Pemerintah Akan Berlakukan DMO CPO dan Tiga Produk Turunan Sebesar 20 Persen
Kementerian Perdagangan berencana menerapkan DMO CPO dan tiga produk turunannya sebesar 20 persen. Sementara itu, petani sawit meminta pemerintah menjamin harga tanda buah segar kembali membaik.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah pencabutan larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan sejumlah produk turunannya, pemerintah akan memberlakukan kembali kewajiban memasok kebutuhan pasar di dalam negeri atau DMO. Besaran DMO bagi CPO dan tiga produk turunannya itu direncanakan akan ditentukan sebesar 20 persen.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Jumat (20/5/2022), mengatakan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) saat ini tengah menyusun peraturan baru tentang ekspor CPO sekaligus pencabutan larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya. Salah satunya adalah terkait kebijakan DMO beserta mekanisme pengawasan dan sanksinya.
Kebijakan DMO bisanya mengatur kuota atau volume yang wajib dipenuhi dan harga patokannya di dalam negeri. Namun, bisa juga hanya diatur DMO-nya. Saat ini regulasinya tengah difinalisasi Kemendag bersama pemangku kepentingan terkait.
”Sementara ini, baru kuota DMO dan komoditasnya yang sudah ditentukan. Kuota DMO itu sebesar 20 persen dari total volume ekspor setiap eksportir. Komoditas yang akan dikenakan DMO itu adalah CPO; refined, bleached, and deodorized (RBD) palm oil; RBD palm olein, dan used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah,” kata Lutfi ketika dihubungi di Jakarta.
Kebijakan DMO itu, lanjut Lutfi, bertujuan untuk menjaga pasokan 10 juta ton minyak goreng. Jumlah itu terdiri dari 8 juta ton untuk pasar dalam negeri dan 2 juta ton untuk stok atau cadangan.
Kuota DMO itu sebesar 20 persen dari total volume ekspor setiap eksportir. Komoditas yang akan dikenakan DMO itu adalah CPO, RBD palm oil, RBD palm olein, dan UCO.
Pada 19 Mei 2022, Presiden Joko Widodo mencabut larangan sementara ekspor CPO dan tiga komoditas turunannya. Larangan itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO; RBD palm oil; RBD palm olein; dan UCO. Dengan pencabutan larangan itu, ekspor komoditas-komoditas tersebut akan mulai bergulir kembali pada Senin (23/5/2022).
Semula pemerintah akan mencabut larangan itu setelah harga minyak goreng curah di dalam negeri sesuai yang ditargetkan pemerintah, yakni Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram. Namun, hingga kini, harga rata-rata nasional minyak goreng curah masih di kisaran Rp 17.000 per liter.
Menurut Lutfi, selama larangan ekspor itu berlangsung, pasokan minyak goreng curah di dalam negeri melonjak sangat signifikan. Stok minyak goreng itu pada Maret 2022 hanya 64.626,52 ton atau setara 33,2 persen dari kebutuhan nasional 194.634 ton per bulan. Setelah larangan itu, pasokannya menjadi 211.638,65 ton atau melonjak 108,74 persen dari kebutuhan nasional.
Sejak pelarangan sementara ekspor CPO dan produk turunannya diberlakukan pada 28 April 2022, Kemendag bersama Kementerian BUMN dan swasta mengulirkan minyak goreng curah tanpa subsidi seharga Rp 14.000 per liter. Program Minyak Goreng Rakyat ini sudah digulirkan di 2.000 titik di sejumlah daerah di Indonesia dan akan dilanjutkan hingga mencapai 10.000 titik.
”Saat ini harga minyak goreng curah berangsur turun menuju harga keterjangkauan. Hal tersebut seiring dengan pasokan minyak goreng yang semakin berlimpah serta pendistribusian minyak goreng bersubsidi dan tanpa subsidi,” paparnya.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengapresiasi pencabutan larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunan. Namun, kedua asosiasi yang bergerak di sektor hulu sawit itu memberikan sejumlah masukan.
Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto mengatakan, setelah pencabutan larangan ekspor itu, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit bisa kembali membaik di rentang Rp 2.500-Rp 3.700 per kg. Namun, pencabutan larangan itu tidak akan seketika memacu kenaikan harga TBS.
Hal itu terjadi lantaran banyak TBS dan CPO yang masih menumpuk selama larangan ekspor berlangsung. Di samping itu, sejumlah negara juga telah mengalihkan pembelian CPO dan produk turunannya dari Indonesia ke Malaysia atau negara-negara lain penghasil sawit.
”Kami khawatir, negara-negara importir itu melakukan kontrak jangka panjang lantaran belum mengetahui kapan Indonesia mencabut larangan ekspor CPO dan produk turunannya. Mempertimbangkan hal itu, harga TBS sawit di tingkat petani bisa-bisa baru pulih sebulan pasca-pencabutan larangan,” ujarnya.
Pencabutan larangan itu tidak akan seketika memacu kenaikan harga TBS. Hal itu terjadi lantaran banyak TBS dan CPO yang masih menumpuk selama larangan ekspor berlangsung.
Oleh karena itu, lanjut Darto, pencabutan larangan itu harus diikuti dengan pengawasan pembentukan harga TBS oleh pemerintah daerah. Namun, pengawasan itu akan sulit dilakukan mengingat permainan harga TBS masih akan berlangsung dengan alasan CPO belum atau tidak bisa segera diekspor.
Sebelumnya, larangan ekspor CPO menyebabkan harga TBS di tingkat petani anjlok di bawah harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga terendah TBS yang dicatat oleh SPKS Rp 1.400 per kg.
Sementara itu, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menuturkan, pencabutan larangan ekspor CPO akan menggairahkan kembali perdagangan sawit di dalam negeri dan luar negeri. Melalui Gapki, importir India dan Pakistan juga mengapresiasi pencabutan larangan tersebut.
”Apabila ekspor sudah berjalan, pembelian TBS sawit pasti akan kembali berjalan normal. Harganya juga akan membaik selama harga CPO global tinggi dan masih ada kekurangan pasokan CPO global,” tuturnya.
Kebijakan DMO yang kembali diterapkan sangat kompleks dan berpotensi gagal seperti sebelumnya.
Terkait kebijakan DMO, Joko menilai, penerapan kebijakan tersebut sangat kompleks dan berpotensi gagal seperti sebelumnya. Jika kebijakan itu tetap akan diterapkan untuk menjaga pasokan bahan baku minyak goreng di dalam negeri, pemerintah sebaiknya tidak mematok harga DMO. Serahkan saja harga patokan DMO itu ke mekanisme pasar.
”Pemerintah juga telah menaikkan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya. Pemerintah juga telah menyediakan minyak goreng curah bersubsidi menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Lebih baik pemerintah fokus terhadap kedua kebijakan ini saja,” kata Joko.
Joko juga menyatakan, sejak kebijakan DMO diterapkan hingga ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya dilarang, ekspor komoditas-komoditas itu banyak yang dibatalkan dan ditunda. Sebagian besar eksportir Indonesia juga merenegosiasi kontrak-kontrak pembelian dengan importir. Bahkan beberapa di antaranya bisa terkena denda lantaran pembatalan atau penundaan pengiriman.