Ketegasan tanpa edukasi itu kezaliman. Perlu memadukan antara preventif dan kegiatan penegakan hukum. Kepala daerah tidak bisa begitu saja dicopot jika terjadi kerumunan.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menginstruksikan kepala daerah agar menegakkan protokol kesehatan di wilayah masing-masing. Jika instruksi dilanggar, kepala daerah bisa diberhentikan. Meski instruksi mendagri disambut baik, pemberhentian jangan dipolitisasi. Langkah edukasi protokol kesehatan di masyarakat perlu kembali digalakkan.
Menyikapi keputusan Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto mengatakan, sudah menjadi tanggung jawab kepala daerah untuk menjaga ketertiban dan melindungi segenap warga. Maka, tanpa ada instruksi dari Mendagri pun hal itu akan dilaksanakan.
Menurut Bima, instruksi Menteri Tito merupakan itikad baik, tetapi harus juga dipahami bahwa kepala daerah tak bisa bekerja sendiri. Kepala daerah harus disokong unsur lain, seperti TNI dan Polri yang memiliki kapasitas untuk perlindungan, pengawasan, atau penindakan, terkait dengan menjaga keamanan dan ketertiban semua.
”Satpol PP, kan, juga terbatas. Saya punya satpol PP tidak lebih dari 200 personel, kemudian tidak punya senjata dan lain-lain. Artinya, apabila skala massa melebihi itu, ya, tentu tak bisa bekerja sendiri. Harus bersama-sama dengan lain. Jadi, untuk keamanan, ketertiban kesehatan itu tanggung jawab bersama. Demikian juga dari unsur TNI-Polri,” tutur Bima, Kamis (19/11/2020).
Dalam instruksi mendagri dari Tito, jika instruksi dilanggar, kepala daerah bisa diberhentikan. Menurut Bima, kepala daerah tidak bisa begitu saja diberhentikan meski dalam instruksi mendagri telah diatur.
”Prosesnya cukup panjang dan harus ada pembuktian. Kenapa? Agar tidak ada politisasi. Jadi, tidak seperti di zaman dulu, misalnya, ketika kepala daerah ditunjuk langsung bisa dicopot, sekarang, kan, tidak. Artinya, kepala daerah bertugas melindungi dan menjamin ketertiban seluruh warga. Namun, harus dibedakan ketika dianggap melanggar protokol kesehatan itu. Tidak begitu saja tiba-tiba karena ada kerumunan dibiarkan dan diberhentikan, kan, tidak bisa. Kita memiliki ikhtiar yang sama untuk menangani pandemi Covid-19,” kata Bima.
Bima melanjutkan, pihaknya saat ini tidak hanya selalu berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah di sekitarnya, tetapi juga berkolaborasi langsung dengan TNI dan Polri. Hal itu ditunjukkan dengan membentuk tim elang sebagai tim pengawas protokol kesehatan yang melibatkan langsung TNI, Polri, satpol PP, sukarelawan pemuda, dan organisasi masyarakat. Selanjutnya ada tim merpati sebagai tim edukasi yang berisi sukarelawan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Majelis Ulama Indonesia, dan Forum Kerukunan Umat Beragama.
”Data menunjukkan tingkat penularan di tempat-tempat umum, yang selama ini menjadi bagian dari obyek pengawasan tim elang, sangat minim. Justru tingkat penularan tinggi ada di keluarga dan perkantoran. Jadi, saya melihat tim elang memiliki andil untuk menekan penularan di tempat-tempat umum yang bisa menimbulkan keramaian,” tutur Bima.
Dari tim elang dan tim merpati, Bima mengingatkan, ketegasan penindakan harus disertai dengan langkah pencegahan, seperti edukasi kepada publik. ”Kalau ketegasan tanpa edukasi, itu kezaliman. Makanya, menurut saya, perlu memadukan antara preventif dan kegiatan law enforcement (penegakanhukum),” kata Bima.
Diberitakan sebelumnya, instruksi itu tertuang dalam Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 yang terbit pada Rabu (18/11/2020).
Di dalamnya tertera tiga instruksi Mendagri. Selain meminta kepala daerah menegakkan secara konsisten protokol kesehatan Covid-19, juga tertera permintaan mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencegah penularan Covid-19. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara humanis. Adapun penindakan, termasuk pembubaran kerumunan, dilakukan secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir.
Instruksi ketiga, kepala daerah harus menjadi teladan, termasuk tidak ikut dalam kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan.
Di butir selanjutnya, Mendagri mengingatkan kepala daerah yang melanggar aturan perundang-undangan, terutama terkait penanganan Covid-19, dapat diberhentikan. Sanksi ini mengacu pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Pasal 78 UU Pemda berisi sanksi pemberhentian bagi kepala daerah-wakil kepala daerah yang tak menaati ketentuan perundang-undangan. Ketentuan yang dimaksud termasuk soal penegakan protokol kesehatan yang tak hanya tertuang dalam undang-undang, tetapi juga peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Dalam rapat dengan Komisi II DPR, di Jakarta, Rabu, Tito menyampaikan, instruksi itu diterbitkan karena melihat belakangan ini masih terjadi kerumunan orang yang melanggar protokol kesehatan di sejumlah daerah. Dihadapkan pada persoalan tersebut, kepala daerah seolah-olah tak mampu menanganinya. Instruksi juga diterbitkan sebagai tindak lanjut arahan Presiden Joko Widodo saat rapat terbatas kabinet, Senin lalu.