Sejarah Panjang Balikpapan Mencari Air
Saat Bendungan Teritip berkapasitas 250 liter per detik selesai dibangun pada 2016 dan mulai dioperasikan, ternyata tak membuat persoalan air di Balikpapan selesai.
Defisit air bersih di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, hingga tahun 2020 adalah buntut pertumbuhan penduduk dan permukiman yang tak diantisipasi sejak awal. Jika mitigasi krisis air bersih tidak dipersiapkan sejak dini, pencarian air bersih bisa jadi tak pernah usai di ”Kota Minyak” ini.
Suaebah Side (51) baru saja selesai mengangkat pakaian yang ia jemur di pekarangan rumahnya. Pakaian kotor enam anggota keluarganya baru bisa dicuci setelah menumpuk selama empat hari. Sambil mengernyitkan dahi, ia mengambil satu per satu pakaian di tali jemuran.
”Kalau panas, pakaian cepat kering, tetapi air sulit. Kalau hujan, air mengalir kecil, tetapi enggak bisa menjemur. Serba sulit,” katanya ketika ditemui Rabu (26/2/2020).
Baca juga: Balikpapan, Kota Calon Penyangga Ibu Kota Baru Kekurangan Air Bersih
Setidaknya sudah seminggu air Perusahaan Daerah Air Minum Kota Balikpapan tak menetes di keran rumah Suaebah di RT 010 Kelurahan Baru Ulu, Kecamatan Balikpapan Barat. Kondisi itu membuatnya harus bersiasat mengirit air. Akhirnya, pakaian dikesampingkan untuk dicuci karena cukup menguras banyak air.
Dalam sebulan, ia bisa menghabiskan Rp 500.000 untuk belanja air tangki keliling dan membayar air PDAM.
Rumah Suaebah berada di kawasan bukit. Hal itu membuat aliran air PDAM sulit mencapai rumahnya. Apalagi rumahnya berada di pinggir Balikpapan yang jauh dari sumber air PDAM, sekitar 36 kilometer dari Bendungan Teritip.
Jika turun hujan, air hanya mengalir lewat tengah malam. Itu pun hanya sekitar empat jam. Suaebah harus bergantian dengan suami untuk memastikan air mengalir atau tidak. Jika air mengalir, mereka harus mengisi berbagai tampungan air yang mereka miliki untuk persediaan beberapa hari.
Jika air itu habis dan air PDAM tidak kunjung menetes, Suaebah harus membeli dari penjaja air tangki keliling. Dalam sebulan, ia bisa menghabiskan Rp 500.000 untuk belanja air tangki keliling dan membayar air PDAM.
Kesulitan air sudah dialami Suaebah sejak pertama kali tinggal di Balikpapan, sekitar tahun 1980. Saat itu, ia tinggal di rumah panggung di tepi pantai bersama kerabatnya. Di sana, air bersih hanya bisa didapat dengan dibeli dari tukang air panggul keliling. Air laut tak mungkin mereka gunakan untuk mencuci dan masak.
Hal serupa juga dilakukan banyak orang dari Sulawesi dan Jawa yang tinggal di sekitar tepi pantai Balikpapan. Beberapa dari mereka terpaksa membuat rumah panggung di pantai sebab tak mampu membeli tanah atau rumah.
Mereka merantau ke Balikpapan karena mendengar mudah mencari nafkah dengan melaut atau melayani kebutuhan pekerja kilang minyak di Balikpapan. Sejak masuknya Belanda pada abad ke-19 Masehi ke sekitar Teluk Balikpapan, Kota Balikpapan memang tumbuh dan aktivitas ekonominya menggeliat.
Zaman kolonial
Kolonial Belanda menjadikan Balikpapan sebagai kawasan pertama eksplorasi dan pengolahan minyak di Pulau Kalimantan. Dari sana, sektor ekonomi lain mulai tumbuh. Beberapa pendatang dari Sulawesi, Jawa, dan wilayah Kalimantan lain membuka usaha untuk memenuhi berbagai kebutuhan pekerja minyak, seperti penginapan, indekos, tempat hiburan, kuliner, dan travel.
Saat ini, pengolahan minyak di Balikpapan dilakukan Pertamina Refinery Unit V Balikpapan yang merupakan salah satu Unit Bisnis Direktorat Pengolahan Pertamina yang produknya disalurkan ke kawasan Indonesia bagian timur yang merupakan 2/3 dari NKRI.
Laiknya sebuah kota yang menjadi magnet, banyak pula orang datang tanpa persiapan ke Balikpapan. Akhirnya, permukiman liar banyak dibangun. Bahkan, saking sulit dan mahalnya tanah untuk permukiman di Balikpapan, banyak orang membangun permukiman di pekuburan China di Prapatan Atas, Balikpapan Timur (Kompas, 27/5/1987).
Hal itu bahkan menjadi perhatian pemerintah pusat. Pada 1992, Kementerian Perumahan Rakyat merelokasi permukiman kumuh di Kampung Klandasan, Balikpapan, ke tanah negara dengan dibiayai APBD (Kompas, 25 Sep 1992). Namun, arus migrasi ke Balikpapan tak bisa terbendung.
Akhirnya banyak pendatang yang bermukim di lahan-lahan yang belum digarap, seperti di area perbukitan. Hal itu terus terjadi, apalagi sebelum 2018 Balikpapan menjadi satu-satunya pintu masuk ke Kalimantan Timur dengan akses bandara dan pelabuhan besar. Itu memudahkan banyak orang datang ke Balikpapan.
Sulit didapat
Akhirnya, persoalan akses air bersih semakin menggelembung. Sebab, mendapatkan air dari dalam tanah di Balikpapan memang sulit. Berdasarkan pengalaman PDAM Balikpapan dalam mencari sumber air tanah, mereka kerap mendapati air yang berbau dan mengandung zat besi tinggi. Ada pula beberapa warga yang mendapati batubara di kedalaman 5 meter saat akan membuat sumur.
Menurut pemberitaan Kompas, krisis air bersih di Balikpapan terpantau pertama kali pada Oktober 1991. Penyaluran air PDAM terhambat akibat hujan tak turun dalam waktu lama. Penyaluran air yang semula empat hari sekali dikurangi menjadi enam hari sekali. Pada saat itu, penduduk Balikpapan masih sekitar 300.000 jiwa. Sumber air utamanya adalah Waduk Manggar seluas 500 hektar.
Penduduk Balikpapan terus bertambah perlahan. Pada 2004, BPS mencatat, penduduk Balikpapan berjumlah 495.314 jiwa. Namun, pertambahan penduduk itu tak dibarengi dengan kapasitas air bersih yang ada. Akibatnya, pada November 2004, ketika masyarakat merayakan Idul Fitri, sebagian warga Balikpapan sibuk mencari air bersih untuk minum, memasak, dan kebutuhan sehari-hari. Masyarakat banyak yang mengantre air di sejumlah posko air bersih, seperti di Jalan MT Haryono, Posko Telagasari, Posko Gunungsari, dan Posko Air Kampung Damai (Kompas, 17/11/2004).
Persoalan tak berakhir
Sembilan tahun kemudian. Pada 2013, Balikpapan mengalami defisit air bersih sekitar 250 liter per detik. Bendungan Teritip sebagai sumber air baku tambahan, selain Waduk Manggar, belum bisa dibangun sesuai rencana karena terkendala pembebasan lahan (Kompas, 7/9/2013).
Saat Bendungan Teritip berkapasitas 250 liter per detik selesai dibangun pada 2016 dan mulai dioperasikan, ternyata tak membuat persoalan air di Balikpapan selesai. Pasalnya jumlah penduduk dan permukiman semakin bertambah. Sampai akhir 2019, defisit air bersih di Balikpapan bertambah dibandingkan 6 tahun sebelumnya, yakni sekitar 400 liter per detik.
Pada Februari 2020, diperkirakan penduduk Balikpapan berjumlah sekitar 680.000 jiwa. Hampir 80 persennya menggunakan air PDAM Kota Balikpapan dengan kebutuhan air 2.000 liter per detik. Dengan sumber air dari Bendungan Teritip, Waduk Manggar yang mengandalkan air hujan dan 23 sumur bor, PDAM Balikpapan baru bisa menyalurkan air dengan kapasitas 1.600 liter per detik.
”Saat ini, rata-rata setiap rumah hanya teraliri air sekitar 12 jam sehari. Untuk di wilayah yang berbukit, kami juga menyalurkan air tangki keliling. Untuk pelanggan PDAM, harganya lebih murah, yakni Rp 50.000 untuk 5.000 liter,” kata Direktur Teknik PDAM Kota Balikpapan Arief Purnawarman.
Pemerintah Balikpapan akan memaksimalkan air permukaan dengan membendung air hujan dari embung, waduk, atau bendungan. Selain karena air dari dalam tanah sulit didapat, jika digunakan terus-menerus, akan berisiko membuat penurunan muka tanah seperti yang terjadi di Jakarta. Saat ini pemerintah tengah membangun Embung Aji Raden berkapasitas 150 liter per detik yang masih tahap pembebasan lahan.
Selain itu, ada juga rencana pembangunan proyek desalinasi air laut dengan kapasitas 50 liter per detik. Sementara Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai Kalimantan III masih melelang proyek pembangunan Bendungan Sepaku Semoi berkapasitas 1.500 liter per detik. Menurut rencana, jika pemindahan ibu kota terealisasi, air itu akan disalurkan ke Balikpapan, Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, dan ibu kota negara baru.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, rencana pemindahan ibu kota ke sebagian Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara berisiko menimbulkan krisis air yang semakin besar. Sebab, pembangunan dimungkinkan akan terjadi besar-besaran dan perpindahan penduduk yang juga besar.
”Dampaknya, akan terjadi komersialisasi sumber-sumber air bagi warga dan belum tentu krisis air langsung tertangani saat ibu kota negara benar-benar pindah,” kata Rupang.