Bagi petani Ibu Kota penggarap lahan di tepian sungai, air berlimpah saat musim hujan berarti tanaman bisa tumbuh subur. Di sisi lain, banjir yang berpotensi terjadi dan persebaran jamur memicu gagal panen.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cuaca ekstrem di Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini hingga beberapa waktu ke depan berpotensi menyebabkan terjadinya hujan intensitas tinggi yang dapat memicu air sungai meluap. Luapan air sungai ini selain dikhawatirkan membanjiri permukiman dan akses publik juga dapat merusak lahan pertanian. Petani Ibu Kota penggarap lahan di pinggiran sungai pun terancam gagal panen.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi potensi curah hujan dengan intensitas hujan sedang hingga lebat pada 9-15 Oktober 2022 di DKI Jakarta. Hujan dapat disertai kilat dan petir. Beberapa wilayah di Jakarta Timur, seperti Duren Sawit, Cipayung, dan Ciracas, berada pada level Siaga.
Status Waspada (lebih rendah ketimbang Siaga) juga terdapat di wilayah Jakarta Timur, seperti Cakung, Makasar, Jatinegara, Pulo Gadung, Cipayung. Adapun wilayah Jakarta Utara, status Waspada ada di Koja, Kelapa Gading, Cilincing, Tanjung Priok, Pademangan, Danau Sunter, dan Penjaringan. Sementara di Jakarta Barat, wilayah dengan status Waspada ada di Taman Sari, Tambora, Grogol Petamburan, Cengkareng, dan Kalideres. Di Jakarta Pusat, status Waspada ada di Kemayoran, Sawah Besar. Terakhir, status Waspada di Jakarta Selatan berada di wilayah Jagakarsa dan Cilandak.
Pada wilayah dengan level Siaga, hujan deras dapat memicu terjadinya banjir dan merusak tanaman. Hujan terus-menerus memicu pertumbuhan bakteri dan jamur yang merusak tanaman. Selain itu, meluapnya air sungai juga akan berdampak negatif bagi petani pinggiran Kanal Banjir Timur, Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Petani di pinggiran Kanal Banjir Timur, Sudin (39), menggarap lahan ukuran 30 meter x 6 meter dengan menanam kacang-kacangan, singkong, jagung, dan beberapa tanaman buah, seperti pisang dan pepaya. Jarak lahannya dengan sungai hanya 2 meter. Ketika volume air sungai meningkat hingga permukaannya mencapai ketinggian 3 meter dan meluber ke sisi-sisi kali, tanamannya akan tenggelam.
”Kalau hujan deras, air sungai biasanya naik. Kadang beberapa tanaman ikut terendam, kadang juga tidak. Harapannya air sungai tidak naik terlalu tinggi dan menenggelamkan tanaman,” ujarnya, Minggu (9/10/2022).
Sarno (55) dan Sarip (52), kakak beradik yang juga bertani di pinggiran Kanal Banjir Timur, menggarap lahan yang membentang sepanjang bantaran sungai dengan ukuran 500 meter x 6 meter. Mereka menanam tanaman hortikultura dan beberapa jenis tanaman buah, seperti pisang, pepaya, dan melon.
Bagi Sarno dan Sarip, bertani di musim hujan bagaikan berjudi. Pada satu sisi hujan menyuburkan tanah, tetapi di sisi lain juga dapat merusak tanaman dan memicu banjir.
”Kalau air naik, kami hanya bisa pasrah. Mau bagaimana lagi, tidak ada yang bisa diperbuat,” ujar Sarip.
Petani di pinggiran Kanal Banjir Barat, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Riskandi, mengatakan, lahan berukuran 7 meter x 4 meter yang digarapnya cukup aman dari luapan air sungai. Namun, harga yang harus dibayar adalah semakin sempitnya lahan garapan karena pelebaran dan pendalaman Kanal Banjir Barat.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta Suharini Eliawati mengatakan, peralihan metode tanam secara vertikal dapat menurunkan risiko gagal panen. Teknik tersebut cocok untuk diterapkan di DKI Jakarta.
Selain itu, petani pinggiran sungai dapat menanam tanaman buah sebagai alternatif dari sayur-mayur. Tanaman buah memiliki akar yang lebih kuat dan batang yang lebih tinggi sehingga genangan air tidak berdampak signifikan terhadap produksi tanaman.
Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan persebaran jamur. Khusus untuk peningkatan jamur yang patogen akibat meningkatnya curah hujan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Menurut dosen Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Siti, petani pasti sudah memperhitungkan aspek cuaca dalam persiapan tanamnya. Persiapan tanam dapat disesuaikan dengan kesiapan lahan dan kearifan lokal.
”DKI Jakarta memang kurang ramah terhadap pertanian konvensional. Penggunaan lahan vertikal untuk tanaman hortikultura dapat menjadi jawaban pencegahan gagal panen,” ujarnya.
Namun, hal lain yang harus diperhatikan adalah saluran airnya. Sistem drainase dapat diatur sedemikian rupa agar air tidak menumpuk di lahan garapan. Intinya, semakin cepat air kembali ke tanah maka akan semakin baik sistem drainasenya.
Tanaman yang ditanam petani, baik di pinggiran Kanal Banjir Barat maupun Kanal Banjir Timur, terdapat lubang-lubang pada bagian daunnya. Lubang pada bagian daun menurut para petani semakin sering terjadi saat memasuki musim hujan.
”Hujan deras yang terjadi terus-menerus berpotensi meningkatkan serangan hama penyakit karena lingkungan tanaman menjadi lembab. Paling parah dapat menyebabkan gagal panen atau penurunan produksi,” ujar Suharini.
Bertani pada musim hujan itu seperti berjudi. Pada satu sisi hujan menyuburkan tanah, tetapi di sisi lain juga dapat merusak tanaman dan memicu banjir. (Sarno dan Sarip)
Peneliti asal China, Mutong Niu dan kawan-kawan dalam Atmospheric Environment: X pada tahun 2021 yang berjudul ”Influence of Rainfall on Fungal Aerobiota in the Urban Atmosphere Over Tianjin, China: A Case Study”, menemukan bahwa peningkatan curah hujan menurunkan konsentrasi polutan di udara. Namun, curah hujan yang tinggi juga akan meningkatkan persebaran jamur.
Jamur yang meningkat pertumbuhannya cukup beragam, ada yang merugikan tanaman dan ada yang tidak berdampak apa pun. Hal ini karena penyebab hujan menjadi faktor penentu utama.
”Untuk menekan pertumbuhan bakteri dan jamur, petani dapat meningkatkan penggunaan bibit unggul, pupuk organik, dan insektisida alami. Bibit unggul yang digunakan pada musim hujan harus yang tahan terhadap hama,” ujar Siti.