Ada Ongkos Ada Kualitas
Biaya murah menjadi salah satu alasan warga menggunakan angkutan umum untuk mobilitas di perkotaan.
Wacana kenaikan tarif Transjakarta kembali mengemuka. Sebagian warga berharap tarif saat ini tetap bertahan karena sudah sesuai kantong. Jika kenaikan tak terelakkan, maka harus dibarengi dengan perbaikan kualitas layanan.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyurvei kenaikan tarif itu dalam akun Instagram resminya, Senin (3/4/2023). Ada tiga pertanyaan dan opsi jawaban. Kesatu, apakah masyarakat setuju jika tarif Transjakarta naik?
Kedua, apakah masyarakat setuju jika tarif bus Transjakarta BRT dan non-BRT serta Transjabodetabek naik menjadi Rp 4.000 sepanjang hari atau Rp 5.000 sepanjang hari atau Rp 4.000 pukul 05.00-19.00 atau Rp 5.000 pukul 07.00-sepanjang hari?
Ketiga, apakah masyarakat setuju apabila tarif Mikrotrans naik menjadi Rp 1.000 atau Rp 2.000?
Minda Kartini (27) baru mengetahui wacana kenaikan tarif tersebut ketika dijumpai pada Selasa (4/4/2023). Menurut karyawan swasta yang bermukim di Buaran, Jakarta Timur, ini, tarif yang berlaku sekarang sudah sesuai dengan layanan yang didapatkan pengguna. Apalagi, ia jarang mendapatkan tempat duduk.
”Saya, sih, berharap tarifnya bisa tetap segitu,” ujar warga yang menggunakan layanan Transjakarta dari Terminal Kampung Melayu-Terminal Pulogebang atau Koridor 11 untuk menuju kantornya di Rawamangun, Jakarta Timur, ini.
Harapan serupa diutarakan Amelia (27), yang saban hari menggunakan Transjakarta Koridor 9 atau jurusan Pinang Ranti-Pluit. Tarif Rp 3.500 pas untuk kantong pekerja komuter sepertinya. Jika tarif naik, maka pengeluaran untuk ongkos pergi-pulang menggunakan Transjakarta dan KRL menjadi lebih besar.
”Saya, kan, naik Transjakarta minimal sehari dua kali. Kalau tarif naik, pengeluaran ongkos transportasi bertambah. Syukur-syukur sih tarifnya turun, tapi enggak mungkin kan. Jadi, saya sih berharap tarifnya tetap,” ucap warga Depok, Jawa Barat itu.
Amelia dan Minda pun sepakat, jika ada kenaikan tarif, besarannya tidak melebihi Rp 1.000. Kenaikan mesti dibarengi dengan perbaikan kualitas layanan.
Mereka sama-sama menyoroti ketepatan waktu Transjakarta tiba di halte. Sering kali keduanya harus menunggu 30-45 menit di halte. Belum lagi kondisi beberapa prasarana halte dan jembatan penyeberangan orang yang bocor tatkala hujan.
Sama halnya dengan pengguna Mikrotrans. Layanannya yang gratis atau tarif Rp 0 dimanfaatkan oleh Herni Wahyuni (65) setiap hari pergi ke Pasar Palmerah atau Pasar Tanah Abang. Warga Petamburan ini berharap kenaikan tarif tidak memberatkan warga.
Menurut dia, kenaikan Rp 1.000 hingga Rp 2.000 masih bisa diterima. Kenaikan juga perlu dibarengi perbaikan kualitas layanan. ”Terutama dari pelayanan sopirnya, tidak lagi judes dan tidak lagi ngebut saat penumpang sudah menunggu di bus stop untuk naik Mikrotrans,” tutur Herni.
Harapan warga tersebut selaras dengan jajak pendapat Kompas pada November 2022. Biaya murah menjadi salah satu alasan orang lebih memilih menggunakan angkutan umum untuk mobilitas di perkotaan.
Tarif
Survei kenaikan tarif Transjakarta dan Mikrotrans kali ini berdasarkan rekomendasi dari Dewan Transportasi Kota Jakarta. Salah satu pertimbangannya ialah belum ada kenaikan tarif sejak 2007.
Rikobimo Ridjal Badri, mantan anggota Komisi Tarif dan Pembiayaan Dewan Transportasi Kota Jakarta, menuturkan, survei yang berjalan sudah sesuai dengan skema yang direkomendasikan. Ada tarif Rp 5.000 saat jam sibuk dan tarif Rp 4.000 untuk jam biasa.
”Pertimbangan utama memang belum penyesuaian tarif dan mencermati survei yang pernah dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Perbaikan layanan juga menjadi poin yang disampaikan bersamaan dengan rekomendasi penyesuaian tarif,” kata Rikobimo yang rampung masa tugasnya per 1 April 2023.
Pada tahun 2010, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyurvei kemampuan pengguna dalam membayar tarif Transjakarta (ability to pay/ATP) dan kemauan untuk membayar (willingness to pay/WTP). Nilainya mendekati Rp 5.000.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengamini bahwa survei tarif untuk mendapatkan masukan warga dan sebagai bahan evaluasi.
Baca juga : Wacana Kenaikan Tarif Transjakarta Mengemuka, Kualitas Layanan Jadi Sorotan
Merujuk catatan Kompas, wacana kenaikan tarif bukan kali ini saja mengemuka. Pada 2010, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempertimbangkan rencana kenaikan tarif Transjakarta.
Saat itu, rencana menaikkan tarif mengemuka setelah Badan Arbitrase Nasional Indonesia menetapkan biaya operasional Transjakarta Koridor IV sampai VII adalah Rp 12.256 per kilometer. Adapun subsidi yang disediakan Pemprov didasarkan pada asumsi biaya operasional Rp 9.500 per kilometer (Kompas, 5/1/2010).
Tiga tahun berselang, wacana itu muncul ketika Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo, mengusulkan kenaikan tarif angkutan umum rata-rata 40,71 persen kepada DPRD. Usulan disampaikan setelah berunding dengan Dewan Transportasi Kota Jakarta, Organda, dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Tarif Transjakarta diusulkan naik Rp 1.500 per penumpang, dari Rp 3.500 menjadi Rp 5.000.
Namun, sehari setelah usulan diajukan, Joko Widodo membatalkan rencana kenaikan tarif tersebut. Kenaikan tarif Transjakarta saat itu dinilai bukan waktu yang tepat. Keputusan pembatalan diambil untuk mendorong agar lebih banyak warga menggunakan Transjakarta (Kompas, 27/1/2013).
Kualitas
Kenaikan tarif ini perlu dikaji secara matang. Pemprov DKI Jakarta disarankan untuk fokus pada upaya mengajak warga menggunakan transportasi umum.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Harya S Dillon menyebutkan, kualitas layanan Transjakarta dari tahun ke tahun membaik secara signifikan. Terdapat perbaikan mulai dari prasarana hingga perluasan jangkauan. Akan tetapi, wajar jika penumpang melihat tetap ada ruang untuk perbaikan sehingga perlu dimaknai sebagai upaya untuk membangun transportasi publik yang nyaman bagi warga.
Dengan adanya perbaikan, maka wacana kenaikan tarif Transjakarta menjadi sesuatu yang masuk akal. Selain kualitas layanan semakin bagus, ada faktor inflasi dan penyesuaian-penyesuaian lain sebagai pertimbangan.
Saat awal beroperasi pada 2004, Transjakarta mematok tarif Rp 2.000 untuk sekali naik. Tarifnya kemudian naik menjadi Rp 3.500 pada 2006. Transjakarta juga memberlakukan tarif khusus Rp 2.000 untuk penumpang yang naik pada pukul 05.00 hingga pukul 07.00.
Keluhan warga masih banyak. Survei tarif itu baru cek ombak untuk pertimbangan internal. Belum untuk kebijakan yang mau dikeluarkan.
Menurut Harya, jika dihitung dengan nilai inflasi, daya beli uang Rp 3.500 pada 2006 setara dengan uang Rp 7.800 pada 2023. ”Meski begitu, harus dilihat juga, urgensi menaikkan tarif ini sebenarnya apa? Apa karena ingin memotong subsidi? Apa karena kesehatan fiskal Pemprov DKI? Atau ada faktor lain. Maka, penting untuk dikaji dengan matang lebih dahulu dan dijabarkan alasannya dengan transparan,” ucap Harya.
Yang terpenting saat ini, lanjutnya, ialah upaya mengajak warga untuk menggunakan transportasi umum. Salah satunya dengan menciptakan persepsi bahwa transportasi umum itu aman, khususnya dari Covid-19.
Penyebabnya, kendati pembatasan sosial telah dicabut, penggunaan masker di dalam angkutan umum masih diwajibkan. Aturan itu tertuang dalam Surat Edaran Dishub DKI Jakarta Nomor e-0002/SE/2023/SE/2022 tentang kewajiban menggunakan masker di dalam sarana dan prasarana angkutan umum pada masa transisi menuju endemi.
Harya heran karena regulasi tersebut masih berlaku pada saat warga sudah mulai kembali beraktivitas tanpa menggunakan masker, seperti saat konser. Dengan masih diterapkannya aturan itu, muncul persepsi buruk seakan-akan angkutan umum tidak aman.
”Yang diperlukan saat ini adalah keberpihakan terhadap transportasi umum. Sebenarnya ini tidak hanya tugas Pemprov DKI, tapi juga pemerintah pusat,” ujarnya.
Baca juga : Integrasi Antarmoda Diharapkan Mengurai Kusutnya Lalu Lintas Jakarta
Suhud Alynudin, anggota Komis B Bidang Perekonomian DPRD DKI Jakarta, satu suara. Hal yang penting untuk disurvei sekarang adalah tingkat kepuasan pengguna terhadap layanan Transjakarta. Jika layanan sudah optimal, hal itu memungkinkan untuk kenaikan tarif.
”Sebagai contoh, yang sering dikeluhkan pengguna saat ini adalah ketiadaan toilet di sejumlah halte. Termasuk pencegahan terhadap kejahatan pelecehan seksual. Jangan dulu berpikir tentang kenaikan tarif, tetapi tingkatkan layanan optimal agar warga puas,” ucap Suhud.
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta lainnya, Gilbert Simanjuntak, belum melihat urgensi kenaikan tarif. Persoalan saat ini ialah keluhan pengguna terhadap layanan.
”Keluhan warga masih banyak. Survei tarif itu baru cek ombak untuk pertimbangan internal. Belum untuk kebijakan yang mau dikeluarkan,” kata Gilbert.