Setelah dilarang sejak April 2022, ekspor minyak goreng kembali akan dibuka pada 23 Mei 2022 pekan depan. Meskipun ekspor dibuka, pemerintah akan memastikan pasokan tetap terpenuhi dengan harga terjangkau.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan membuka kembali ekspor minyak goreng pada Senin, 23 Mei 2022. Kondisi pasokan dan harga minyak goreng saat ini serta adanya 17 juta orang tenaga kerja di industri sawit menjadi pertimbangan. Pemerintah akan tetap mengawasi dan memantau secara ketat untuk memastikan pasokan tetap terpenuhi dengan harga terjangkau.
”Berdasarkan kondisi pasokan dan harga minyak goreng saat ini, serta mempertimbangkan adanya 17 juta orang tenaga di industri sawit, baik petani, pekerja, maupun juga tenaga pendukung lainnya, maka saya memutuskan bahwa ekspor minyak goreng akan dibuka kembali pada Senin, 23 Mei 2022,” kata Presiden Joko Widodo saat menyampaikan keterangan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/5/2022).
Meskipun ekspor dibuka, pemerintah akan tetap mengawasi dan memantau dengan ketat, untuk memastikan pasokan tetap terpenuhi dengan harga terjangkau. ”Dan, pada kesempatan ini juga, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para petani sawit, atas pengertian dan dukungan terhadap kebijakan pemerintah yang diambil untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Berdasarkan kondisi pasokan dan harga minyak goreng saat ini, serta mempertimbangkan adanya 17 juta orang tenaga di industri sawit; baik petani, pekerja, maupun juga tenaga pendukung lainnya, maka saya memutuskan bahwa ekspor minyak goreng akan dibuka kembali pada Senin, 23 Mei 2022.
Sejak kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng diterapkan, lanjut Presiden, pemerintah terus memantau dan mendorong berbagai langkah-langkah untuk memastikan ketersediaan minyak goreng dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. ”Berdasarkan pengecekan langsung saya di lapangan dan juga laporan yang saya terima, alhamdulillah, pasokan minyak goreng terus bertambah,” ujarnya.
Kebutuhan nasional untuk minyak goreng curah kurang lebih sebesar 194.000 ton per bulan. Pada Maret 2022, sebelum dilakukan pelarangan ekspor, pasokan hanya mencapai 64.500 ton. Namun, setelah dilakukan pelarangan ekspor pada bulan April 2022, pasokan mencapai 211.000 ton per bulan atau melebihi kebutuhan nasional bulanan.
Selain itu juga terdapat penurunan harga rata-rata minyak goreng secara nasional. Pada April 2022, sebelum pelarangan ekspor, harga rata-rata minyak goreng curah nasional berkisar kurang lebih Rp 19.800. Namun, setelah adanya pelarangan ekspor, harga rata-rata nasional turun menjadi Rp 17.200 sampai Rp 17.600.
“Penambahan pasokan dan penurunan harga tersebut merupakan usaha bersama-sama kita, baik dari pemerintah, dari BUMN, maupun juga dari swasta. Walaupun memang ada beberapa daerah yang, saya tahu, harga minyak gorengnya masih relatif tinggi. Tapi, saya meyakini, dalam beberapa minggu ke depan, harga minyak goreng curah akan semakin terjangkau menuju harga yang kita tentukan, karena ketersediaannya semakin melimpah,” katanya.
Secara kelembagaan, pemerintah juga akan membenahi prosedur dan regulasi di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit agar terus disederhanakan dan dipermudah. Pembenahan dilakukan agar lebih adaptif dan solutif menghadapi dinamika pasokan dan harga minyak dalam negeri sehingga masyarakat dapat dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya.
”Di sisi lain, mengenai dugaan adanya pelanggaran dan penyelewengan dalam distribusi dan produksi minyak goreng, saya juga telah memerintahkan aparat hukum kita untuk terus melakukan penyelidikan dan memproses hukum para pelakunya. Saya tidak mau ada yang bermain-main, yang dampaknya mempersulit rakyat, merugikan rakyat,” kata Presiden Jokowi.
Pengendalian harga
Ketika dimintai pandangan terkait keputusan Presiden Jokowi membuka kembali ekspor minyak goreng, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan bahwa seharusnya ekspor CPO (minyak sawit mentah) juga segera dibuka. Kebijakan pengendalian harga minyak goreng lewat stop ekspor total seluruh produk CPO dinilai kesalahan fatal.
”Harga minyak goreng di level masyarakat masih tinggi. Petani sawit dirugikan dengan harga TBS (tandan buah segar) anjlok karena oversupply CPO di dalam negeri. Kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp 6 triliun, belum ditambah dengan tekanan pada sektor logistik perkapalan yang berkaitan dengan aktivitas ekspor CPO,” kata Bhima.
Kehilangan devisa sudah telanjur cukup tinggi, imbas dari pelarangan ekspor CPO yang memengaruhi stabilitas sektor keuangan. Pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS di pasar spot sebesar 3 persen dalam sebulan terakhir salah satunya disumbang dari pelarangan ekspor.
”Collateral damage-nya sudah dirasakan ke berbagai sektor ekonomi. Harapannya kebijakan berbagai komoditas ke depannya tidak meniru pelarangan ekspor CPO yang tidak memiliki kajian matang. Cukup terakhir ada kebijakan proteksionisme yang eksesif seperti ini,” ujar Bhima.
Menurut Bhima, hal yang perlu ditatap ke depan adalah menyangkut bagaimana pemerintah dapat mengendalikan harga minyak goreng yang acuannya adalah mekanisme pasar. Pengusaha yang mengacu pada harga di pasar internasional dikhawatirkan menaikkan harga minyak goreng secara signifikan, khususnya minyak goreng kemasan.
Selama aturan minyak goreng boleh mengacu pada mekanisme pasar, maka harga yang saat ini rata-rata Rp 24.500 per liter di pasar tradisional dapat meningkat lebih tinggi. Ada tiga solusi yang, menurut Bhima, sebaiknya dilakukan oleh pemerintah segera setelah pencabutan larangan ekspor.
Pertama, menugaskan Bulog dan memberi kewenangan untuk mengambil alih setidaknya 40 persen dari total distribusi minyak goreng. ”Selama ini mekanisme pasar gagal mengatur marjin yang dinikmati para distributor minyak goreng. Bulog nantinya membeli dari produsen minyak goreng dengan harga wajar dan melakukan operasi pasar atau menjual sampai ke pasar tradisional,” kata Bhima.
Kedua, menghapus kebijakan subsidi ke minyak goreng curah dan mengganti dengan minyak goreng kemasan sederhana. Pengawasan minyak goreng kemasan jauh lebih mudah dibanding curah.
Ketiga, jika masalahnya adalah sisi pasokan bahan baku di dalam negeri, program biodisel harus mengalah. ”Target biodiesel harus segera direvisi dan fokuskan dulu untuk penuhi kebutuhan minyak goreng. Tentu tiga kebijakan ini butuh penyegaran pejabat pelaksana, salah satunya melalui reshuffle menteri yang selama ini gagal menyelesaikan masalah minyak goreng,” kata Bhima.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, permasalahan menyangkut minyak goreng selama ini ada di sisi hilir atau distribusi dari produsen ke konsumen. Hal ini menyebabkan minyak goreng yang disubsidi tidak efektif, harganya masih mahal atau justru langka.
”Respons kebijakan selama ini, mulai DMO apalagi sampai larangan ekspor, itu tidak menyentuh akar permasalahannya dan bahkan justru menciptakan masalah baru, yaitu petani rugi, bahkan terancam untuk kemudian berhenti produksi. Jadi, memang tidak tepat itu, menurut saya. Jadi, semestinya memang dicabut,” kata Faisal. (CAS)