PDAM Balikpapan baru bisa menyalurkan air dengan kapasitas 1.600 liter per detik. Artinya, masih defisit air baku 400 liter per detik.
Baca juga : Sejarah Panjang Balikpapan Mencari Air
Dengan rencana pengembangan menjadi pusat petrokimia dan menjadi kantor sementara jika IKN resmi pindah, kebutuhan air Balikpapan perlu diantisipasi dengan baik. Sebab, perpindahan orang akan semakin banyak ke Balikpapan dan kebutuhan air dipastikan meningkat.
Sekretaris Daerah Kota Balikpapan Sayid MN Fadli mengatakan, pemerintah tengah membangun instalasi Embung Aji Raden berkapasitas 150 liter per detik yang saat ini dalam proses pembebasan lahan untuk menambah kapasitas air bagi warga Balikpapan.
Selain itu, Pemerintah Kota Balikpapan juga tengah berupaya merealisasikan proyek desalinasi air laut dengan kapasitas 50 liter per detik. Proyek yang ditargetkan mulai dikerjakan tahun 2020 ini urung terlaksana lantaran beberapa investor mundur. Alasannya, karena perekonomian belum stabil di masa pandemi Covid-19.
Konflik lahan
Rencana pemerintah mengembangkan kluster ekonomi juga berpotensi membuat kantong-kantong ekonomi baru bermunculan di sekitar lokasi inti IKN. Investor sangat mungkin membeli tanah dan membangun usaha di sekitarnya. Namun, potensi konflik lahan saat ini di sekitar lokasi IKN amat nyata.
Baca juga : Selesaikan Tumpang Tindih Lahan Sebelum Pemindahan Ibu Kota Negara
Di Desa Sungai Nangka, Kecamatan Muara Jawa, Kutai Kartanegara, misalnya, warga masih diliputi konflik lahan. Ariansyah (58), Akmal Rabbani (52), dan Rukka (59), warga Desa Sungai Nangka, mendatangi Polda Kaltim pada 29 Maret 2021 untuk mengadukan lahan garapan mereka yang sudah diratakan untuk tambang batubara.
Mereka mewakili delapan petani yang menggarap lahan seluas 17 hektar dengan surat keterangan garapan tanah yang terbit sejak 1991. Namun, ada warga yang memalsukan surat kepemilikan tanah mereka dan menjualnya ke perusahaan batubara. Sejak 2014, lahan garapan mereka sudah mulai digali untuk operasi penggalian tambang batubara. Lahan yang sebelumnya sawah, ladang karet, dan ladang merica kini sudah rata menjadi tanah kosong.
”Kami tidak mendapat ganti rugi tanam tumbuh dan kami sekarang tak punya lahan garapan lagi,” ujar Ariansyah. Getir.
Kompleksitas masalah tersebut perlu diantisipasi agar tak terjadi konflik dan krisis baru, baik bagi warga pendatang maupun yang sudah menetap terlebih dahulu. Antropolog dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Simon Devung, berharap pemerintah tidak tergesa-gesa dalam proses pemindahan IKN. Menurut dia, hak-hak warga lokal maupun pendatang yang sudah menetap perlu dipenuhi terlebih dahulu.
”Seyogianya membangun negeri ini bukan berdasar kepentingan rezim, tetapi jangka panjang. Pembenahan hak masyarakat lokal yang lebih dulu bermukim, bukan cuma masyarakat adat, itu penting,” kata Simon. Kiranya didengar pengambil kebijakan.