Rusia punya veto dan bisa menganulir apa pun keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lembaga itu tidak lebih dari tempat Rusia dan Barat saling berteriak.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Serangan Rusia ke Ukraina sejak Kamis (24/2/2022) membuat Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO dan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB seperti macan kertas. Rusia sama sekali tidak gentar dengan berbagai ancaman dan peringatan yang dilontarkan aliansi itu selama berbulan-bulan.
Dewan Keamanan (DK) PBB yang pada Februari 2022 sedang dipimpin Rusia sebagai ketua bergilir tengah bersidang. Saat itu, rudal Rusia dipersiapkan menyerang Ukraina. Beberapa saat selepas sidang ditutup pada Rabu (23/2/2022) malam waktu New York, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan perintah serangan ke Ukraina. Ia menyebutnya operasi militer khusus.
Pada Kamis subuh, rudal-rudal Rusia mulai meledakkan sejumlah sasaran di Ukraina. Hingga Jumat (25/2/2022), pasukan Rusia dilaporkan sudah berada di berbagai penjuru Ukraina dan mendekati ibu kota negara itu, Kiev. Tentara Ukraina dilaporkan menghancurkan jembatan penghubung Kiev dengan kawasan sekitarnya. Penghancuran itu untuk menghambat tank Rusia yang bergerak dari sejumlah kawasan di sekitar Kiev.
Selain mengerahkan tank, Rusia juga menembakkan banyak rudal ke Kiev. Selain Bandara Boryspil di selatan Kiev, rudal-rudal Rusia diarahkan ke Pangkalan Udara Hostomel di utara Kiev. Baku tembak di Pangkalan Hostomel dilaporkan berlangsung sepanjang Kamis malam hingga Jumat pagi waktu setempat.
Kantor berita Ukraina, Ukrinform, mengklaim pasukan Ukraina awalnya terpukul di Hostomel. Setelah baku tembak berjam-jam, tentara Ukraina bisa kembali menguasai pangkalan itu.
Sementara merujuk kantor berita Rusia, TASS, paling tidak 83 fasilitas militer dan pertahanan Ukraina hancur oleh serangan Rusia. Stasiun radar, gudang peluru, pangkalan kendaraan tempur, hangar pesawat dan helikopter, hingga kantor-kantor intelijen dan tentara jadi sasaran rudal Rusia. Kini, Ukraina nyaris tidak punya kekuatan udara.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy secara terbuka mengecam NATO. ”Kita telah ditinggalkan sendirian untuk mempertahankan negara kita. Siapa yang siap bertempur bersama kita? Saya tidak melihat pihak mana pun. Siapa yang siap memberi Ukraina jaminan menjadi anggota NATO? Semua takut,” kata Zelenskyy.
NATO menolak berbagai permintaan Ukraina untuk membendung Rusia. Zelenskyy dan sejumlah pejabat Ukraina telah mendesak NATO memberlakukan zona larangan terbang di Ukraina dan menutup Selat Bosphorus untuk kapal-kapal Rusia.
Pemberlakuan zona larangan terbang akan membuat jet tempur dan helikopter serbu Rusia tidak bisa masuk Ukraina. Sementara blokade di Selat Bosphorus akan menyulitkan Rusia berpindah dari Laut Hitam ke Laut Tengah.
Masalahnya, pemberlakuan zona larangan terbang dan blokade Bosphorus akan membuat NATO berhadapan dengan Rusia. Padahal, Presiden AS Joe Biden menegaskan, tentara AS tidak akan berhadapan dengan tentara Rusia di Ukraina.
”Tentara kita tidak sedang dan tidak akan berhadapan dengan Rusia di Ukraina. Tentara kita tidak akan ke Eropa untuk bertempur di Ukraina, tetapi mempertahankan sekutu NATO dan menjamin sekutu di (Eropa) Timur,” katanya.
Peneliti PBB pada International Crisis Group, Richard Gowan, mengatakan, DK PBB memang tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah Rusia-Ukraina. ”Rusia punya veto dan bisa menganulir apa pun keputusan PBB. Selain itu, Putin tidak peduli pada opini komunitas internasional terhadap dirinya. DK PBB tidak lebih dari tempat Rusia dan Barat saling berteriak. Tidak ada kegunaan lain,” katanya.
Putin juga memutuskan tidak mau lagi hanya berbicara dan bersurat kepada NATO. Sejak menjadi Presiden Rusia pada Desember 1999, dan disela dengan menjadi Perdana Menteri, Putin berulang kali memprotes NATO yang terus memperluas keanggotaan ke Eropa Tengah dan Eropa Timur. Namun, ini tidak dihiraukan NATO. Penolakan terakhir disampaikan NATO lewat surat pada pekan ketiga Januari 2022.
Tidak hanya menolak permintaan Putin, NATO mengancam menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia jika sampai menyerbu Ukraina. Sayangnya, ancaman itu tidak mampu menghentikan serangan Rusia terhadap Ukraina.
Bahkan, Putin balik mengancam membalas siapa pun yang ikut campur urusan Rusia di Ukraina. Rusia akan melancarkan balasan yang tidak pernah dibayangkan siapa pun. Pernyataan Putin tersebut sejauh ini hanya ditanggapi para pemimpin NATO dengan kecaman dan sanksi ekonomi.
Padahal, seperti dilaporkan The Economist, Rusia sudah beradaptasi sejak dijatuhi sanksi Barat pada 2014. Bahkan, sejumlah perusahaan AS dan Eropa tetap berbisnis di Rusia selepas rangkaian sanksi 2014. Eropa juga tetap tergantung ke Rusia untuk pasokan minyak, gas, hingga aneka bahan pangan.
Biden juga mengungkap, sebagian anggota NATO di Eropa menolak memutus Rusia dari sistem pengolah transaksi keuangan internasional atau SWIFT. Penolakan itu membuat Rusia tetap bisa menerima aneka pembayaran atas berbagai komoditas ekspornya.
NATO dan Uni Eropa dilaporkan masih terus membahas reaksi atas serangan Rusia ke Ukraina. Pada Jumat sore waktu Washington atau Sabtu pagi WIB, NATO dijadwalkan menggelar rapat darurat.
Sikap NATO menghadapi negara kecil atau lemah berbeda dengan saat menghadapi negara kuat. Seperti dilakukan Rusia di Ukraina dan Georgia, NATO juga menyerbu Irak, Afghanistan, Suriah, dan Libya tanpa restu DK PBB. NATO sangat garang kepada negara-negara yang tidak punya kekuatan untuk membalas serangan.
Sebaliknya, terhadap Rusia yang punya ribuan bom nuklir dan aneka persenjataan hipersonik, NATO hanya berani mengecam. Akibatnya, Ukraina merasa ditinggalkan sendiri. (AFP/REUTERS)