Korban Jerat Hitam Pinjaman ”Online” Butuh Pemulihan Mental
Penyelesaian masalah bisnis pinjaman daring ilegal di Indonesia tak cukup dengan penegakan hukum. Pemulihan mental korban yang dihancurkan oleh para aplikator juga mendesak ditangani.

Persoalan pinjaman daring yang menjerat masyarakat tak cukup diselesaikan melalui penegakan hukum, pemblokiran aplikasi pinjaman daring ilegal, dan edukasi masyarakat. Selain ekosistem bisnis pinjaman daring di Indonesia harus dibenahi, pemulihan mental bagi ”korban” jeratan pinjaman daring juga perlu diperhatikan.
SA (21) masih ketakutan saat dihubungi, Selasa (19/10/2021) siang. Mahasiswi salah satu kampus di Bekasi Utara, Kota Bekasi, itu bahkan selama beberapa bulan terakhir memblokir semua nomor yang ada di buku kontaknya.
Dia tak akan menjawab panggilan telepon dan Whatsapp atau pesan apa pun jika belum mengenali pihak yang menghubunginya. Langkah proteksi ini dilakukan setelah berbulan-bulan, setiap hari dia mendapat teror dari aplikator pinjaman daring. Total panggilan masuk bisa mencapai 50 panggilan dari nomor telepon yang berbeda-beda.
SA awalnya terjerat pinjaman daring yang berujung gagal bayar setelah pada Juni 2021 mahasiswa semester 7 ini mendapatkan transfer uang dari salah satu aplikasi pinjaman daring berstatus legal tanpa pernah mengajukan pinjaman. Uang itu, kemudian digunakan dan menjadi sumber awal petaka. Ia harus mengunduh aplikasi pinjaman lain untuk melunasi utangnya karena belum memiliki penghasilan yang tetap.
”Saya enggak tahu lagi, harus bagaimana. Kalau seandainya bisa, saya mau lunasin semua,” kata warga Teluk Pucung, Kota Bekasi, itu.

Gading, bukan nama sebenarnya, mengambil foto KTP untuk keperluan administrasi pinjaman daring di Pinang, Tangerang, Banten, Rabu (18/8/2021).
Sebagian korban pinjaman daring, seperti Dee (42), warga asal Bekasi, dan Rea (30), warga asal Palembang Sumatera Selatan, bisa bangkit dari keterpurukan teror aplikator pinjaman daring setelah membuka diri. Mereka mengikuti pendampingan dan layanan penguatan mental dari Kantor Hukum Nenggala Alugoro.
Menurut Dee, di awal-awal ketika datanya tersebar ke 500 nomor kontak yang tersimpan di buku kontaknya, ia hanya mengurung diri di rumah. Perempuan yang memiliki tiga anak ini tak berani keluar rumah dan malu setelah utangnya ke perusahaan pinjaman daring diketahui keluarga, tetangga, dan kerabat.
Kesehariannya juga diliputi kecemasan lantaran selalu terbayang dengan ancaman pembunuhan yang pernah dia terima. ”Saya juga khawatir dengan anak-anak saya. Mereka waktu itu mengaku sudah kenal keluarga saya, anak-anak saya. Mereka ancam akan bunuh anak-anak saya,” kata Dee.
Baca juga :
- Ragam Karakter Debitor Menguji ”Debt Collector” Pinjaman Daring
- Jerat Iklan Digital Antar Korban ke Puluhan Aplikasi Pinjaman Daring
Kecemasan dan rasa malu yang sempat menghantui Dee selama berbulan-bulan kini telah berubah. Ia mendapat kekuatan mental untuk bangkit dan melawan balik ancaman aplikator setelah bergabung dalam grup sharing yang diinisiasi oleh Kantor Hukum Nenggala Alugoro. Di grup itu terdapat sejumlah korban pinjaman daring ilegal dari beberapa wilayah di Indonesia.
Hal serupa dirasakan Rea saat mulai mendapat pendampingan dari Kantor Hukum Nenggala Alugoro. Ia tak hanya sebatas mendapat bekal mental, tetapi juga mendapat surat kuasa dari Kantor Hukum Nenggala Alugoro. Surat kuasa itu jadi bekal bagi Rea untuk untuk menjelaskan duduk perkara utang yang menjeratnya kepada atasan perusahaan tempatnya bekerja.

Rea awalnya mengenal pinjaman daring pada 2018 dan hingga 2020, dia sudah mengakes lebih dari 20 aplikasi. Dananya digunakan untuk membayar utang dari aplikator terdahulu. Sistem gali lubang tutup lubang itu tak kunjung selesai hingga pada pertengahan 2020, dia dikategorikan gagal bayar.
Dari sini, teror dan ancaman dimulai. Ancaman tak hanya diterima pihak keluarga lelaki yang bekerja sebagai tenaga pemasaran itu. Namun, ancaman itu juga merembet hingga ke teman kerja dan atasan di perusahaan Rea bekerja.
Baca juga : Enam Orang Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Pinjaman Daring Ilegal
Kantor Hukum Nenggala Alugoro melalui Grup Secret Financial sejak 2019 fokus dalam persoalan teknologi finansial, termasuk membantu para korban kejahatan pinjaman yang mendapat teror, penyebaran data pribadi, hingga berujung pada keretakan keutuhan rumah tangga korban. Selain langkah pendampingan hukum, Grup Secret Financial juga menyiapkan berbagai video yang bisa ditonton korban pinjaman online. Dari video yang berisi konten edukasi itu, para korban diharapkan memiliki kekuatan mental untuk kembali bangkit.
”Kami memiliki total 100 grup yang di dalamnya terdapat para korban pinjaman online dari seluruh Indonesia. Melalui grup tersebut, mereka saling berbagai terkait masalah pinjaman online dan saling menguatkan satu sama lain,” kata Alin, salah satu admin dari Grup Secret Financial.
Kantor Hukum Nenggala Alugoro, kata Alin, juga menyiapkan sejumlah langkah pendampingan hukum bagi korban pinjaman daring. Salah satunya dengan mengalihkan penagihan aplikator ke Kantor Hukum Neggala Aluguro, membantu penyelesaian masalah penyebaran data pribadi dengan menguhubungi pihak kerabat, keluarga, hingga rekan kerja korban.

Baca juga : Ancam Debitor dengan Pornografi, Kantor Pinjol di Jakarta Utara Digerebek Polisi
Dari data kantor hukum itu, setiap bulan rata-rata ada 800 aduan korban pinjaman daring dari sejumlah wilayah di Indonesia. Artinya, dalam setahun jumlah korban yang mengadu mencapai 9.600 orang.
”Setiap hari banyak sekali korban pinjaman online yang menghubungi kami. Pernah dalam satu hari kami bisa menerima sampai 150 aduan,” ucap Alin.
Mendesak dibenahi
Menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, kasus pinjaman daring ilegal yang marak dibongkar polisi akhir-akhir ini menunjukkan ada persoalan mendasar dalam pengelolaan bisnis pinjaman digital di Indonesia.
Berdasarkan catatan YLKI, beberapa hal yang harus dibenahi pemerintah, antara lain, terkait transparansi produk teknologi finansial atau pinjaman online, asimetris informasi, dan unfair contract terms (klausul baku yang tidak adil). Berkait dengan asimetris informasi, YLKI menilai masyarakat atau konsumen pengguna pinjaman sangat minim informasi terkait dengan produk yang telah mereka gunakan.
”Jadi begini, kalau saya mau pinjam itu harusnya ada simulasi. Misalnya saya pinjam Rp 1 juta, saya seharusnya sudah tahu berapa bunga yang akan dibayar. (Praktiknya) Konsumen biasanya baru tahu setelah dia ditagih,” kata Sudaryatmo.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2Fc74417d0-e1c5-4014-b0f6-199407d6cd4e_jpg.jpg)
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo di Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Konsumen juga seharusnya mendapat penjelasan terperinci terkait dengan dana tunai yang dicairkan aplikasi pinjaman yang tidak utuh atau sesuai nominal pinjaman yang diajukan. Salah satu karakter dari pinjaman online ialah melakukan skrining calon debitor menggunakan analisis big data. Biaya skrining itu oleh sebagian perusahaan dibebankan kepada peminjam sehingga otomatis dana tunai yang diperoleh tak utuh atau ada potongan administrasi tertentu.
Faktor lain yang perlu dibenahi pemerintah ialah ketentuan pinjaman yang tidak fair atau unfair contract terms. YLKI menilai, syarat dan ketentuan pinjaman itu banyak yang tidak berimbang. Klausa baku ini pula yang jadi sumber persoalan perusahaan pinjaman daring bebas dalam mengakses data pribadi debitor.
”Makanya, kenapa cara penagihannya bisa seperti itu, dalam kontrak cara penagihannya sudah mendapatkan kuasa (oleh konsumen). Jadi, sumber di hilirnya memang ekosistem bisnis pinjaman online harus dibenahi. Dan ini tugas OJK,” kata Sudaryatmo.
Baca juga : Masyarakat dalam Jeratan Rentenir ”Normal Baru”
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bakal menata ulang ekosistem bisnis pinjaman daring. Penataan ini sebagai respons atas arahan Presiden Joko Widodo. Menurut Ketua OJK Wimboh Santoso, salah satu bentuk penataan ialah industri pinjaman daring akan disetarakan dalam hal level of playing filed dengan lembaga pembiayaan. Ini untuk memastikan agar masyarakat tetap dapat mengakses secara mudah, cepat, suku bunga wajar, dan cara penagihan yang tidak melanggar hukum.

Terkait dengan pemulihan mental korban, YLKI meminta pemerintah tidak hanya fokus terkait penegakan hukum pemberantasan pinjaman daring ilegal. Pemerintah melalui OJK diminta turut memperhatikan aspek pemulihan hak-hak korban.
”Dari segi material, korban yang sudah kontrak dengan pinjaman online itu pelunasan utangnya harus fair dan wajar. Ini tidak bisa diserahkan antara konsumen dan perusahaan pinjaman online. OJK perlu membentuk krisis center,” kata Sudaryatmo.