Sikap Indonesia dalam Krisis Ukraina Picu Perdebatan
Pemerintah Indonesia menyatakan tidak memihak siapa pun dalam krisis di Ukraina. Namun, pengamat terbelah menilai sikap tersebut. Sebagian menyebut RI kehilangan netralitas, sebagian lainnya menilai sikap RI sudah tepat.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pakar hukum internasional di Indonesia berbeda pandangan dalam menilai keputusan pemerintah terkait perang Rusia-Ukraina. Sebagian khawatir Indonesia kehilangan netralitas dan tidak sesuai dengan asas politik bebas aktif. Namun, sebagian lainnya menganggap sikap Indonesia sudah selaras dengan hukum internasional dan Undang-Undang Dasar 1945.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, ketidaknetralan Indonesia ditunjukkan lewat pernyataan resmi. Bahkan, Indonesia menegaskan ketidaknetralan dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (2/3/2022). ”Indonesia seperti menghakimi negara lain telah melanggar Piagam PBB,” katanya, Jumat (4/3/2022), di Jakarta.
Pandangan tersebut dinilai Hikmahanto menggunakan perspektif Amerika Serikat dan sekutunya. Sementara menurut Rusia, Moskwa terlibat konflik atas undangan dua negara berdaulat yang baru diakui Rusia. Karena itu, Moskwa tidak merasa melanggar kedaulatan dan keutuhan wilayah negara lain, seperti diatur dalam Pasal 2 Ayat 4 Piagam PBB.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan apa yang disebutnya sebagai "operasi militer khusus" ke Ukraina pada 24 Februari 2022 untuk membela Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR). Sebelumnya, 21 Februari 2022, Moskwa mengakui kedaulatan dua republik itu. Dua republik tersebut didirikan oleh kelompok separatis pro-Rusia di wilayah Donbas di Ukraina timur.
Kiev mengecam keras pengakuan Rusia atas kedaulatan Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR) serta menyebut langkah itu sebagai pelanggaran atas ”kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina”. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut operasi militer Rusia di wilayah Ukraina sebagai tindakan unilateral yang bertentangan secara langsung dengan Piagam PBB.
Terkait sikap Pemerintah Indonesia, menurut Hikmahanto, sikap awal Indonesia lewat pernyataan Presiden Joko Widodo sudah bagus. Presiden hanya meminta perang segera dihentikan. Hal itu merujuk pada Pasal 2 Ayat 3 Piagam PBB. Pasal itu juga mendorong negara-negara yang berselisih diminta menggunakan cara damai. ”Sekarang sudah ada upaya perdamaian. Perundingan sudah beberapa putaran dan masih terus berlanjut,” katanya.
Meski demikian, Hikmahanto mengapresiasi upaya Indonesia mendorong isu kemanusiaan. Agar upaya sukses, Indonesia tetap perlu menjaga jarak ke Rusia ataupun Ukraina.
Secara terpisah, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Hasanuddin Marthen Napang justru berpendapat, sikap Indonesia selaras dengan hukum internasional dan Undang-Undang Dasar 1945. Serangan Rusia ke Ukraina jelas memenuhi kriteria agresi menurut Piagam PBB. Indonesia juga menjalankan amanat konstitusi sebagaimana tercantum di pembukaan UUD 1945.
Langkah Indonesia mendorong isu kemanusiaan sudah tepat. Sebab, sulit mengharapkan PBB melangkah lebih dari itu. Hambatan utamanya adalah hak veto yang dimiliki Rusia dan empat negara anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Hak itu membuat Rusia dan empat anggota DK PBB dapat membatalkan apa pun keputusan PBB. Apalagi jika keputusan itu dipandang merugikan mereka.
”Resolusi ini bukan sikap Indonesia atau negara lain, melainkan sikap mayoritas anggota PBB,” kata Marthen.
Guru Besar Hukum Ekonomi Internasional Unhas Juajir Sumardi mengatakan, perang Rusia-Ukraina membuat pertanyaan atas DK PBB semakin relevan. Sebab, anggota DK PBB berulang kali menyalahgunakan veto untuk kepentingannya dan mengabaikan kepentingan dunia. ”Sekarang ada anggota yang melanggar Piagam PBB dan PBB tidak bisa berbuat apa pun,” katanya.
Sikap Pemerintah RI
Menyangkut serangan Rusia ke Ukraina, pada 24 Februari 2022 Presiden Joko Widodo melalui akun Twitter resminya menyerukan penghentian perang. ”Stop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia,” tulis Presiden Jokowi melalui akun Twitter resminya, Kamis (24/2/2022).
Dua-tiga hari sebelumnya, juga lewat Twitter, Presiden Jokowi menuturkan bahwa dirinya memiliki kesamaan pandangan dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres terkait dengan penanganan krisis Ukraina.
Pada 25 Februari 2022, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengeluarkan pernyataan sikap terkait serangan Rusia ke Ukraina. Dalam lima poin pernyataan, Jumat (25/2/2022), Pemerintah Indonesia tanpa menyebut kata ”Rusia” menyatakan bahwa serangan militer di Ukraina tidak dapat diterima. Serangan juga sangat membahayakan keselamatan rakyat dan mengancam perdamaian serta stabilitas kawasan dan dunia.
Pemerintah Indonesia ”meminta agar situasi ini dapat segera dihentikan dan semua pihak agar menghentikan permusuhan serta mengutamakan penyelesaian secara damai melalui diplomasi”. Jakarta juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah nyata guna mencegah memburuknya situasi.
Dalam wawancara khusus dengan Kompas, Kamis (3/3/2022), Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan bahwa Indonesia tidak memihak siapa pun dalam krisis di Ukraina. ”Keberpihakan kita selalu pada kepentingan nasional, mandat dari konstitusi, dan prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk Piagam PBB, serta penghormatan terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan suatu wilayah,” katanya.
”Dalam setiap pernyataan yang diserukan oleh Indonesia, pernyataan itu selalu didahului kalimat bahwa prinsip hukum internasional, termasuk Piagam PBB, harus terus dihormati oleh semua negara. Itu adalah prinsip yang mendasari posisi Indonesia. Itu yang terus kita junjung tinggi dan secara konsisten kita tegakkan.”
Seorang diplomat senior Indonesia menuturkan, di kancah diplomasi internasional, Indonesia terlibat langsung dalam proses adopsi resolusi Majelis Umum PBB tanggal 2 Maret 2022. Indonesia mendekati sejumlah anggota DK PBB kala isu Rusia-Ukraina akan dibawa ke Majelis Umum PBB. Indonesia juga meyakinkan sejumlah anggota PBB di luar Dewan Keamanan selama proses penyusunan resolusi tersebut.
Bersama sejumlah negara, Indonesia menekankan pentingnya penyediaan jalur kemanusiaan. Tidak kalah penting juga, yakni mendorong dialog dan menekankan dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian global.
Resolusi itu akhirnya mendapat dukungan luas dan bisa diterima di MU PBB. Setelah lebih dari dua hari berdebat sengit, resolusi itu diadopsi. Sebanyak 141 dari 193 negara anggota mendukung resolusi, 35 negara abstain, dan 5 negara menolak. Tidak seperti resolusi DK PBB, Resolusi MU PBB tidak memiliki kekuatan mengikat, tetapi dapat menjadi tekanan politik terhadap negara yang menjadi sasaran resolusi, dalam hal ini Rusia.
Bukan alasan
Marthen Napang dari Universitas Hasanuddin menyebut, persepsi ancaman keamanan yang diajukan Rusia tidak dapat dijadikan alasan menyerbu Ukraina. Sebab, Ukraina negara merdeka dan bebas menentukan akan berteman dengan siapa pun yang dipilihnya. Negara mana pun tidak berhak mendikte Ukraina.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Unhas Syamsuddin Noor mengatakan, kekhawatiran Rusia soal kehadiran Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memang sudah lama. Meski tidak dapat dijadikan alasan menyerbu Ukraina, kekhawatiran Rusia tetap perlu diperhitungkan. ”NATO warisan Perang Dingin dan Perang Dingin sudah lama selesai,” katanya.
NATO tidak hanya ketinggalan dalam memandang arsitektur keamanan di Eropa. Aliansi militer itu berkali-kali terus mengusik Rusia dan banyak negara lain. Secara terbuka NATO memasok senjata ke berbagai wilayah yang dipandang berusaha memisahkan diri dari suatu wilayah. Di Ukraina, NATO telah mengucurkan senjata bernilai miliaran dollar AS.
”Tindakan NATO tidak sesuai dengan Piagam PBB yang mengamanatkan penghormatan pada keutungan wilayah negara lain,” ujar Syamsuddin.
Ia mengingatkan, tidak ada jaminan NATO akan berhenti mengusik kepentingan negara lain. Sebab, selama puluhan tahun terakhir, NATO terus ikut campur masalah negara lain. Bahkan, NATO sudah berulang kali menyerbu negara lain tanpa sekalipun dijatuhi sanksi.