Kepentingan Nasional Dahulu, Bela Ukraina Kemudian
Dalam pemungutan suara di sidang Majelis Umum PBB ada tiga sikap, yakni menerima, mendukung, atau abstain. Tiap negara punya alasan memilih salah satunya.
Sejak perang Rusia-Ukraina meletus pada 24 Februari 2022, berbagai negara mendesak negara lain bersikap soal perang itu. Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga pembicaraan langsung di antara pejabat negara menjadi wahana pendesakan itu. Sebagian menolak desakan itu.
Indonesia, salah dari 141 pendukung resolusi Majelis Umum PBB yang mendesak Rusia mengakhiri serangan ke Ukraina, tidak lepas dari tekanan. Awalnya Indonesia ditekan untuk mengecam atau tidak mengecam serangan. Selanjutnya, Indonesia didesak untuk ikut menjatuhkan sanksi kepada Rusia, seperti dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya.
Meski mendukung resolusi yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 2 Maret 2022, Indonesia tetap tidak secara langsung mengecam Rusia. Indonesia konsisten mendesak perang dihentikan dan jalur kemanusiaan harus disediakan. Indonesia juga tidak ikut menjatuhkan sanksi.
Baca Juga: India Tolak Tekanan AS soal Rusia
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah menyebut, Indonesia selalu hanya menjalankan sanksi yang ditetapkan PBB. Indonesia tidak pernah ikut menjatuhkan sanksi yang ditetapkan secara unilateral oleh pihak mana pun.
Juru bicara Kemlu China, Zhao Lijian, menyatakan hal senada. China memilih mendorong penghentian kekerasan, penyediaan jalur kemanusiaan. Beijing mengecam keputusan sejumlah pihak memanaskan situasi dengan terus memasok senjata, alih-alih mendorong perundingan dan dialog. Beijing menolak ikut menjatuhkan sanksi yang ditetapkan secara unilateral.
India, salah satu sekutu AS sekaligus lawan China, menolak mengecam, apalagi menjatuhkan sanksi ke Rusia gara-gara perang di Ukraina. Perdana Menteri India Narendra Modi dan para pejabat India tetap menolak meski Presiden AS Joe Biden dan pejabat AS melobi secara langsung. Bahkan, Asisten Menlu AS bidang Asia Selatan dan Asia Tengah Donald Lu sampai mengancam menjatuhkan sanksi ke India yang terus akrab dengan Rusia. Ancaman Lu, yang diungkap dalam dengar pendapat Senat AS, tidak mengubah sikap New Delhi.
Dalam pertemuan Quad pada 3 Maret 2022, Modi keberatan jika pernyataan bersama aliansi itu dipakai untuk mengecam Rusia. Modi mau aliansi yang dibentuk bersama AS, Australia, dan Jepang itu fokus pada Indo-Pasifik saja.
Sikap politik
Dalam sidang Majelis Umum PBB pada 2 Maret 2022, Beijing dan New Delhi sama-sama abstain. Sejak PBB dibentuk, sidang majelis umum adalah salah satu ruang politik dalam relasi antarnegara. Berbagai riset telah menunjukkan bukti bahwa hasil pemungutan suara di Majelis Umum PBB dapat dipakai untuk mengukur kencenderungan politik luar negeri suatu negara atau kelompok negara. Forum juga itu menjadi satu-satunya wahana bagi berbagai negara untuk berlaku setara. Satu negara, satu suara. Besar atau kecil, maju atau berkembang, sama-sama hanya punya satu suara.
Hanya di forum itu pula, semua anggota PBB mendapat hak setara, selama telah memenuhi kewajiban sebagai anggota PBB, untuk menunjukkan sikapnya. Berbeda dengan organ dan badan lain di PBB. Dewan Keamanan PBB, misalnya, hanya bisa diikuti oleh paling banyak 15 anggota. Sementara ratusan negara lain tidak punya suara di forum DK PBB. Belum lagi fakta lima anggota DK PBB punya hak veto yang dapat membatalkan apa pun keputusan bersama yang sudah dibuat negara-negara lain. Kondisi itu jelas tidak berimbang dan dengan demikian sulit dijadikan alat ukur untuk memeriksa sikap anggota PBB atas suatu isu.
Baca Juga: Resolusi MU PBB Akomodasi Prioritas RI soal Dialog dan Jalur Kemanusiaan di Ukraina
Dalam pemungutan suara di Sidang Majelis Umum PBB ada tiga sikap, yakni menerima, mendukung, atau abstain. Absen atau tidak hadir dalam proses pemungutan suara sulit diukur sebagai sikap suatu negara. Sebab, ada banyak faktor yang menyebabkan negara anggota PBB tidak hadir dalam proses pemungutan suara di Majelis Umum PBB atau organ dan badan lain yang dibawahkan PBB.
Wakil negara bisa saja hadir di ruang sidang Majelis Umum PBB karena alasan yang tidak disengaja dan tidak terduga. Untuk sebagian negara, karena alasan finansial, bisa saja tidak menempatkan perwakilan tetapnya di New York, lokasi pemungutan suara Majelis Umum PBB.
Sebelum pandemi covid-19, pemungutan suara mensyaratkan perwakilan suatu negara hadir di ruang sidang Majelis Umum PBB. Jika tidak hadir, negara tersebut kehilangan hak suara dalam pemungutan suara di Majelis Umum PBB. Tidak hanya kehilangan suara dalam arti tidak bisa ikut pemungutan. Negara juga kehilangan kesempatan menyampaikan pendapatnya di ruang sidang Majelis Umum PBB jika tidak hadir di sana. Atas alasan-alasan itu, maka absen atau ketidakhadiran tidak dapat digolongkan sebagai sikap negara atas suatu isu.
Sementara abstain mensyaratkan kehadiran pemilik suara di tempat pemungutan suara. Hanya saja, pemilik suara memilih untuk tidak terikat dalam keputusan atau resolusi yang dibuat lewat pemungutan suara itu. Karena itu, pemilik suara memutuskan abstain dalam proses pemungutan suara. Bahkan, AS memandang abstain sebagai peluang perubahan kebijakan luar negeri suatu negara di masa-masa selanjutnya.
Latar sikap
Dalam sidang Majelis Umum PBB 2 Maret 2022, ada 35 negara abstain. China jelas tidak mungkin mendukung resolusi itu, sekaligus sulit juga menolak secara terbuka. Seperti disampaikan Zhao Lijian, prioritas Beijing adalah mendorong penyelesaian secara damai. China tidak melihat resolusi itu mendorong penyelesaian secara damai.
Tentu, ada alasan lain yang melatari sikap China. Pilihan ideologi membuat Beijing-Moskwa karib puluhan tahun. Kini, ekonomi lebih mengakrabkan mereka. Sejak 2007, China selalu menjadi mitra dagang utama Rusia dengan nilai rata-rata 116 miliar dollar AS per tahun. Moskwa menjual aneka bahan mineral, Beijing menjual aneka produk olahan.
Baca Juga: Sikap Indonesia dalam Krisis Ukraina Picu Perdebatan
China-Rusia aktif berkongsi melawan dominasi AS dan sekutunya. Berkali-kali sesama pemilik veto di PBB itu saling menggunakan hak tersebut untuk membela satu sama lain. Uni Soviet pernah memveto keputusan PBB tetap menerima wakil Taiwan alih-alih China.
Musuh China, India, juga memilih abstain dalam sidang 2 Maret. Bagi India, tidak ada kepentingan mengecam apalagi menjatuhkan sanksi pada Rusia gara-gara perang Ukraina.
Mantan diplomat India, Anil Triguniyat, mengatakan bahwa negaranya amat berkepentingan tetap netral dalam perang itu. Sebab, India harus mengevakuasi 20.000 warganya dari Ukraina gara-gara perang itu. ”Dalam situasi itu, amat penting untuk tidak berpihak demi memastikan keselamatan warga yang sedangd dievakuasi. Saluran komunikasi ke semua pihak harus tetap terbuka dan hanya mungkin dilakukan jika tidak memihak,” katanya sebagaimana dikutip BBC.
Kerja sama pertahanan dengan Moskwa menjadi alasan New Delhi abstain. Sebagaimana dilansir International Institute for Strategic Studies (IISS) dan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Rusia menjadi pemasok utama persenjataan India selama puluhan tahun.
Moskwa membantu New Delhi mengembangkan aneka persenjataan domestik. Berbagai rudal, sistem pertahanan udara, hingga kapal perang India dibangun dengan bantuan Uni Soviet dan dilanjutkan Rusia. India selalu masuk tiga besar tujuan ekspor senjata Rusia. Pasokan Rusia membuat India bisa mengimbangi China dan Pakistan, tetangga sekaligus musuh bebuyutannya. New Delhi sulit melupakan dukungan besar-besaran Washington, apa pun alasan dan latar belakangnya, pada Islamabad selama puluhan tahun.
Guru Besar Hubungan Internasional pada Jawaharhal Nehru University Sanjay Kumar Pandey menyebut New Delhi juga tidak pernah melupakan berkali-kali Uni Soviet menggunakan hak vetonya untuk melindungi India di PBB. Sebaliknya, sebagaimana dilaporkan antara lain Times of India dan Indian Express serta The Hindu, AS dan sekutunya bolak-balik pula menyasar India di PBB.
Baca Juga: NATO dan PBB Jadi Macan Kertas
India bisa diuntungkan jika sanksi ke Rusia diteruskan oleh AS dan sekutunya. Bloomberg melaporkan, Moskwa menawarkan potongan 25 persen dari harga acuan jika New Delhi mau membeli minyak Rusia. Meski belum diketahui bagaimana cara pengirimannya, karena India jauh dari Rusia, tawaran menarik. Moskwa dilaporkan mengundang investor India menanamkan modal ke Rusia selepas aneka sanksi dijatuhkan AS dan sekutunya.
Keuntungan ekonomi juga bisa didapat Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dalam perkembangan di Ukraina. Abu Dhabi dan Riyadh sama-sama abstain di sidang Majelis Umum PBB 2 Maret. Mereka sudah mendapat keuntungan seketika dari kenaikan harga minyak yang dipicu perang Ukraina. Bahkan, Abu Dhabi bisa mendapatkan keuntungan tambahan. Sebab, UEA dilaporkan menjadi tujuan pelarian aset Rusia yang diburu di berbagai negara Amerika, Asia, dan Eropa.
Abstain menjadi pilihan 17 negara Afrika. Wakil Tetap Uganda di PBB Adonia Ayebare menyebut bahwa negaranya harus netral karena akan segera menjadi Ketua Bergilir Gerakan Non-Blok. ”Netralitas adalah hal mutlak untuk jabatan itu,” ujarnya.
Kepala Staf Angkatan Darat Uganda Letnan Jenderal Muhoozi Kainerugaba malah bersikap lebih terbuka. Menurut dia, hampir seluruh bangsa yang tidak berkulit putih mendukung atau setidaknya memahami sikap Rusia. Adapun Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengatakan, resolusi Majelis Utama PBB tidak mendorong dialog dan penyelesaian konflik secara damai. Afsel, yang bersama Rusia membentuk BRICS, menyatakan tidak mungkin mendukung resolusi seperti itu.
Suriah, Belarus, Korea Utara, dan Eritria bergabung dengan Rusia menolak resolusi itu. Belarus, yang wakilnya bolak-balik absen di berbagai sidang MU PBB, jelas tidak mungkin mendukung resolusi itu. Sebagian serangan Rusia ke Ukraina dilancarkan dari Belarus.
Baca Juga: Tiga Juta Warga Mengungsi dari Ukraina
Pemerintah Suriah sudah bertahun-tahun disokong Rusia menghadapi berbagai kelompok bersenjata, sebagian didukung AS dan sekutunya. Korut juga sering dilindungi veto Rusia, sementara Eritria sedang mengharapkan kucuran dana China-Rusia lewat berbagai proyek. (AFP/REUTERS)