Tengkulak Semakin Tekan Harga TBS Petani Sawit Swadaya
Harga tandan buah segar (TBS) petani sawit swadaya semakin anjlok. Mereka tidak punya pilihan selain menjual TBS ke tengkulak, karena tidak terhubung langsung dengan pabrik.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tengkulak semakin menekan harga tandan buah segar atau TBS kelapa sawit di tingkat petani swadaya akibat imbas larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah dan sejumlah produk turunannya. Harga TBS yang biasanya sekitar 70-80 persen dari harga patokan di tingkat provinsi, saat ini turun menjadi 40-60 persen dari harga patokan tersebut.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan, praktik pembelian TBS sawit di tingkat petani oleh tengkulak sudah berlangsung lama. Biasanya selisih harga TBS tersebut berkisar 20-30 persen dari harga TBS yang dipatok oleh tim penetapan harga TBS tingkat provinsi.
“Lantaran kebijakan larangan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, gap harga TBS dengan harga patokan semakin besar, berkisar 40-60 persen. Petani sawit swadaya tidak punya pilihan lain mau menjual TBS kemana lagi selain ke tengkulak, karena tidak terhubung langsung dengan pabrik,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (8/5/2022).
Petani sawit swadaya tidak punya pilihan lain mau menjual TBS kemana lagi selain ke tengkulak, karena tidak terhubung langsung dengan pabrik.
SPKS mencatat, harga TBS di tingkat petani sawit swadaya di beberapa daerah anjlok dari harga tertinggi Rp 3.500 per kg menjadi Rp 1.400 per kg untuk harga terendah. Di tingkat petani plasma, harga TBS juga turun, tetapi masih di kisaran 2.000 per kg hingga Rp 3.000 per kg.
Mansuetus berharap agar kebijakan ini segera dievaluasi. Hal itu perlu dilakukan mengingatkan harga TBS biasanya akan turun sepekan sebelum Lebaran hingga beberapa hari setelah Lebaran. Jika larangan ini terus diberlakukan, harga TBS bisa semakin anjlok.
Ia juga meminta agar pemerintah memperkuat kelembagaan pekebun sawit swadaya sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018. Cara yang dapat dilakukan adalah membangun koperasi dan memfasilitasi kemitraan dengan perusahaan atau pabrik.
Selama ini fokus pemerintah lebih pada peremajaan kelapa sawit. Kelembagaan pekebun masih minim, sehingga petani masih bergantung pada tengkulak dan banyak perusahaan yang justru bermitra dengan tengkulak.
“Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dapat menyalurkan sebagian dana kelolaannya untuk membangun kelembagaan pekebun sawit. Dengan kelembagaan pekebun itu, petani sawit bisa memiliki daya tawar yang lebih kuat dan bermitra dengan perusahaan,” kata Mansuetus.
Berdasarkan data SPKS, kebun sawit rakyat seluas 6,7 juta hektar. Dari luasan itu, hanya sekitar 800.000 hektar yang dikelola petani swadaya yang bermitra dengan perusahaan.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) menilai penurunan harga TBS kelapa sawit di tingkat petani bukan akibat spekulasi pasar. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan harga TBS turun, seperti sentimen pasar terhadap kebijakan pemerintah dan periode Lebaran.
Seketaris Jenderal GAPKI Eddy Martono menuturkan, ada jarak waktu antara pengumaman larangan ekspor minyak goreng beserta bahan bakunya yang dilakukan Presiden Joko Widodo dengan detail bahan baku yang dimaksud dan diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Hal itu membuat pasar salah menangkap informasi.
Penurunan harga TBS terbesar terjadi di tingkat petani swadaya sawit, yaitu di kisaran Rp 1.000 per kg hingga Rp 1.500 per kg. Adapun pada petani sawit plasma, penurunan harga TBS relatif lebih sedikit, yaitu di kisaran Rp 300 per kg hingga Rp 400 per kg.
“Perbedaan penurunan harga TBS petani sawit swadaya dengan petani sawit plasma itu terjadi lantaran banyak petani sawit swadaya yang menjual TBS melalui pengepul. Belum adanya detail informasi larangan ekspor membuat khawatir para pengepul tidak mau membeli TBS petani. Hal itu membuat harga TBS turun,” katanya.
Menurut Eddy, penurunan harga TBS itu juga biasa terjadi pada masa mendekati Lebaran. Pabrik-pabrik pengolahan CPO dan produk turunannya biasanya mengurangi produksi dan bahkan tidak berproduksi selama libur Lebaran.
Mereka akan mengatur alokasi serapan TBS dari petani maupun pengepul tidak sebanyak dari masa produksi normal. Hal itu guna mengatasi lonjakan serapan TBS pada masa setelah Lebaran.
“Pada masa-masa tersebut risiko penurunan harga TBS masih ada. Namun dengan harga CPO global yang diperkirakan masih tinggi, penurunan harga TBS tidak akan terlalu besar,” ujarnya.
Penurunan harga TBS itu juga biasa terjadi pada masa mendekati Lebaran. Pabrik-pabrik pengolahan CPO dan produk turunannya biasanya mengurangi produksi dan bahkan tidak berproduksi selama libur Lebaran.
Per 28 April 2022, pemerintah melarang ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya untuk menjaga stok bahan baku dan harga minyak goreng di dalam negeri. Larangan itu berlaku hingga harga minyak goreng curah di pasar domestik sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, harga rata-rata nasional minyak goreng curah pada 6 Mei 2022 sebesar Rp 17.200 per liter. Harga tersebut turun tipis sebesar 1,15 persen dibandingkan harga saat larangan itu diberlakukan pada 28 April 2022 yang sebesar Rp 17.400 per liter.