Menyemai Energi Ramah Lingkungan dari Sudut Jakarta
Sebagian warga Jakarta menyemai pemakaian energi ramah lingkungan, seperti panel surya atau sepeda listrik. Mereka berharap semaian itu tumbuh subur sehingga warga lain minimal mulai menjajal energi ramah lingkungan.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·5 menit baca
Deru kendaraan silih berganti melintasi Jalan Tol Jagorawi dan Jalan Tol Cililitan, Selasa (19/10/2021) sore. Sepelemparan batu dari situ, belasan anak-anak usia sekolah dasar tengah belajar mengaji bersama seorang guru di balai warga Kampung Jagorawi, Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur.
Balai warga terletak di tengah permukiman padat penduduk RT 001 RW 003. Kebanyakan bangunannya berwarna-warni dengan dinding tripleks atau semipermanen.
Dua panel surya di atap balai warga menjadi pembeda. Panel berukuran masing-masing 1 x 2 meter itu sudah terpasang sejak akhir Maret lalu.
Yang penting kami tahu dulu dan rasakan manfaat panel surya.
Praktis selama itu, warga mulai menikmati manfaat energi matahari yang melimpah nyaris sepanjang tahun. Ditambah lagi, sepuluh pemuda mengantongi keterampilan tentang pembangkit listrik tenaga surya serta instalasinya.
”Warga senang sekali karena tahunya panel surya hanya ada di gedung bertingkat dan perumahan elite saja. Tagihan listrik untuk kegiatan kecil-kecilan di balai juga berkurang dan ada warga yang punya bekal sebagai teknisi,” ujar Bagas Septiansyah, Ketua Karang Taruna Kampung Jagorawi.
Panel surya bertenaga 700 watt-peak dengan sistem on-grid dan hybrid tersebut khusus untuk kegiatan umum, seperti rapat, belajar daring, pengajian, dan hiburan atau hajatan. Keberadaannya mampu menghemat biaya listrik Rp 50.000 hingga Rp 100.000 setiap bulannya dari meteran berdaya 1.300 volt ampere.
Jumlah tersebut mungkin kecil bagi sebagian orang. Akan tetapi, sangat berarti bagi sebagian besar warga setempat yang bekerja sebagai pedagang kaki lima, pengepul rongsokan, dan buruh.
Dampak ganda
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Itulah tujuan Institute for Essential Services Reform dan Forum Warga Kota Jakarta yang bekerja sama dengan ATW Solar dalam pelatihan sekaligus pemasangan panel surya di Kampung Jagorawi.
Mereka ingin warga menikmati energi ramah lingkungan dari tenaga surya dan perlahan tertarik memasangnya di rumah. Juga membuka lapangan kerja baru sebagai teknisi panel surya.
Rahmudi (23), salah satu peserta pelatihan, mengatakan, warga setempat memang belum mampu memasang panel surya karena biayanya mahal. Namun, mereka sudah punya modal pengetahuan tentang teknologi PLTS atap, komponen, jaringan pemasangan, dan safety induction saat pemasangan.
”Yang penting kami tahu dulu dan rasakan manfaat panel surya,” ujar kurir logistik di Jakarta Timur itu.
Pemerintah menargetkan pemasangan 1 juta PLTS atap. Hingga Juli 2021, data Kementerian ESDM menunjukkan, jumlah pengguna PLTS atap mencapai 4.028 pelanggan dengan kapasitas total 35,56 megawatt-peak.
Asosiasi Energi Surya Indonesia menaksir investasi satu PLTS atap berkisar Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per 1 kilowatt-peak untuk penggunaan paling lama 30 tahun. Investasi itu akan kembali modal dalam kurun 7–10 tahun. Setelahnya warga dapat menikmati listrik murah, bersih, dan ramah lingkungan.
Jika 1 kWp dapat menghasilkan 4 kWh dalam sehari, energi yang dihasilkan selama sebulan mencapai sekitar 120 kWh. Jumlah itu dikalikan dengan tarif listrik nonsubsidi Rp 1.444 per kWh sehingga total pengeluaran yang bisa dihemat mencapai Rp 173.000 per bulan atau lebih dari Rp 2 juta per tahun. Selama 7 tahun, penghematan biaya listrik mencapai Rp 14,5 juta.
Perhitungan itu merujuk pada kondisi polusi udara di Jakarta. Polusi udara dapat memengaruhi tingkat konversi sinar matahari dari fotovoltaik. Hal itu dapat menurunkan sekitar 30 persen dari kapasitas maksimal energi yang bisa dihasilkan.
Di sisi satunya, PLTS atap bisa mengurangi jumlah polusi dari pembakaran batubara dan bahan bakar minyak. Merujuk Statistik PLN Tahun 2020 (Unaudited), PLN UID Jakarta Raya memiliki 4,7 juta pelanggan. Sebanyak 4,3 juta pelanggan rumah tangga, 5.912 industri, 306.839 bisnis, 44.765 sosial, 6.459 gedung pemerintahan, dan 8.825 penerangan jalan umum.
Semua pelanggan itu tersambung ke daya sebesar 19.674 megavolt ampere dengan penggunaan energi listrik mencapai 32.166 giga watt-hour. Sementara penggunaan energi rata-rata sebesar 6.764 kilowatt-hour dengan tarif rata-rata Rp 1.261 per kWh.
Gowes listrik
Selain PLTS atap, sebagian warga mulai menjajal sepeda listrik untuk mobilitas. Penggunaannya pun berdampak ganda, mengurangi kemacetan dan polusi udara di Ibu Kota.
Setahun belakangan ini, Didit Hidayat (42) rutin menggunakan sepeda listrik dari rumahnya di Kebayoran Baru ke kantor di Kuningan, Jakarta Selatan. Pemicunya ialah pemotongan gaji, jatah parkir bulanan, dan jatah makan karena pandemi Covid-19.
”Lumayan tidak perlu uang bensin, parkir, dan pajak motor. Tabungan bisa tambah meskipun tidak begitu banyak. Bonusnya bisa jajal beragam rute ke TMII, PIK, dan lainnya,” ucapnya.
Ia bahkan telah menjual sepeda motor karena jarang menggunakannya setelah beralih ke sepeda listrik. Jejaringnya pun bertambah melalui forum dan grup sepeda listrik. Di situ mereka berdiskusi tentang perawatan sepeda, gowes bareng, dan kegiatan lainnya.
Widi (21), warga Jakarta Selatan, juga beralih ke sepeda listrik sejak Maret 2021. Ia dan ibunya bergantian menggunakan sepeda listrik seharga Rp 5 juta itu ke kantor atau belanja keperluan di toko serba ada. Belakangan, salah satu tetanggnya ikut serta beralih ke sepeda listrik setelah melihat mereka.
”Murah dan tidak pakai BBM. Bisa mengurangi polusi juga,” ujarnya.
Laporan pemantauan kualitas udara DKI Jakarta sepanjang tahun 2020 oleh Dinas Lingkungan Hidup menunjukkan, kualitas dan polusi udara berada di level sedang. Pemantauan berlangsung di stasiun pemantauan Lubang Buaya, Jagakarsa, Kebon Jeruk, Bundaran HI, dan Kelapa Gading.
Rata-rata konsentrasi PM 10 berkisar 50,19 µg/m3 hingga 73,27 µg/m3 atau di atas level baik yang kurang dari 40 µgram/m3. Sementara rata-rata konsentrasi PM 2,5 berkisar 30,39 µg/m3 hingga 51,79 µg/m3 atau lebih dari level baik 0-15 µgram/m3.
Meskipun tidak mudah, di sudut Jakarta telah tumbuh harapan agar pengguna energi ramah lingkungan bertumbuh pesat.