Pembangkit listrik tenaga surya atap memberikan manfaat jangka panjang meski belum terjangkau semua kalangan dan butuh waktu sedikitnya tujuh tahun untuk kembali modal pemasangan.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·4 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
Panel surya di atap balai warga Kampung Jagorawi, Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur, Selasa (19/10/2021). Pemasangan panel surya 700 watt peak itu supaya warga menikmati energi bersih dan berminat menjajalnya.
Arman Hazairin (51), warga Jakarta Selatan, menjajal pembangkit listrik tenaga surya atap sejak 2017. Ia memasang panel surya bertenaga 15,6 kilowatt-peak dengan sistem on-grid sejak 2017.
”Tujuannya mengurangi tagihan listrik. Sebulan berkurang sampai Rp 2,5 juta,” tuturnya, Senin (18/10/2021).
Mulanya biaya tagihan listrik keluarganya mencapai Rp 4 juta per bulan. Setelah memasang PLTS atap, tagihan berkurang menjadi Rp 1,5 juta per bulan. Itu artinya, selama setahun mereka bisa berhemat Rp 30 juta atau Rp 210 juta selama tujuh tahun atau kembali modal pemasangan.
Arman menuturkan, PLTS atas nyaris bebas biaya perawatan karena atap rumahnya cukup tinggi sehingga jarang ada kotoran berupa dedaunan atau sampah. Selama lima tahun penggunaan, tak ada kendala berarti dalam merawat inverter ataupun instalasinya.
”Keuntungan di Indonesia, matahari ada sepanjang tahun. Pemasangan panel jadi tidak ribet sudut dan pertimbangan pergantian musim,” katanya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Teknisi sedang melakukan pemeriksaan akhir instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (3/9/2020). Sebanyak 506 panel surya dengan kapasitas total daya 150.000 watt dipergunakan untuk pencahayaan area masjid. Pemanfaatan panel surya ini sebagai upaya mendukung penggunaan energi yang ramah lingkungan, efektif, dan efisien.
Asosiasi Energi Surya Indonesia menaksir biaya pemasangan PLTS atap berkisar Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per 1 kilowatt-peak. Dengan perhitungan tarif dasar listrik saat ini, penggunanya mendapatkan break even point atau pengembalian modal investasi dalam tujuh tahun.
Keuntungan di Indonesia, matahari ada sepanjang tahun. Pemasangan panel jadi tidak ribet sudut dan pertimbangan pergantian musim.
Diasumsikan, 1 kWp menghasilkan 4 kWh dalam sehari. Selama sebulan, energi yang dihasilkan mencapai 120 kWh. Jika dikalikan dengan tarif listrik nonsubsidi Rp 1.444 per kWh, pengeluaran yang bisa dihemat mencapai Rp 173.000 per bulan atau lebih dari Rp 2 juta per tahun. Selama tujuh tahun, penghematan biaya listrik mencapai Rp 14,5 juta.
Taksiran tersebut juga merujuk pada kondisi polusi udara di Jakarta yang dapat memengaruhi tingkat konversi sinar matahari dari fotovoltaik. Polusi dapat menurunkan 30 persen dari kapasitas maksimal energi yang bisa dihasilkan.
Jangka panjang
Greenpeace Indonesia dan Tropical Renewable Energy Center Universitas Indonesia merilis laporan Jakarta Solar City, Jakarta Baru: Solusi Polusi, Emisi dan Ekonomi dengan PLTS atap.
Survei kepada 411 responden di lima kota administrasi se-Jakarta menunjukkan, lebih dari 70 persen warga ingin memiliki panel surya atap. Mereka mayoritas pria, berusia 40-50 tahun, karyawan swasta, lulusan sarjana, bergaji Rp 5 juta hingga Rp 10 juta, punya rumah sendiri dengan daya listrik 2.200 volt ampere, dan tagihan listrik per bulan maksimal Rp 1 juta.
Karyawan stan pameran energi terbarukan menjelaskan panel surya yang dibuat menyerupai lipatan genteng kepada pengunjung pameran JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Dalam laporan itu pula disebutkan, Ibu Kota punya potensi 1,1 juta pengguna PLTS atap dari pelanggan rumah tangga dengan kapasitas daya 2.753 megavolt ampere. Sementara potensi sektor bisnis dan industri mencapai 26.213 pelanggan dengan kapasitas daya 859 megavolt ampere.
Potensi itu merupakan asumsi berdasarkan jumlah pelanggan PLN UID Jakarta Raya yang mencapai 4,7 juta pelanggan. Terdiri dari 4,3 juta pelanggan rumah tangga, 5.912 industri, 306.839 bisnis, 44.765 sosial, 6.459 gedung pemerintahan, dan 8.825 penerangan jalan umum.
”Masih sedikit warga yang mengadopsi panel surya. Alasannya mulai dari harga mahal, listrik PLN bersubsidi, dan lainnya. Bagi yang mau adopsi, mulai dulu dari 1 kWp supaya rasakan manfaatnya,” kata Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap Bambang Sumaryo.
Untuk pemula tak jadi soal memilih PLTS atas jenis on-grid yang terkoneksi dengan PLN atau off-grid. Menurut dia, warga kelas menengah setidaknya perlu mengalokasikan 10 persen ongkos dari harga rumah untuk PLTS atap.
Lanjutnya, satu orang setidaknya memerlukan 4 kWp selama sebulan. Asumsi itu untuk penggunaan listrik normal, termasuk pemakaian air conditioner dan memasak dengan perangkat listrik.
”Saat ini investasi sedikitnya Rp 10 juta hingga Rp 20 juta per kWp. Awalnya sulit, tapi seiring waktu berjalan banyak manfaatnya,” ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Andhika Prastawa menyebutkan, perlu sebuah dorongan agar tren penggunaan panel surya berlanjut ke kalangan berpenghasilan menengah bawah. Salah satu caranya dengan menyediakan PLTS atap dengan harga terjangkau atau melalui pembayaran kredit.
”Sejauh ini, belum ada kredit kepemilikan PLTS atap untuk rumah tangga yang secara masif,” katanya.
Upaya itu perlu juga ditopang prosedur pemasangan PLTS atap untuk rumah tangga yang jamak diketahui publik. Idealnya, warga bisa mendapatkan informasi tersebut melalui penyedia jasa pemasangan PLTS atap.
Mereka yang ingin beralih ke energi bersih bisa mulai menjajal PLTS atap. Sedikitnya mulai dengan 1 kWp dan rasakan manfaatnya bagi diri sendiri dan lingkungan.