Larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah telah berdampak menekan petani. Kebijakan itu juga bakal mengurangi serapan pekerja, pungutan ekspor, bea keluar, dan devisa
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Larangan sementara ekspor minyak kelapa sawit mentah dan sejumlah produk turunannya membuat sektor hulu sawit semakin terjepit. Penentuan harga tandan buah segar kelapa sawit semakin liar, sementara kapasitas penyimpanan pabrik pengolahan sawit semakin terbatas.
Kondisi tersebut menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani turun dan pabrik pengolahan mengurangi pembelian TBS. Ekspor ilegal atau penyelundupan minyak goreng juga mulai terjadi. Di sisi lain, harga minyak goreng tak kunjung menyentuh harga eceran tertinggi (HET) yang ditentukan pemerintah sebesar Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram (kg).
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono, Jumat (13/5/2022), mengatakan, larangan sementara ekspor minyak goreng beserta bahan bakunya itu memang menyebabkan harga jual TBS sawit ke pabrik kelapa sawit turun. Pabrik-pabrik tersebut telah mengurangi pembelian TBS dari petani atau mengurangi panen TBS karena tangki penyimpanan CPO sudah mulai penuh.
”Di hilir, pabrik pengolahan CPO dan produk turunannya yang berorientasi ekspor mulai mengurangi pembelian CPO dari pabrik kelapa sawit untuk mengantisipasi tangki penyimpanan yang mulai penuh. Mereka juga mengurangi produksi 30-40 persen dari total kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Pabrik-pabrik kelapa sawit telah mengurangi pembelian TBS dari petani atau mengurangi panen TBS karena tangki penyimpanan CPO sudah mulai penuh.
GAPKI juga telah membuat analisis dampak larangan sementara ekspor CPO dan menyampaikannya ke pemerintah. GAPKI merinci dampak larangan itu dalam tiga periode waktu, yaitu 1-2 minggu, 1-3 bulan, dan di atas 3 bulan.
Analisis itu menunjukkan, larangan ekspor berdampak pada penurunan harga TBS di tingkat petani serta pengurangan pembelian TBS dan kapasitas produksi. Selain itu, larangan ekspor juga akan berdampak pada pengurangan pekerja, pungutan ekspor, bea keluar, dan devisa negara.
”Oleh karena itu, kami berharap pemerintah segera mengevaluasi dan mencabut kebijakan itu,” kata Eddy.
Larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya juga membuat Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) melayangkan pernyataan bersama ke pemerintah. Dalam surat pernyataan itu, mereka menjabarkan enam kondisi hulu sawit beserta solusinya.
Beberapa di antaranya adalah menjadikan larangan ekspor CPO sebagai momentum pembenahan perkebunan sawit, baik terkait pembentukan kelembagaan pekebun maupun integrasi pabrik pengolahan dengan lembaga itu. Mereka juga meminta pembangunan pabrik pengolahan CPO mini yang dikelola oleh kelompok tani atau badan usaha milik desa.
Selain itu, pemerintah juga dipandang perlu mengawasi dan mengambil tindakan hukum yang tegas atas pelanggaran yang dilakukan pelaku industri sawit dari produsen CPO hingga tingkat pedagang. Hal itu terutama bagi mereka yang menentukan harga TBS sepihak tidak berdasarkan harga penetapan pemerintah dan harga CPO global.
Per 13 Mei 2022, harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia masih tinggi, yaitu 6.435 ringgit Malaysia per ton. Harga tersebut meningkat 2,31 persen secara bulan dan 51,65 persen secara tahunan.
Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto menuturkan, banyak perusahaan dan pedagang yang menentukan harga TBS tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah provinsi. Harga itu juga tidak mengacu pada harga CPO global.
”Di samping itu, ada sejumlah perusahaan yang masih tutup atau belum berproduksi setelah libur Lebaran. Hal itu menyebabkan harga TBS, terutama di tingkat petani mandiri, semakin turun, berkisar Rp 1.600-Rp 1.750 per kg. Harga tersebut jauh di bawah harga TBS di Malaysia yang sekitar Rp 5.000 per kg,” tuturnya.
Kebijakan pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya juga belum cukup signifikan menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (Kemendag), harga rata-rata nasional minyak goreng curah per 12 Mei 2022 Rp 17.400 per liter. Harga tersebut tak bergeser dari harga saat kebijakan pelarangan ekspor mulai diterapkan pada 28 April 2022.
Harga minyak goreng curah itu juga masih berada di atas HET yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 14.000 per liter. Pemerintah berencana mencabut larangan sementara ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya itu saat harga minyak goreng curah sudah sesuai HET.
Ada sejumlah perusahaan yang masih tutup atau belum berproduksi setelah libur Lebaran. Hal itu menyebabkan harga TBS, terutama di tingkat petani mandiri, semakin turun, berkisar Rp 1.600-Rp 1.750 per kg.
Kebijakan larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunan juga memicu penyelundupan minyak goreng ke negara lain. Bea Cukai bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) berhasil menggagalkan ekspor ilegal 81.000 liter minyak goreng dari Surabaya ke Timor Leste.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) sekaligus Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Veri Anggrijono mengatakan, eksportir minyak goreng tersebut tidak mencantumkan minyak goreng dalam dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB). Hal itu diketahui saat pengecekan di Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.
”Saat ini, pemerintah telah menyita minyak goreng itu dan terus berkoordinasi dengan pemangku kementerian/lembaga lain untuk mengawasi dan menindak para pelanggar hukum,” tuturnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (12/5/2022) malam.
Direktur Tertib Niaga Direktorat Jenderal PKTN Kemendag Sihard Hardjopan Pohan menambahkan, tindakan itu melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO; Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil; Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil. Melalui regulasi itu, minyak goreng beserta bahan bakunya telah ditetapkan sebagai barang yang dilarang untuk diekspor sejak 28 April 2022.
”Pelaku usaha yang melanggar ketentuan itu akan dikenai sanksi pidana paling lama lima tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 5 miliar. Sanksi itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 112 Ayat (1) juncto Pasal 51 Ayat (1),” katanya.
Sebelumnya, Tim Penyidik Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta menyita satu kontainer sepanjang 40 kaki atau sekitar 12 meter di Jakarta International Container Terminal (JICT) I Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (25/4/2022). Kontainer itu berisi 1.835 karton minyak goreng dalam kemasan botol yang akan diekspor ke Hong Kong.
Minyak goreng itu dijual dengan harga tiga kali lipat dari harga pembelian di dalam negeri. Tindakan itu diduga mengakibatkan kelangkaan minyak goreng kemasan di dalam negeri dan menimbulkan kerugian perekonomian negara (Kompas, 26 April 2022).