Koordinasi dan Tindakan Tegas Diharapkan Saling Melengkapi
Setelah banyaknya pelanggaran protokol kesehatan, selain tindakan tegas protokol kesehatan, Polri juga diharapkan jalin koordinasi dengan kepala daerah. Keberhasilan penerapan protokol bergantung juga pada koordinasinya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain melakukan tindakan tegas dalam penerapan protokol kesehatan, Kepolisian Negara Republik Indonesia diharapkan menjalin koordinasi yang baik dengan kepala daerah. Sebab, keberhasilan penerapan protokol kesehatan juga bergantung dari pimpinan di setiap instansi.
Berbarengan dengan pencopotan dua kepala kepolisian daerah (Kapolda), yakni Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menerbitkan surat telegram rahasia (TR) bernomor ST/3220/XI/KES.7./2020 yang memerintahkan agar setiap kepala satuan wilayah bertindak tegas menerapkan protokol kesehatan. Bagi yang tidak mampu melaksanakannya, Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis akan melakukan evaluasi dan memberikan sanksi.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, Kamis (19/11/2020), mengatakan, aturan mengenai protokol kesehatan Covid-19 sebenarnya sudah cukup jelas dan dijabarkan secara detail. Untuk pelaksanaannya mestinya tidak perlu menunggu arahan dari Presiden atau pimpinan lembaga, seperti Kapolri atau Menteri Dalam Negeri.
”Saya melihat dinamika politik di Indonesia memengaruhi juga dalam penerapan protokol kesehatan dan aturan perundang-undangan tentang kesehatan sehingga ada ruang yang justru terbuka untuk toleransi atau penyimpangan,” kata Poengky.
Saya melihat dinamika politik di Indonesia memengaruhi juga dalam penerapan protokol kesehatan dan aturan perundang-undangan tentang kesehatan sehingga ada ruang yang justru terbuka untuk toleransi atau penyimpangan.
Berdasarkan rangkaian peristiwa pelanggaran kesehatan yang berakibat pada pencopotan dua kapolda, lanjut Poengky, hal itu menunjukkan koordinasi antara pimpinan daerah dan kepala satuan wilayah dari kepolisian tidak berjalan dengan baik. Kapolda harusnya mampu berkoordinasi dengan pemerintah daerah sehingga dapat membantu pemerintah daerah untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Menurut Poengky, terbitnya surat telegram tersebut memperlihatkan bahwa di satu sisi anggota Polri membutuhkan arahan karena takut salah. Di sisi lain inisiatif untuk melakukan tindakan preventif dan preemtif dalam penegakan hukum kurang maksimal.
”Padahal, polisi punya kewenangan diskresi. Seharusnya bisa melaksanakan tanpa perlu tunggu perintah dari Kapolri,” ujar Poengky.
Secara terpisah, Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane berpandangan selama ini sikap pemerintah ataupun Polri mendua dalam menyikapi kerumunan massa yang dinilai melanggar protokol kesehatan. Sebab, sebelum terjadinya peristiwa kerumunan massa terkait Rizieq Shihab, telah terjadi pula beberapa kali peristiwa kerumunan massa di banyak tempat.
”Baru setelah Presiden Joko Widodo berteriak, maka diikuti dengan pencopotan dua kapolda. Harusnya Kapolri yang bertanggung jawab soal itu,” kata Neta.
Menurut Neta, sebenarnya Maklumat Kapolri yang telah dikeluarkan Kapolri sebanyak dua kali sudah cukup menjadi dasar bagi anggota Polri untuk bertindak tegas dalam penerapan protokol kesehatan Covid-19. Namun, selama ini unsur yang tergabung di dalam satuan tugas (satgas) penanganan Covid-19 di daerah tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, kerumunan massa terjadi di banyak wilayah.
Terkait dengan kerumunan massa yang terjadi terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, Neta berharap agar Polri tidak membeda-bedakan. Meskipun dalam konteks Pilkada 2020 terdapat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Polri tidak bisa melemparkan tanggung jawab kepada Bawaslu.
”Karena inti permasalahannya adalah kerumunan massa yang terbiarkan. Soal pilkada ada KPU dan Bawaslu, tetapi soal kerumunan massa itu urusannya polisi,” ujar Neta.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono, pilkada telah diatur UU, instruksi presiden (inpres), hingga ke peraturan turunan. Maklumat Kapolri juga terkait dengan Pilkada 2020.
Hal itu dilaksanakan jajaran Polri dengan melakukan patroli bersama dengan TNI, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya melalui operasi yustisi. Melalui surat telegram tersebut, Kapolri memerintahkan agar kepala satuan wilayah bertindak tegas terhadap pelaku pelanggar protokol kesehatan.
”Kalau ada pihak-pihak atau orang yang tidak jelas, kemudian melakukan pengancaman dengan dalih adanya kerumunan-kerumunan, ya, kita pakai aturan tadi,” kata Awi.
Klarifikasi
Penyidik dari Badan Reserse Kriminal Polri, Polda Metro Jaya, dan Polda Jabar telah melakukan klarifikasi terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan di Jakarta. Terkait dengan kerumunan massa di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, penyidik berencana memanggil 10 orang untuk diklarifikasi pada Jumat (20/11/2020).
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, penyidik dari Badan Reserse Kriminal Polri, Polda Metro Jaya, dan Polda Jabar telah melakukan klarifikasi terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan di Jakarta. Terkait dengan kerumunan massa di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, penyidik berencana memanggil 10 orang untuk diklarifikasi pada Jumat (20/11/2020).
Kesepuluh orang yang akan diklarifikasi itu adalah Kepala Desa Sukagalih Megamendung, Ketua RW 003, Camat Megamendung, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Daerah Bogor, dan panitia dari Front Pembela Islam. Kemudian akan dipanggil pula Kepala Desa Kuta, Ketua RT 001, Bupati Kabupaten Bogor, Sekretaris Kabupaten Bogor, dan anggota Babinkamtibmas. Namun, karena Bupati Bogor positif terinfeksi Covid-19, akan dijadwalkan ulang.
Awi menambahkan, penyidik Polda Metro Jaya telah memanggil 13 orang untuk diminta klarifikasi. Di antaranya Gubernur DKI Jakarta yang diperiksa sembilan jam dengan menjawab 33 pertanyaan, Wali Kota Jakarta Pusat yang diperiksa 13 jam dengan menjawab 45 pertanyaan. Selain itu, diklarifikasi pula Kasatpol PP DKI Jakarta yang diperiksa 12 jam dengan menjawab 43 pertanyaan.