Pesawat Nirawak Semakin Menyalak
Perang Ukraina mengarah ke tren pesawat nirawak yang semakin kecil dan sulit dilacak, apalagi dicegat.
Meski telah dipakai di berbagai perang dan pertempuran lain, tidak ada panggung lebih baik bagi pesawat nirawak (drone) selain Perang Ukraina. Menjelang permulaan tahun ketiga perang itu, produksi dan penggunaan pesawat nirawak dipacu.
Karena peningkatan perannya, International Institute for Strategic Studies (IISS) menyoroti penggunaan pesawat nirawak. Dalam The Military Balance 2024, IISS mendata lonjakan pembelian pesawat nirawak oleh militer sejumlah negara.
Baca juga: Kecohan Pesawat Nirawak di Medan Perang, dari Taktik Israel hingga Perang Ukraina
Ambisi Ukraina, Inggris, dan Latvia akan menambah lonjakan itu. Pada Kamis (15/2/2024), Inggris dan Latvia mengumumkan target ambisius: memasok sejuta pesawat nirawak untuk Ukraina. Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg menyebut, anggota lain NATO akan mendukung ambisi itu.
Sepekan sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengumumkan pembentukan unit khusus operator pesawat dan kapal nirawak di angkatan bersenjata. Pembentukan itu diungkap hampir dua bulan setelah Zelenskyy mengumumkan ambisi produksi domestik hingga sejuta pesawat nirawak komersial. Seluruh pesawat itu akan dimodifikasi menjadi senjata.
Dengan rangkaian pengumuman itu, sulit menyangkal Ukraina dan sekutunya semakin intensif menerapkan taktik Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Dulu, NIIS memakai pesawat nirawak komersial berpeledak untuk menyerang lawan-lawannya.
Konflik ini menunjukkan keunggulan pesawat nirawak komersial di medan perang. Pesawat lebih kecil, mematikan, mudah dioperasikan, dan tersedia untuk siapa pun.
Metode itu teruji murah dan mudah. Itulah sebabnya, Ukraina dan sekutunya hendak memakai taktik tersebut untuk melawan Rusia.
Baca juga: Rusia-Ukraina Tingkatkan Serangan Pesawat Nirawak
Metode itu murah karena setiap pesawat harganya rata-rata Rp 5 juta. Sebagai pembanding, harga rata-rata per pesawat nirawak Shahed buatan Iran mencapai Rp 300 juta per unit. Sementara Switchblade 300 buatan Amerika Serikat bisa harganya sekitar Rp 800 juta per unit.
Shahed dan Switchblade hanya bisa dibeli dengan kontrak khusus. Sementara pesawat nirawak komersial yang ditarget London, Kyiv, dan Riga bisa dibeli di lokapasar atau toko biasa. Selain itu, operatornya hanya perlu latihan tidak sampai sebulan untuk mahir mengendalikan pesawat jenis tersebut.
Ambisi itu bisa cepat tercapai karena pesawat nirawak tersebut bisa segera digunakan. Ukraina bisa memasangkan peledak ke pesawat dari lokasi mana pun. Sejak diserbu Rusia pada Februari 2022, Ukraina mempercepat sebaran jaringan produksi dan perakitan senjata serta amunisi di berbagai penjuru negeri.
Menteri Pertahanan Inggris Grant Sharpp menyebut, Inggris punya banyak pelatih pengoperasian pesawat nirawak. Selama ini, para pelatih dan operator pesawat itu antara lain bergabung dengan kelompok-kelompok balapan pesawat nirawak.
Baca juga: Pelajaran Perang Semesta Abad Ke-21 dari Ukraina
London menemukan kesamaan antara kelompok itu dan tujuan Ukraina: bergerak cepat dan ligat mencapai sasaran. Di medan perang Ukraina, kecepatan dan keligatan mencapai sasaran amat penting.
Keuntungan dan kelemahan
Komandan Wing Udara 55 Angkatan Udara AS Kolonel Kristen D Thompson menyebutkan, pesawat nirawak komersial menjadi pengubah arah perang. ”Konflik ini menunjukkan keunggulan pesawat nirawak komersial di medan perang. Pesawat lebih kecil, mematikan, mudah dioperasikan, dan tersedia untuk siapa pun,” tulisnya di laman Council of Foreign Affairs pada 16 Januari 2024.
Ia menyoroti fakta jenis pesawat yang akan dipasok Inggris-Latvia itu awalnya dipakai untuk sekadar senang-senang. Di perang Ukraina, pesawat itu menjadi salah satu senjata paling tepat sasaran dan sulit dicegat. ”Setiap unit pesawat nirawak bisa menimbulkan biaya puluhan ribu dollar AS untuk pencegatannya,” tulisnya.
Bagi Ukraina, produksi dan penggunaan pesawat nirawak untuk keperluan tempur tidak hanya soal perang. Setidaknya 80 produsen pesawat nirawak komersial kini beroperasi di Ukraina.
Baca juga: AS-Rusia Mencoba Meredakan Ketegangan Setelah MQ-9 Jatuh
Seluruh pabrik itu membutuhkan pegawai dan pemasok. Para pegawai dan pemasok mendapat penghasilan yang bisa dipakai untuk belanja aneka kebutuhan hidup. Ekonomi Ukraina bergerak dari produksi pesawat nirawak.
Peneliti Center for Security Studies di Zurich, Dominika Kunertova, menulis bahwa pesawat nirawak menjadi bagian tidak terpisahkan dari perang. Meski demikian, Shahed dan Switchblade atau pesawat sejenis punya kelemahan pokok, yakni kecepatan rendah.
Dengan laju rata-rata di bawah 250 kilometer per jam, pesawat-pesawat itu mudah dicegat artileri pertahanan udara (arhanud). Buktinya, 80 persen Shahed yang diluncurkan ke Ukraina bisa dicegat.
Tantangan kini adalah mengembangkan pencegat yang lebih murah dari sasaran cegatan.
Karena itu, kesuksesan serangan dengan pesawat nirawak bertumpu pada kemampuan mengerahkan sebanyak-banyaknya. Bagi Ukraina, strategi tersebut sulit jika menggunakan Switchblade 300 atau pesawat sejenis. Situasinya akan berbeda apabila menggunakan pesawat nirawak murah seperti diterapkan NIIS.
Persoalan
Masalahnya, Shahed bisa terbang sampai 2.000 kilometer. Sementara pesawat nirawak komersial hanya bisa terbang beberapa kilometer. Selain itu, Shahed bisa mengangkut hingga 50 kilogram peledak. Kapasitas angkut pesawat nirawak komersial kini rata-rata di bawah 20 kg.
Baca juga: Ukraina Minta 1.000 Meriam dan 1.000 Drone
Sejak akhir 2022, Kyiv-Moskwa berusaha mencari cara meningkatkan jangkauan dan daya angkut pesawat nirawak komersial. Peningkatan tersebut berarti kemampuan menyerang bertambah pula.
Kunertova mengingatkan, ada persoalan lain dari peningkatan penggunaan pesawat nirawak di medan perang. Tidak semua pesawat nirawak diatur dalam kesepakatan pembatasan ekspor rudal atau Missile Technology Control Regime (MTCR).
Kesepakatan di antara 35 negara produsen senjata itu hanya mengatur pembatasan ekspor pesawat nirawak berkapasitas minimum 500 kg dan berjangkauan minimum 300 km. Hampir seluruh pesawat nirawak di perang Ukraina jauh di bawah ketentuan MTCR. Padahal, perang Ukraina menunjukkan serangan pesawat nirawak berpeledak sama mematikan dengan rudal dan roket.
Di berbagai negara lain, produsen pesawat nirawak berinvestasi besar-besaran untuk meningkatkan daya rusaknya. Sebagian mulai menerapkan kecerdasan buatan untuk pengendalian operasi pesawat. Fenomena itu berkembang saat pengaturan pesawat nirawak di bawah kategori MTCR belum akan terjadi dalam waktu dekat.
Baca juga: Skenario Akhir Perang Ukraina
Perang Ukraina mengarah ke tren pesawat nirawak yang semakin kecil dan sulit dilacak, apalagi dicegat. Prajurit maupun warga sipil bisa menjadi korbannnya.
Tantangan pertahanan
Sementara Thompson menyoroti fakta pesawat nirawak membuat pertahanan udara semakin rumit. Ukraina dengan pasokan NATO dan Rusia dengan produksi domestiknya tidak bisa mengklaim punya superioritas udara dan laut. Bolak-balik pesawat dan kapal nirawak menghancurkan sasaran jauh dari garis depan pertempuran.
Bagi para perencana operasi pertempuran, penggunaan arhanud konvensional untuk menjatuhkan pesawat nirawak semakin tidak masuk akal. Setiap rudal arhanud bisa berharga beberapa ratus ribu hingga jutaan dollar AS. ”Tantangan kini adalah mengembangkan pencegat yang lebih murah dari sasaran cegatan,” tulis Thompson.
Penggunaan pengacak sinyal untuk memutus komunikasi pesawat dengan operatornya juga sulit. Sebab, jangkauan pengacak sinyal terbatas beberapa kilometer saja. Akan butuh hingga ribuan pengacak sinyal untuk menutup wilayah udara dari pesawat nirawak.
Baca juga: Moskva, Cerita Duka Kapal Gaek di Medan Laga
Adapun pemakaian penangkis serangan jarak dekat (CIWS) juga tidak selalu sukses menangkal pesawat nirawak. Radar CIWS belum teruji bisa melacak pesawat nirawak komersial yang jauh lebih kecil dari Shahed atau Switchblade. Jika tidak terlacak, pesawat tidak mungkin dijatuhkan.
Tantangannya meningkat jika kendali pesawat nirawak menggunakan kecerdasan buatan. Militer berbagai negara fokus meniru serangga untuk kendali pesawat nirawak: mengerubungi sasaran. Dalam formasi itu, gerakan pesawat tidak terduga.
Serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 menunjukkan, kemampuan arhanud tercanggih sekalipun terbatas. Jika sasarannya terlalu banyak, sistem pertahanan akan lumpuh.
Dengan semua indikasi itu, pesawat nirawak akan semakin meningkat perannya. Pesawat nirawak semakin menyalak di palagan tempur.
(AFP/Reuters)