Empat Varian Sikap Dunia Arab atas Perang Ukraina
Posisi dan sikap negara-negara Arab dalam perang Rusia-Ukraina saat ini dipengaruhi oleh kepentingan dan pola hubungan negara-negara Arab itu dengan dunia internasional.
Kepentingan dan pola hubungan negara-negara Arab dengan dunia internasional menentukan sikap negara-negara Arab tersebut dalam perang Rusia-Ukraina saat ini. Rusia melancarkan serangan militer ke Ukraina sejak 24 Februari lalu. Kemudian, segera disusul hantaman sanksi ekonomi AS dan Barat atas Rusia.
Setelah lebih dari satu bulan perang Rusia-Ukraina berkecamuk, setidaknya ada empat sikap negara-negara Arab dalam merespons perang Rusia-Ukraina tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing negara Arab itu.
Baca juga: Kepentingan Nasional Dulu, Bela Ukraina Kemudian
Pertama, Maroko yang mengambil sikap netral penuh. Maroko memilih tidak hadir dalam sidang Majelis Umum (MU) PBB pada 2 Maret lalu untuk voting suara mengecam keras serangan militer Rusia atas Ukraina itu. Keputusan negara di Afrika utara memilih tidak hadir itu untuk menghindari memberi suara mendukung, menolak, atau abstain yang memberi penafsiran sikap politik tertentu.
Dengan tidak hadir dalam sidang MU PBB itu, Maroko ingin mengirim pesan kepada dunia internasional, khususnya AS, Uni Eropa, dan Rusia, bahwa mereka netral dalam isu perang Ukraina. Bagi Maroko, kebijakan hubungan internasionalnya merujuk pada isu Sahara Barat yang kedaulatannya diperebutkan oleh Maroko dan Polisario (Gerakan Pembebasan Sahara Barat) sejak kolonial Spanyol hengkang dari wilayah tersebut pada 1975.
Sikap AS dan Rusia selama ini lebih mendukung sikap Maroko yang menginginkan memberi otonomi luas kepada wilayah Sahara Barat di bawah kedaulatan Maroko. Maroko tidak ingin sikap AS dan Rusia berubah atas isu Sahara Barat itu. Maroko sangat khawatir, jika Maroko mendukung salah satu pihak dalam perang Ukraina, pihak yang tidak didukung akan mengubah sikapnya dalam isu Sahara Barat yang lebih menguntungkan Polisario.
Sikap kedua, mendukung Rusia, seperti yang diambil Suriah dan Sudan. Sikap Suriah yang mendukung Rusia sudah diduga sejak awal karena Rusia telah menyelamatkan rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus dari kejatuhan dengan melakukan aksi militer ke Suriah—atas permintaan Damaskus—pada 2015.
Bahkan, rezim Presiden Assad tidak hanya mendukung Rusia secara politik, tetapi juga mengirim milisi bersenjata untuk membantu Rusia di Ukraina. Harian berbahasa Arab, Asharq al-Awsat, edisi 5 Maret 2022, mengungkap, para pialang perang di Suriah dengan menggunakan sandi ”Pangkalan Khmeimim” melakukan operasi perekrutan pemuda Suriah yang akan diterjunkan dalam perang Ukraina.
Baca juga: Dengan Iming-iming Gaji Rp 100 Juta, Milisi Suriah Dikerahkan ke Ukraina
Disebutkan, sudah sebanyak 23.000 pemuda Suriah yang mendaftar sebagai milisi bersenjata bayaran untuk membantu Rusia dalam perang di Ukraina. Sebanyak 23.000 pemuda Suriah tersebut berasal dari milisi yang tergabung dalam Batalyon Al-Bustan pimpinan Rami Makhluf, saudara sepupu Presiden Bashar al-Assad, dan Satuan Pertahanan Nasional yang dibentuk Iran pada 2012.
Adapun sikap Sudan yang mendukung Rusia karena pengaruh konflik perebutan kekuasaan dalam negeri Sudan antara junta militer dan kekuatan politik sipil sejak tumbangnya rezim Presiden Omar Hassan al-Bashir pada 11 April 2019. Junta militer pimpinan Letnan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, yang sedang memegang kekuasaan di Sudan saat ini, terus mendapat tekanan dari AS dan Uni Eropa agar berkomitmen menerapkan sistem demokrasi dan menyerahkan kekuasaan kepada sipil.
Baca juga: Jalur Neraka Timteng-Ukraina
Junta militer Sudan tampaknya kini membalas atas tekanan AS dan Uni Eropa tersebut dengan mendukung Rusia dalam perang Ukraina.
Sikap ketiga, sikap berimbang antara AS dan Rusia, seperti yang diambil Mesir dan Aljazair. Mesir mengambil sikap berimbang karena Mesir memiliki kepentingan besar dengan Rusia ataupun AS. Bagi Mesir, Rusia adalah sumber pasokan senjata yang penting sejak 1950-an. Meski sejak akhir 1970-an Mesir melakukan diversifikasi sumber pasokan senjata dengan berusaha mendapat pasokan senjata dari AS dan Perancis, Kairo tetap mempertahankan Rusia sebagai sumber pemasok senjatanya.
Baca juga: Mesir dan Krisis Ukraina, dari Gandum hingga Air
Mesir bahkan pada 2021 diberitakan telah mencapai kesepakatan dengan Moskwa untuk membeli pesawat tempur pengebom canggih Sukhoi SU-35 dari Rusia. Mesir pun menjadi negara pertama di Timur Tengah yang memiliki pesawat tempur pengebom Sukhoi SU-35.
Mesir juga mendapat bantuan dana dan teknologi dari Rusia untuk pembangunan reaktor nuklir untuk pembangkit listrik di El Dabaa, Mesir barat, senilai 28,75 miliar dollar AS. Rusia membantu 85 persen atau 25 miliar dollar AS dalam bentuk bantuan lunak selama 22 tahun dengan bunga 3 persen per tahun dan 15 persen sisanya dipikul Mesir sendiri untuk biaya pembangunan reaktor nuklir tersebut.
Baca: Mesir-Israel-UEA Bergandengan Tangan Hadapi Isu Ukraina dan Nuklir Iran
Sebaliknya, Mesir juga memiliki hubungan strategis dengan AS sejak tercapainya Kesepakatan Damai Israel-Mesir di Camp David tahun 1979. Sejak itu, Mesir mendapat bantuan gratis dari AS sebanyak 2,1 miliar dollar AS per tahun meski beberapa tahun terakhir ini bantuan tersebut berkurang menjadi 1,3 miliar dollar AS per tahun.
Mesir sejak itu juga menjadikan AS sebagai sumber utama pemasok senjatanya, menggantikan Rusia yang menjadi sumber utama pasokan senjata Mesir pada era 1950-an, 1960-an, dan awal 1970-an. Pesawat tempur canggih buatan AS, F-16, dan helikopter tempur Apache buatan AS kini menjadi tulang punggung Angkatan Udara Mesir. Mesir juga menggunakan tank M1 Abrams buatan AS untuk andalan angkatan daratnya. Bahkan, sebagian komponen utama tank M1 Abrams diproduksi di Mesir.
Adapun Aljazair sesungguhnya lebih dekat ke Rusia, baik secara politik maupun militer. Rusia sejak tahun 1960-an sampai saat ini menjadi sumber utama pasokan senjata Aljazair. Aljazair bahkan diberitakan sedang melakukan perundingan dengan Moskwa untuk mendapatkan pesawat tempur siluman tercanggih buatan Rusia, Sukhoi SU-57.
Baca juga: Senjata-senjata Penggertak Baru Rusia
Namun, Aljazair dalam dua dekade terakhir ini sangat butuh AS dalam kerja sama perang melawan Al-Qaeda Maghreb Arab (AQIM) yang banyak beroperasi di Aljazair bagian selatan yang berbatasan dengan Mali. AS dan Aljazair sering terlibat kerja sama tukar-menukar informasi intelijen tentang aktivitas AQIM dan bahkan terlibat operasi pasukan komando bersama melawan AQIM.
Bagi Aljazair, kerja sama dengan AS dalam menghadapi gerakan teroris, khususnya AQIM, merupakan hal yang strategis. Inilah yang memaksa Aljazair terpaksa mengambil sikap yang berimbang dalam isu perang Ukraina untuk menjaga hubungan dengan Rusia dan AS.
Sikap keempat, sikap negara-negara Arab kaya Teluk (Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab/UEA, Kuwait, Bahrain, dan Oman) yang mengambil sikap abu-abu sampai saat ini dan cenderung menguntungkan Rusia. Posisi negara-negara Arab Teluk mendadak sangat strategis di mata dunia dalam konteks berkecamuknya perang Rusia-Ukraina karena faktor minyak dan gas.
Baca juga: Arab Saudi dan Uni Emirat Arab Berani Lawan AS
Setelah AS dan Barat menjatuhkan sanksi ekonomi atas Rusia dengan melarang impor minyak dan gas dari Rusia, kini harapan tertuju pada kawasan Arab Teluk untuk menggantikan minyak dan gas Rusia. Ada pertarungan AS-Rusia untuk berebut pengaruh di kawasan Arab Teluk. AS telah menekan Arab Saudi dan UEA untuk menaikkan produksi minyak dalam upaya menstabilkan harga minyak. Namun, kedua negara Arab tersebut masih menolak tekanan AS.
Sampai saat ini, Rusia menang atas AS dalam isu minyak kawasan Arab Teluk karena UEA dan Arab Saudi menolak tekanan AS itu. Ini yang membuat harga minyak membubung tinggi melewat angka 100 dollar AS per barel pascaserangan militer Rusia ke Ukraina. Harga minyak tinggi itu tidak dikehendaki AS, tetapi diinginkan Rusia, Arab Saudi, dan UEA, serta negara-negara Arab Teluk lain. Dalam isu minyak, negara-negara Arab Teluk sampai saat ini cenderung memiliki sikap yang sama dengan Rusia.
Terkait dengan isu gas, AS dan Barat berharap Qatar menjadi salah satu sumber alternatif pasokan gas menggantikan gas Rusia. Ini yang membuat Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck mengunjungi Qatar pada Sabtu (19/3/2022) dalam upaya mencari sumber alternatif pasokan gas ke Jerman. Sampai saat ini, Jerman dan negara Eropa lain masih berunding dengan Qatar untuk mendapatkan jatah gas yang lebih besar dari negara Arab Teluk tersebut.