Jerat Iklan Digital Antar Korban ke Puluhan Aplikasi Pinjaman Daring
Sebagian warga tak mendapat bekal informasi yang cukup saat mengakses aplikasi pinjaman daring. Akibatnya mereka sering kali terjerumus dalam perangkap kejahatan pinjaman daring ilegal.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah barang bukti alat teknologi informasi yang digunakan jasa pinjaman daring ilegal diekspos saat rilis penangkapan jaringan pinjaman daring ilegal di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (15/10/2021).
Iklan digital di media sosial cukup ampuh menarik sebagian warga yang kesulitan ekonomi untuk terjerat pinjaman daring ilegal. Iming-iming proses pencairan mudah dan jangka waktu singkat menjerumuskan warga dalam gurita kejahatan teknologi finansial.
Di akhir 2018, Dee (42) pertama kali mengenal aplikasi pinjaman daring ilegal. Perempuan itu tak sengaja menemukan iklan digital di telepon selulernya yang mempromosikan produk pinjaman daring dari salah satu aplikasi ilegal.
”Kebetulan waktu itu saya dapat yang ilegal, dapatnya Rp 1 juta. Saya pikir gini, utang Rp 1 juta dapatnya Rp 1 juta. Kok, ini aplikasi baik banget,” kata Dee, Senin (18/10/2021), di Bekasi, Jawa Barat.
Dari pinjaman itu, uang yang didapatkan harus segera dilunasi setelah tujuh hari kerja. Saat tiba waktu pelunasan utang, ibu yang memiliki tiga anak itu belum mempunyai uang untuk menutupi utang.
Pada hari pertama gagal bayar itu mereka sudah mulai teror. Keluarga saya semua ditelepon. Mereka semua akhirnya tahu.
Dia terpaksa kembali mengunduh dua aplikasi pinjaman daring ilegal untuk menutupi utang dari aplikasi pertama. Dee mengunduh dua aplikasi sekaligus lantaran satu aplikasi tak mampu menutupi utang aplikasi pertama. Sebab, di aplikasi kedua dan ketiga, Dee yang mengajukan pinjaman Rp 1 juta hanya mendapatkan dana tunai Rp 650.000 dari setiap aplikasi.
Cara itu terus dilakukan Dee untuk menutupi utang dari satu aplikasi ke aplikasi lain. Dari metode itu, total ada 30 aplikasi yang dia manfaatkan untuk membayar pinjaman dari aplikasi terdahulu.
”Pinjaman pertama, saya masih menikmati. Tetapi, pinjaman kedua, ketiga, dan seterusnya, uang itu saya juga tidak tahu ke mana. Cuma begitu doang, gali lubang tutup lubang,” katanya.
Upaya membayar utang dengan sistem gali lubang tutup lubang di tahun pertama masih mampu diatasi Dee karena saat itu bisnis kulinernya masih berjalan lancar. Namun, semua itu berubah ketika pandemi melanda Tanah Air pada Maret 2020.
Ketika pandemi meluas, Dee tak lagi mampu membayar utang-utang karena usaha kuliner menyusut. Ini karena aktivitas pembelajaran di berbagai sekolah ditutup. Padahal, dia selama ini mengandalkan siswa-siswi sebagai sasaran untuk menjajakan kuliner.
Tanpa ada pemasukan, Dee tak lagi memiliki uang dan otomatis gagal membayar utang. Saat itu pula petaka melanda. Teror, intimidasi, ancaman pembunuhan, ancaman penculikan terhadap anak-anaknya, dan caci maki terus berdatangan melaui panggilan telepon, layanan pesan singkat (SMS), serta pesan Whatsapp.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Contoh pesan singkat jasa pinjaman daring ilegal di ponsel saat rilis penangkapan jaringan pinjaman daring ilegal di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (22/10/2021).
Teror itu datang dari para penagih utang berbagai aplikasi pinjaman daring yang pernah diakses Dee. ”Di hari pertama gagal bayar itu mereka sudah mulai teror. Keluarga saya semua ditelepon. Mereka semua akhirnya tahu,” kata Dee.
Keluarga yang mengetahui persoalan yang dihadapi Dee saat itu pula membantu melunasi utangnya dari beberapa aplikasi pinjaman daring. Total uang bantuan keluarga untuk menutupi utangnya Rp 25 juta.
Meski demikian, setelah malam itu utang sudah dilunasi, keesokan harinya Dee masih kembali mendapatkan teror dari pihak penagih utang dari aplikasi yang sama, yang sudah dilunasi pinjamannya. Dee pun tak paham alasan ia masih mendapat ancaman dan intimidasi. Bahkan, ancaman itu masih terus berlanjut hingga dua pekan.
Teror, intimidasi, dan ancaman yang dialami Dee saat itu membuatnya sempat depresi. Ia lebih banyak mengurung diri di rumah lantaran malu diketahui keluarga dan tetangga. Sebab, selama Dee gagal membayar utang, pihak pinjaman daring ilegal menyebarkan datanya ke sekitar 500 nomor kontak yang ada di telepon selulernya.
”Data saya yang disebar ke keluarga dan kenalan dikontak itu bukan hanya soal saya punya utang. Mereka bilang saya maling, rampok. Bahkan, ada pesan yang isinya itu bilang saya dicari karena membawa kabur uang perusahaan,” ucapnya.
Kasus berbeda dialami SA (21), warga Teluk Pucung, Kota Bekasi. Ia terjerat pinjaman daring akibat mendapatkan transfer uang dari salah satu aplikasi pinjaman daring berstatus legal tanpa pernah mengajukan pinjaman. Menurut SA, dia terakhir menggunakan aplikasi pinjaman daring pada 2020. Saat itu uang yang dipinjam sebesar Rp 300.000 dan dia melunasinya beberapa bulan kemudian pada akhir 2020.
”Kemudian, pada Juni 2021, tiba-tiba ada transfer masuk ke rekening saya Rp 500.000. Dari jumlah itu, saya harus kembalikan Rp 900.000,” kata mahasiswi salah satu perguruan tinggi di wilayah Bekasi Utara itu, Selasa (19/10/2021).
SA saat itu sempat mempertanyakan uang yang masuk ke rekeningnya dari aplikasi pinjaman daring tersebut. Namun, pihak pengelola aplikasi memastikan bahwa SA pernah mengajukan pinjaman pada 9 Juni 2021 sebesar Rp 500.000.
Pihak pengelola aplikasi pun tak mau tahu soal protes SA. Ia tetap dituntut untuk membayar kembali pinjaman yang sudah pernah diajukan. Kasus itu menjadi awal petaka SA terperangkap dalam jebakan pinjaman daring.
SA yang masih kuliah dan belum memiliki pekerjaan mulai kebingungan menjelang jatuh tempo pembayaran utang. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan ialah kembali mengajukan pinjaman di aplikasi daring lainnya untuk menutupi utang dari aplikasi sebelumnya.
Dari metode itu, saat ini sudah ada delapan aplikasi baik legal maupun ilegal yang diakses SA. Ia pun mulai kebingungan dan tak lagi menggunakan metode serupa dalam melunasi utang-utang. Gagal bayar jadi satu-satunya pilihan lantaran SA belum mempunyai penghasilan.
Saat SA memutuskan untuk tak lagi membayar, teror melalui panggilan telepon, SMS, dan pesan Whatsapp terus berdatangan. Setiap hari dia rutin mendapat panggilan telepon paling sedikit 50 panggilan dari nomor yang berbeda-beda. SA masih beruntung lantaran keluarga atau kenalan di nomor kontaknya tak ikut mendapat ancaman serupa.
Banjir aduan
Kasus teror, intimidasi, dan ancaman dari pihak penagih kian meresahkan masyarakat. Setiap hari ada ratusan aduan yang masuk ke Grup Secret Finansial yang berada di bawah naungan Kantor Hukum Nenggala Alugoro. Grup ini sejak 2019 fokus pada pendampingan hukum, penguatan mental, dan penyelesaian masalah pinjaman daring yang menjerat masyarakat di seluruh Indonesia.
Dari data Kantor Hukum Nenggala Alugoro, setiap bulan rata-rata ada 800 aduan korban pinjaman daring dari berbagai wilayah di Indonesia. Artinya, dalam setahun jumlah korban yang mengadu mencapai sekitar 9.600 orang.
”Setiap hari banyak sekali korban pinjaman online yang menghubungi kami. Pernah dalam satu hari kami bisa menerima sampai 150 aduan,” ucap Alin, admin Grup Secret Financial Kantor Hukum Nenggala Alugoro, Selasa (19/10/2021).
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Tersangka debt collector (paling kanan) dihadirkan dalam pengungkapan kasus penagihan pinjaman daring di Markas Polda Jawa Tengah, Kota Semarang, Selasa (19/10/2021). Ia mengancam dan memeras dengan menyebarkan foto-foto korban pinjaman daring ilegal.
Sementara itu, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, sepanjang 2019 sampai 2021, jumlah pengaduan masyarakat mencapai 19.711 aduan. Rinciannya, 9.270 kasus menjadi korban pelanggaran berat dan 10.441 aduan merupakan korban pelanggaran ringan atau sedang kasus pinjaman daring ilegal.