Penggunaan energi ramah lingkungan, seperti panel surya, masih minim. Padahal, minat warga yang tinggi merupakan peluang emas untuk mewujudkan Jakarta Solar City.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung parkir untuk sarana Asian Games 2018 di area Parkir Timur Senayan, Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, saat masa pembangunan, seperti dipotret pada Jumat (4/5/2018). Gedung ini dirancang bisa menampung sekitar 1.700 mobil dan dilengkapi panel surya yang mampu menghasilkan listrik 1 MW.
Lebih dari 70 persen warga Jakarta ingin menjajal pembangkit listrik tenaga surya atap. Keinginan itu bak gayung bersambut dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi ramah lingkungan.
Akhir tahun 2020, Greenpeace Indonesia dan Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia merilis laporan tersebut dalam Jakarta Solar City, Jakarta Baru: Solusi Polusi, Emisi dan Ekonomi dengan PLTS Atap.
Laporan setebal 50 halaman itu menunjukkan peluang emas Jakarta sebagai kota yang maju dan berkelanjutan dalam pengembangan energi terbarukan, khususnya tenaga surya.
Hal itu berdasarkan survei kepada 411 responden di lima kota administrasi se-Jakarta. Lebih dari 70 persen warga ingin memiliki panel surya atap. Mereka mayoritas pria, berusia 40-50 tahun, karyawan swasta, lulusan sarjana, bergaji Rp 5 juta hingga Rp 10 juta, punya rumah sendiri dengan daya listrik 2.200 volt ampere, dan tagihan listrik per bulan maksimal Rp 1 juta.
Masyarakat baru minat, tapi belum mulai adopsi panel surya. Sama juga dengan pemerintah, target 30 persen gedungnya pasang panel surya, tetapi realisasi masih jauh.
Temuan survei kemudian diasumsikan dalam skenario pesimistis, realistis, dan optimistis berdasarkan jumlah pelanggan PLN UID Jakarta Raya. Saat ini jumlah pelanggan mencapai 4,7 juta, terdiri dari 4,3 juta pelanggan rumah tangga, 5.912 industri, 306.839 bisnis, 44.765 sosial, 6.459 gedung pemerintahan, dan 8.825 penerangan jalan umum.
Seluruh pelanggan tersambung ke daya sebesar 19.674 megavolt ampere dengan penggunaan energi listrik mencapai 32.166 gigawatt-hour.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Karyawan stan pameran energi terbarukan menjelaskan panel surya yang dibuat menyerupai lipatan genteng kepada pengunjung pameran JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Skenario pesimistis menunjukkan Ibu Kota punya potensi 1,1 juta pengguna PLTS atap dari pelanggan rumah tangga dengan kapasitas daya 2.753 megavolt ampere. Sementara potensi sektor bisnis dan industri mencapai 26.213 pelanggan dengan kapasitas daya 859 megavolt ampere.
Nyatanya baru 703 bangunan di Jakarta yang memasang panel surya dengan total kapasitas 2,98 megawatt. Artinya, realisasi panel surya masih sangat minim, yakni 0,015 persen dari 4,7 juta pelanggan PLN.
”Masyarakat baru minat, tapi belum mulai adopsi panel surya. Sama juga dengan pemerintah, target 30 persen gedungnya pasang panel surya, tetapi realisasi masih jauh. Padahal, harus ada contoh sebagai daya tarik,” ujar Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap Bambang Sumaryo, Rabu (20/10/2021).
Pekerjaan rumah
Jakarta ada di barisan depan implementasi energi terbarukan. Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara mengatur peralihan menuju energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dengan memasang panel solar rooftop pada semua sekolah, gedung pemerintah daerah, dan fasilitas kesehatan milik pemerintah hingga 2022.
Setidaknya 73 sekolah negeri telah dipasangi panel surya dengan kapasitas 24,6 kilowatt-peak di setiap sekolah. Jakarta International Stadium yang tengah dibangun juga bakal kebagian 20 panel surya di dua sisi atapnya. Itu diperkirakan mampu menghemat 5,4 persen kebutuhan listrik stadion utama.
Kompas/Wawan H Prabowo
Refleksi proyek pembangunan Jakarta International Stadium (JIS) di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (12/9/2021). Menurut catatan dari Pemprov DKI Jakarta, saat ini pembangunan JIS telah terealisasi69,85 persen. Pemprov DKI Jakarta menargetkan JIS bisa selesai pada Desember 2021.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa menyebutkan, pengguna PLTS atap didominasi kalangan berpenghasilan menengah ke atas. Perlu sebuah dorongan agar tren ini berlanjut ke kalangan berpenghasilan menengah bawah.
Salah satu caranya, menyediakan PLTS dengan harga terjangkau atau melalui pembayaran kredit. ”Sejauh ini, belum ada kredit kepemilikan PLTS atap untuk rumah tangga yang secara masif,” tuturnya.
Selain itu, prosedur pemasangan PLTS untuk rumah tangga juga belum jamak diketahui publik. Idealnya, warga bisa mendapatkan informasi tersebut melalui penyedia jasa pemasangan PLTS.
Sejumlah langkah perbaikan juga direkomendasikan Institute for Essential Services Reform dan Indonesia Clean Energy Forum dalam the 4th Indonesia Energy Transition Dialogue.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform yang juga Ketua AESI Fabby Tumiwa menuturkan, perlu ada peraturan yang kuat sebagai wujud dukungan politis mendorong dekarbonisasi dan pengembangan teknologi rendah karbon.
”Dekarbonisasi perlu didukung kepastian kebijakan jangka panjang yang konsisten dan tidak berubah arah,” ucapnya.
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Suasana di balai warga Kampung Jagorawi, Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur, Selasa (19/10/2021).
Di sisi lain, perlu mengembangkan industri yang selaras dengan rencana riset dan teknologi dalam negeri sehingga bisa memaksimalkan potensi sumber daya alam yang berkelanjutan. Karena itu, butuh dukungan tenaga kerja lokal untuk industri rendah karbon masa depan, seperti manufaktur panel surya, manufaktur baterai, dan produksi hidrogen.
Percepatan
Greenpeace Indonesia dan Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia, dalam laporannya, turut memberikan rekomendasi mewujudkan Jakarta Solar City.
Direktur Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia Eko Adhi Setiawan mengatakan, sektor bisnis dan industri mempunyai peluang lebih cepat dalam menggunakan PLTS atap secara masif selama ada kebijakan proporsional dengan program penunjang, seperti pengurangan pajak atau pemberian insentif.
Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat menyiapkan kerangka regulasi dan program yang mempermudah pemanfaatan PLTS atap. Juga menyiapkan kebijakan investasi hijau untuk menarik investor dalam negeri ataupun internasional karena keberhasilan program ini akan memberikan sebuah iklim baru di mana warga memiliki peran dalam bisnis kelistrikan.
”Warga memproduksi listrik sendiri, baik secara komunal maupun individu (rumah tangga) akan membantu terciptanya ketahanan energi dari sumber terbarukan yang bersih,” katanya.
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Perangkat pembangkit listrik tenaga surya atap di sudut balai warga Kampung Jagorawi, Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur, Selasa (19/10/2021). Warga bisa berhemat biaya listrik Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per bulan untuk berbagai aktivitas di balai.
Rekomendasi lainnya, yakni produksi dalam negeri serta impor yang tepat dan berimbang untuk mencapai target kapasitas PLTS atap. Produksi dalam negeri memberikan potensi penambahan tenaga kerja pada sektor produksi secara riil. Namun, impor berdampak secara signifikan pada hilangnya potensi tenaga kerja lokal meski dapat mendorong tercapainya target pertumbuhan pemanfaatan PLTS atap.
Jakarta Solar City sudah ada di depan mata. Pemerintah ataupun warga tinggal memanfaatkan peluang-peluang demi optimalnya energi ramah lingkungan.