Waspadai ”Panen” Restriksi Pangan
Proteksionisme akan berlanjut pada 2022 dan meningkat dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini akan memperburuk risiko ketahanan pangan bagi yang paling rentan di dunia.
Restriksi pangan kian marak di tengah ancaman kenaikan inflasi pangan dan energi global. Anomali cuaca, perlindungan petani dan konsumen, perang, serta upaya memerangi kartel menjadi alasan utama memproteksi perdagangan.
Sejumlah negara yang melakukan restriksi itu, di antaranya Rusia, Ukraina, Indonesia, India, Malaysia, Argentina, Serbia, dan Kazakhstan. Negara-negara tersebut membatasi ekspor sejumlah komoditas pangan untuk sementara waktu.
Setelah membatasi ekspor gandum, India membatasi ekspor sekitar 10 juta ton gula ke pasar internasional. Tujuannya untuk memastikan ketersediaan stok dan mengendalikan harga pangan menyusul gelombang panas yang menerpa negara tersebut.
Kendati begitu, India tetap membuka ekspor kedua komoditas tersebut ke sejumlah negara rentan. Pemerintah India akan mengontrol persetujuan ekspor melalui izin khusus untuk setiap pengiriman gula ke luar negeri pada 1 Juni-31 Oktober 2022.
Malaysia juga akan menghentikan ekspor 3,6 juta ayam selama sebulan mulai 1 Juni 2022. Langkah itu diambil untuk mengatasi kekurangan stok dan kenaikan harga daging ayam di dalam negeri. Kekurangan stok dan kenaikan harga tersebut diduga tidak hanya akibat dampak kenaikan harga pakan dan cuaca, tetapi juga kartel. Kebijakan larangan itu akan dibarengi dengan penyelidikan dugaan kartel.
Kekurangan stok dan kenaikan harga tersebut diduga tidak hanya akibat dampak kenaikan harga pakan dan cuaca, tetapi juga kartel.
Sebelumnya, Indonesia melarang ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan sejumlah produk turunannya pada 28 April-23 Mei 2022. Kendati kebijakan itu telah dicabut, minyak goreng beserta bahan bakunya itu tidak serta-merta langsung bisa diekspor.
Hal tersebut terjadi lantaran Indonesia kembali menerapkan kebijakan memasok kebutuhan pasar domestik (DMO) CPO dan sejumlah produk turunannya sebesar 20 persen dari total ekspor masing-masing eksportir. Langkah itu guna memastikan ketersediaan stok dan mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri.
Baca juga: Pemerintah Akan Berlakukan DMO CPO dan Tiga Produk Turunan Sebesar 20 Persen
Negara-negara lain, seperti Serbia dan Kazhakstan, mengambil langkah serupa. Kedua negara itu memberlakukan kuota pada ekspor biji-bijian. Adapun Argentina melarang ekspor daging sapi sejak Mei 2022 untuk meredam lonjakan inflasi yang pada 2021 mencapai 50,9 persen. Kendati mulai melonggarkan ekspor, negara pengekspor daging sapi nomor lima dunia itu masih melarang ekspor tujuh jenis daging sapi potong.
Kondisi tersebut akan semakin memperburuk rantai pasok pangan dan mendorong kenaikan inflasi global. Apalagi perang Rusia-Ukraina masih berlanjut. Kedua negara bekas Soviet tersebut juga membatasi ekspor pangan sejak 31 Maret 2022.
Rusia membatasi ekspor gandum, pupuk, dan menangguhkan sebagian ekspor gula. Rusia juga melarang ekspor biji bunga matahari pada April-Agustus 2022 dan memberlakukan kuota ekspor minyak bunga matahari untuk mengurangi kenaikan harga domestik.
Adapun Ukraina telah melarang ekspor bahan makanan pokok, termasuk gandum dan oat, untuk memastikan kebutuhan makanan mencukupi bagi rakyatnya. Kendati jalur logistik terhambat akibat perang, Ukraina masih berupaya mengekspor minyak goreng dari biji bunga matahari.
Mengurai proteksionisme
Kepala Analis Bidang Komoditas Fitch Solutions, Sabrin Chowdhury, mengatakan, sekitar 30 negara telah membatasi ekspor pangan, energi, dan sejumlah komoditas utama yang dibutuhkan dunia sejak dimulainya perang Rusia-Ukraina. Ini merupakan bentuk proteksionisme pertanian pada tingkat tertinggi sejak krisis harga pangan pada 2007-2008.
”Proteksionisme pasti akan berlanjut pada 2022 dan meningkat dalam beberapa bulan mendatang sehingga akan memperburuk risiko ketahanan pangan bagi yang paling rentan di dunia,” katanya (Bloomberg, 24 Mei 2022).
Proteksionisme pasti akan berlanjut pada 2022 dan meningkat dalam beberapa bulan mendatang sehingga akan memperburuk risiko ketahanan pangan bagi yang paling rentan di dunia.
Baca juga: Waspadai Inflasi Tinggi Tahun Ini
Sementara International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebutkan, sejak invasi pertama Rusia atas Ukraina pada 24 Februari 2022, jumlah negara yang membatasi ekspor bertambah dari tiga negara menjadi 16 negara per awal April 2022. Pembatasan ekspor pangan itu mewakili 17 dari total kalori yang diperdagangkan secara global.
Dampaknya tidak hanya ke negara-negara miskin yang berpotensi kekurangan pasokan pangan dan menanggung kenaikan harga pangan. Negara-negara maju atau kaya juga turut terimbas.
Fitch Solutions menunjukkan, hampir 10 juta orang Inggris mengurangi makanan pada April 2022 di tengah krisis biaya hidup. Banyak restoran di Amerika Serikat mengecilkan ukuran porsinya. Adapun di Perancis, pemerintah akan mengeluarkan voucer makanan untuk rumah tangga rentan.
Baca juga: Harga Pangan Dunia Kian Melambung Tinggi
Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan, semakin terpecah-pecah akibat perang dan proteksionisme di tengah tantangan pandemi Covid-19 dan perubahan iklim, setiap negara kini dihadapkan pada fragmentasi geoekonomi.
”Hanya kerja sama internasional yang dapat mengatasi masalah global yang mendesak, seperti memperbaiki kekurangan makanan dan produk lainnya, menghilangkan hambatan pertumbuhan, dan menyelamatkan iklim kita,” kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam IMFBlog.
Hanya kerja sama internasional yang dapat mengatasi masalah global yang mendesak, seperti memperbaiki kekurangan makanan dan produk lainnya, menghilangkan hambatan pertumbuhan, serta menyelamatkan iklim kita.
Dalam sejumlah sesi Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2022 di Davos, Swiss, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menekankan pentingya kerja sama intrakawasan dan antarkawasan untuk menghadapi berbagai tantangan global, termasuk inflasi. Sistem perdagangan multilateral yang mulai luntur perlu kembali ditingkatkan dan dibenahi guna memerangi proteksionisme.
Ia mencontohkan, Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) bisa menjadi salah satu solusi. Melalui kerja sama itu, perdagangan berbasis rantai nilai serta pasok pangan dan energi dapat dilakukan antarnegera peserta.
Baca juga: Peran Sentral ASEAN Diperkuat Hadapi Ketidakpastian Ekonomi Global
Dalam salah satu panel diskusi bertema ”The Biggest Trade Deal in the World”, Lutfi juga menyampaikan dampak positif kenaikan harga pangan dunia terhadap negara berkembang. Tingginya harga komoditas dunia saat ini adalah peluang bagi para petani di negara-negara berkembang besar, seperti Indonesia, India, Brasil, dan China, untuk menikmati keuntungan lebih.
”Ini merupakan ekuilibrium baru dalam perdagangan komoditas pangan dunia. Biarkan harga pangan tinggi saat ini agar menjadi sinyal bagi petani dan peternak di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, meningkatkan produksi. Nantinya, harga pangan akan turun dengan sendirinya karena pasokan melimpah,” ujarnya melalui siaran pers, Jumat (27/5/2022). (REUTERS)