Skenario Akhir Perang Ukraina
Inisiatif bina damai wajib mendengarkan suara Ukraina. Peluang terbesar pengakhiran perang hanya melalui perundingan.
Dalam hitungan hari, perang Ukraina akan genap berlangsung dua tahun. Meski terjadi kebuntuan taktis di garis depan, tidak ada tanda perang akan berakhir dalam waktu dekat.
Selasa (2/1/2024), Rusia menembakkan 131 rudal dan melepaskan pesawat nirkawak ke Ukraina. Sebelum serangan itu, Moskwa menuding Kyiv menyerang Donetsk dan Belgorod serta pangkalan laut Rusia di Crimea. Saling serang itu menunjukkan, Rusia-Ukraina masih gigih berperang.
Serangan dilancarkan beberapa hari setelah Amerika Serikat kembali mengungkap paket bantuan untuk Ukraina. Paket persenjataan, peralatan, dan amunisi itu bernilai 250 juta dollar AS. Washington memberikan amunisi artileri pertahanan udara (arhanud), suku cadang arhanud, roket, dan 15 juta butir peluru aneka jenis senapan untuk Kyiv.
Baca juga: Ukraina Frustrasi karena Bantuan AS-Uni Eropa Telat
Paket itu seperti hiburan setelah Kongres AS tidak kunjung menyetujui bantuan 114,5 miliar dollar AS. Tanpa bantuan itu, sejumlah lembaga intelijen Barat khawatir Ukraina akan kalah dari Rusia dalam tujuh bulan mendatang.
Lembaga kajian di Jerman, Kiel Institute for the World Economy, mencatat Washington telah mengucurkan 71,46 juta euro ke Kyiv. Dari seluruh bantuan itu, 43,9 juta euro berupa bantuan militer. Sisanya bantuan kemanusiaan dan ekonomi.
Sejak lama kami berpendapat, satu-satunya cara mengakhiri perang ini hanya lewat perundingan.
Sementara itu, Uni Eropa mengucurkan 110 juta euro untuk Ukraina. Berbeda dengan Washington, Brussels lebih banyak memberikan bantuan ekonomi untuk Kyiv. Selain dari UE sebagai lembaga, bantuan juga diberikan negara-negara anggota UE.
Jerman mengirimkan tank Leopard dan panser arhanud Gepard. Belanda menjanjikan jet tempur F-16 akan dikirimkan ke Ukraina dalam waktu dekat. Polandia dan sejumlah negara Eropa Tengah dan Eropa Timur memasok pesawat nirawak dan jet tempur warisan Uni Soviet.
Sejumlah sekutu Ukraina juga terus menyediakan pelatihan bagi prajurit Ukraina. Pelatihan digelar di beberapa negara Eropa.
Peluang perundingan
Meski bantuan tetap mengalir, bukan berarti tidak ada bahasan soal penghentian perang. Memang, mekanismenya tidak berbentuk perjanjian damai. Sejumlah pihak, seperti dilontarkan redakturThe New York Times Serge Schmemann, mengusulkan gencatan senjata yang diformalkan (armistice).
Dalam artikel pada 27 Desember 2023, Schmemann menyebut kemenangan Ukraina tidak hanya diukur dari luas wilayah yang direbut lagi dari Rusia. Bagi Schmemann, kemenangan Ukraina dapat pula berupa bangkit lebih kuat, aman, dan sejahtera.
Baca juga: Pejabat Ukraina Tak Juga Jera Korupsi
Mantan anggota juru runding Ukraina, Oleksandr Chalyi dan David Arakhmania, secara terpisah mengungkap perdamaian sebenarnya nyaris tercapai di Istanbul, Turki pada Maret 2022. Walakin, menurut Arakhmania, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memilih mendengar pihak asing dibandingkan internal Ukraina. Pihak-pihak mendorong Ukraina terus berperang dengan Rusia.
Peneliti senior RAND Corporation Samuel Charap dan Direktur Riset European Council on Foreign Relations Jeremy Shapiro menyebut, perundingan menjadi satu-satunya cara mengakhiri perang Ukraina. Sejumlah pejabat AS juga berpendapat senada. Hal itu antara lain terungkap dalam laporan media AS, Politico, pada 27 Desember 2023.
Sejumlah petinggi AS kini cenderung mendorong Ukraina berunding dengan Rusia. ”Sejak lama kami berpendapat, satu-satunya cara mengakhiri perang ini hanya lewat perundingan,” kata seorang pejabat AS yang menolak identitasnya diungkap.
Pejabat lain, yang juga menolak diungkap identitasnya, menyebut bahwa pemerintahan Biden tidak bisa secara terbuka mendorong perundingan Kyiv-Moskwa. Sebab, Biden tidak siap dengan risiko politik jika sikap itu diungkap ke publik.
Pejabat lain berkilah, Washington tidak asal mendorong Kyiv berunding. AS ingin Ukraina dalam posisi sekuat mungkin sebelum mulai berunding. Walakin, tidak dijelaskan bagaimana mengukur kekuatan itu.
Kebuntuan perang
Akademisi Ukraina yang mengajar di University of Bern, Oksana Myshlovska, menilai prospek perdamaian di Ukraina amat kecil. Rusia-Ukraina, walau telah kehilangan begitu banyak prajurit, sama-sama tidak melihat peluang menghentikan perang.
Baca juga Demi Ukraina, Biden Siap Kompromi
Kini, perang hanya menjadi ajang pembantaian manusia dan kehidupan di Ukraina. ”Kelelahan perang sulit dihindari,” kata dia.
Dalam wawancara denganThe Economist, Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina Jenderal Valery Zaluzhny mengakui ada kebuntuan di medan perang. Sejumlah komandan di garis depan mengungkap frustrasi pasukan. Salah satu sebabnya, senjata dan jumlah pasukan Ukraina lebih sedikit dari Rusia. Para prajurit juga frustrasi dengan ketiadaan terobosan di garis depan.
Dosen Ilmu Hubungan Internasional pada National University Odesa Law Academy, Tetyana Malyarenko, menyimpulkan, kecil peluang Ukraina akan menang di 2024. Faktor internal dan ekstenal Ukraina tidak mendukung peluang kemenangan itu.
Serangan balik yang disebut-sebut akan dilancarkan pada Juni 2023 tidak kunjung terjadi sampai tahun ini selesai. Aneka tank dan kendaraan lapis baja yang dipasok sekutu Ukraina hancur di garis depan.
”Rusia dan Ukraina kini menggunakan sumber daya untuk mencegah pihak lain menang, dengan harga kehilangan orang dalam jumlah besar, khususnya di Ukraina,” kata Malyarenko.
Skenario solusi
Dosen Kajian Keamanan Internasional pada University of Birmingham, Stefan Wolff, menyimpulkan bahwa mungkin saatnya Ukraina dan pendukungnya jujur pada diri sendiri. Saatnya Kyiv dan pendukungnya menilai jernih situasi sekarang dan mempertimbangkan apa yang bisa dicapai dengan situasi itu.
Baca juga: Model Korea untuk Ukraina
Charap dan Shapiro menyebut, pertanyaan soal status geopolitik Ukraina harus diselesaikan. Besar peluang Rusia akan terus menyerang Ukraina jika masalah itu tidak diselesaikan.
Menurut mereka, skenario pengakhiran perang bergantung pada apakah Ukraina akan jadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) atau tidak. Jika jadi anggota, maka skenario pertama disebut model Bucharest Plus. Dalam skenario ini, Ukraina tidak akan pernah menjadi anggota NATO. Meski demikian, Kyiv bisa terus mendapat bantuan pertahanan dari NATO.
Kedua, model Jerman Barat di mana Ukraina menjadi anggota NATO dengan syarat. NATO hanya akan membantu Ukraina bila diserang di daerah tertentu dan bukan Kyiv yang memulai perang. NATO juga tidak akan membantu Ukraina merebut lagi daerahnya dari Rusia.
Sementara model ketiga adalah perpaduan Jerman Barat dan Norwegia. Ukraina akan menjadi anggota NATO dengan model Jerman Barat sekaligus juga sekuat tenaga menahan diri untuk tidak memprovokasi konflik terbuka dengan cara apa pun. Sebagai gantinya, NATO memberi jaminan keamanan untuk Kyiv.
Adapun jika Kyiv memutuskan tidak menjadi anggota NATO, maka disediakan dua skenario. Pertama, sesuai Komunike Istanbul yang dirundingkan Kyiv-Moskwa pada Maret 2022. Ukraina netral dan tidak akan menyediakan pangkalan bagi pasukan asing. Sebagai gantinya, Ukraina dapat jaminan keamanan penuh dari sejumlah negara. Ukraina akan dibantu jika di masa depan ada serbuan dari negara lain.
Skenario kedua mengikuti model Israel. Ukraina tidak akan beraliansi atau mengikat perjanjian keamanan dengan negara apa pun. Walakin, Ukraina diberi bantuan keamanan penuh seperti AS pada Israel.
Dosen Universitas Airlangga Surabaya, Radityo Dharmaputra, mengingatkan, Ukraina memang menanggung dampak terbesar perang ini. Karena itu, aneka inisiatif bina damai wajib mendengarkan suara Ukraina. (AFP/REUTERS)