Dari Memo Budapest hingga Kesepakatan Minsk, Gagalnya Diplomasi Cegah Perang
Faktor nuklir serta perlindungan warga Luhansk dan Donetsk jadi bagian dari keputusan Putin untuk menyerang Ukraina. Putin juga menuding NATO melanggar janji tak memperluas keanggotaan ke Eropa Tengah dan Eropa Timur.
Presiden Rusia Vladimir Putin, Kamis (24/2/2022), membuktikan dugaan banyak orang tentang dirinya. Ia memerintahkan serangan ke wilayah Ukraina. Duta Besar Ukraina di Jakarta Vasyl Hamianin mengatakan, serangan pertama Rusia ke Ukraina timur tercatat pada pukul 05.00 waktu setempat.
”Mereka juga menembakkan rudal ke Bandara Boryspil serta wilayah di utara, barat, dan selatan Ukraina. Semua penjuru diserbu,” ujar Hamianin.
Bandara Boryspil terletak 171 kilometer dari perbatasan Rusia-Ukraina. Pada Kamis siang, jet tempur dan helikopter serbu Rusia terbang di pinggiran Kiev, ibu kota Ukraina. Kantor badan intelijen Ukraina, SBU, dilaporkan terkena rudal pada Kamis siang. Di berbagai penjuru Ukraina terekam rudal-rudal Rusia menyasar berbagai fasilitas militer. Stasiun radar, gudang senjata, barak, kendaraan tempur, hingga landas pacu Ukraina dihantam rudal-rudal Rusia.
Baca juga : Presiden Ukraina Tetapkan Darurat Militer
Serangan Rusia dikecam Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dan banyak tokoh dunia lainnya karena melanggar hukum internasional. Moskwa tak mendapat pengesahan Dewan Keamanan PBB untuk menyerbu Kiev. Pada Februari 2022, Rusia memegang kepemimpinan DK PBB.
Dalam 21 tahun terakhir, berkali-kali Putin mengecam Amerika Serikat dan sekutunya karena menyerbu negara lain tanpa izin DK PBB. Kini, giliran Rusia kembali melakukannya.
Bukan kali ini saja Rusia menyerang Ukraina dan tetangga lainnya. Pada 2008, setelah Presiden AS George W Bush mengumumkan Georgia dan Ukraina akan menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Rusia menyerbu Georgia. Selepas serbuan itu, tidak terdengar lagi kabar keanggotaan Tbilisi dan Kiev di NATO.
Dengan dalih memenuhi hasil referendum warga Semenanjung Crimea pada 16 Maret 2014, Putin menduduki wilayah itu dan merebutnya dari Ukraina. Ia dan sejumlah pejabat Rusia berkeras, sejak dulu Crimea wilayah Rusia. Pada 1954, Crimea dipisahkan Uni Soviet dan digabungkan ke Ukraina.
Hamianin menyebut, alasan Rusia melindungi nyawa sama tidak bisa dibenarkan. Faktanya, banyak orang tewas akibat serbuan Rusia di Georgia pada 2008 dan Crimea pada 2014.
Serangan pada 24 Februari ini membuktikan dugaan banyak pihak sejak November 2021 bahwa Putin telah menentukan waktu serangan. Lantaran dugaan itu tak terbukti sampai kemarin, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy marah. Dugaan-dugaan itu membuat banyak pengusaha meninggalkan Ukraina sehingga perekonomiannya terdampak.
Alasan Putin
Di sisi lain, Zelenskyy juga menyesali keputusan pemimpin Ukraina di masa lalu kala meneken Memorandum Budapest pada Desember 1994. Kiev setuju memusnahkan semua cadangan senjata nuklir warisan Uni Soviet di Ukraina selepas meneken memorandum itu. Sebagai imbalannya, AS, Inggris, dan Rusia berjanji menghormati keutuhan wilayah dan kedaulatan Ukraina serta Belarus dan Kazakhstan yang juga meneken memorandum itu.
Baca juga : Serangan Rusia Turut Picu Kenaikan Harga Minyak, Tembus 100 Dollar AS Per Barel
Zelenskyy merasa, Ukraina tidak akan bisa ditekan jika masih memiliki senjata nuklir. Sebab, tidak ada contoh ancaman serius kepada pemilik senjata nuklir. Putin menganggap penyesalan Zelenskyy sebagai wujud ambisi nuklir.
“Sejak zaman Uni Soviet, Ukraina sudah punya kemampuan nuklir. Mereka punya banyak fasilitas dan pakar untuk menunjang itu. Satu-satunya kekurangan saat ini tidak ada fasilitas pengayaan nuklir. Dengan pengalaman, fasilitas, dan pakar mereka saat ini, masalah itu bisa diatasi dalam waktu singkat,” tutur Putin, sebagaimana disiarkan laman Kepresidenan, Kremlin.ru.
Ambisi nuklir Ukraina serta melindungi nyawa warga di Luganks dan Donetsk hanya sebagian alasan Putin memutuskan serbuan ke Ukraina. Ia terutama menyalahkan NATO yang berulang kali melanggar janji tidak memperluas keanggotaan ke Eropa Tengah dan Eropa Timur.
Sejak Desember 1989, para pejabat anggota NATO maupun pejabat NATO berkali-kali berjanji tidak akan memperluas keanggotaan ke Eropa Timur dan Eropa Tengah. Bahkan, NATO-Rusia beberapa kali meneken perjanjian yang menyinggung soal itu.
Faktanya, NATO menerima Ceko, Hongaria, dan Polandia sebagai anggota pada Maret 1999. Untuk pertama kalinya, bekas negara satelit Uni Soviet menjadi anggota NATO. Perluasan berlanjut pada Maret 2004 kala NATO menerima Estonia dan Latvia yang berbatasan dengan Rusia diterima sebagai anggota. Saat itu, NATO juga menerima Bulgaria, Lithuania, Romania, Slovakia, dan Slovenia sebagai anggota.
Keputusan itu membuat Putin marah. Ia sudah marah kala Bush menyuratinya pada Desember 2001. Waktu itu, Bush memberitahu Putin bahwa AS akan keluar dari Traktat Antirudal Balistik (ABM) agar bisa mengembangkan kekuatan nuklir.
Kemarahan Putin pada Bush bertambah karena pada Maret 2007 Bush mengumumkan rencana AS menempatkan sistem pertahanan antirudal di Polandia. Setahun kemudian, Bush kembali membuat Putin emosi karena mengumumkan dukungan AS atas rencana NATO menjadikan Georgia dan Ukraina sebagai anggotanya.
Baca juga : WNI di Ukraina Berkumpul di KBRI Kiev
Setelah mereda, bahkan sempat latihan perang bersama pada 2011, hubungan Rusia-NATO kembali menegang setelah Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang dekat ke Moskwa digulingkan pada 2014. Moskwa menuding kelompok kanan dan Neo Nazi Ukraina yang disokong NATO serta Uni Eropa dibalik penggulingan itu.
Pendukung Yanukovych di Ukraina Timur marah dan angkat senjata. Bahkan, beberapa bulan setelah penggulingan, Donetsk dan Luganks mengumumkan kemerdekaan dari Ukraina. Sampai 21 Februari 2022, tidak ada yang mengakui kedaulatan Republik Rakyat Donetsk (RRD) dan Republik Rakyat Lugansk (RRL). Putin mengakui kedaulatan RRD dan RRL pada Senin lalu. Beberapa jam setelah itu, ia memerintahkan pasukan Rusia masuk ke RRD dan RRL sebagai penjaga perdamaian.
Perintah itu mengakhiri upaya diplomasi berbulan sebelumnya. Biden dan Putin membahas masalah Ukraina pada 7&30 Desember 2021. Terakhir mereka saling telepon pada 12 Februari 2022. Sementara Presiden Perancis Emmanuel Macron menelepon Putin tiga kali pada 20&21 Februari 2022. Macron berusaha meyakinkan Putin agar tidak melanggar Kesepakatan Minsk.
Putin menyangkal telah melanggar Kesepakatan Minks. Kesepakatan itu disebutnya telah mati suri karena Kiev tidak kunjung menerapkannya sejak disetujui pada 2015 dan kembali disepakati pada 2019. Bahkan, pemerintah Ukraina bolak-balik secara terbuka menyatakan tidak akan menjalankan kesepakatan yang dinilai mengurangi kedaulatan Ukraina itu. “Apa saya harus diam saja menyaksikan kekerasan tidak berhenti?” kata dia. (AFP/REUTERS)