Model Korea untuk Ukraina
Tak semua perang berakhir dengan perjanjian damai. Ada cara lain menghentikan perang, salah satunya dengan gencatan senjata. Opsi seperti di Korea ini bisa dipertimbangkan dalam konflik di Ukraina.
Setiap bangsa berhak mempertahankan diri dengan cara apa pun dari serangan bangsa lain. Di sisi lain, setiap negara perlu sekuatnya memastikan keselamatan seluruh warganya. Ukraina tidak lepas dari dua kondisi itu.
Hingga Minggu (30/10/2022), tidak ada tanda perang di Ukraina akan mereda. Bahkan, kondisi semakin memburuk dalam lebih dari tiga pekan terakhir. Melihat kondisi yang ada, semakin tipis pula harapan perang akan berakhir sebelum musim dingin tiba.
Peledakan Jembatan Kerch, penghubung daratan Rusia dengan Semenanjung Crimea, pada 8 Oktober lalu, dibalas Rusia dengan serangan hingga 400 rudal dan pesawat nirawak ke sejumlah wilayah di Ukraina. Menurut Kyiv, 60 persen pesawat nirawak yang dikerahkan Rusia bisa dicegat. Sisa pesawat itu menghancurkan aneka sasaran di berbagai penjuru Ukraina.
Dampak serangan tersebut, antara lain, berupa rusaknya 30 persen pembangkit dan jaringan distribusi listrik Ukraina. Banyak pula rumah susun dan aneka fasilitas lain hancur.
Baca juga : Peledakan Jembatan Crimea dan Kemarahan Rusia
Pada Sabtu (29/10) sore, Moskwa mengumumkan pembekuan kesepakatan penyediaan jalur ekspor produk pertanian Ukraina. Langkah ini merupakan pembalasan atas serangan sembilan pesawat nirawak dan tujuh kapal nirawak ke Pangkalan Sevastopol, Crimea, pada hari itu.
Rusia menyebut, satu kapal perang dan satu kapal sipil di pangkalan tersebut rusak akibat serangan itu. ”Kapal yang jadi sasaran digunakan untuk memastikan keamanan pengiriman produk pertanian dari pelabuhan Ukraina,” kata Wakil Tetap Rusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa Vasily Nebenzya, sebagaimana dikutip kantor berita Rusia, TASS.
Akibat serangan tersebut, Rusia tidak bisa lagi menjamin keamanan jalur ekspor pangan. Karena itu, Rusia memutuskan mundur dari kesepakatan internasional untuk penyediaan jalur tersebut. ”Inisiatif tersebut malah digunakan untuk menutupi serangan terhadap Rusia,” kata Nebenzya.
Kementerian Pertahanan Rusia menuding, sejumlah tentara Inggris terlibat dalam serangan itu. Moskwa menyebut, unit yang sama terlibat dalam serangan terhadap jaringan pipa Nord Stream 1 dan Nord Stream 2 beberapa waktu lalu. Kyiv dan London menolak tudingan tersebut.
Seret banyak pihak
Meski terus menyangkal, fakta di lapangan menunjukkan, perang di Ukraina telah melibatkan pihak-pihak di luar Kyiv-Moskwa. Setelah membeli pesawat nirawak dari Iran, Rusia disebut merekrut ribuan bekas anggota pasukan khusus Afghanistan. Bekas tentara hasil didikan Amerika Serikat itu kini dikerahkan menghadapi didikan AS lainnya di Ukraina.
Seperti di Afghanistan, AS dan sekutunya sejak lama melatih tentara Ukraina. Jauh sebelum perang meletus, AS dan sekutunya juga memasok aneka senjata ke Ukraina.
Setelah perang meletus, pasokan persenjataan semakin deras sebelum akhirnya tersendat. Penasihat senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) AS, Kolonel (Purn) Mark Cancian, menyebut, para pihak mulai kehabisan senjata.
Baca juga : Senjata untuk Ukraina, Rumit sejak Pangkal
AS dan sekutunya sulit terus mengirimkan tambahan senjata ke Ukraina tanpa membahayakan pertahanan nasionalnya. Cadangan persenjataan Washington dan sekutunya terus menipis karena pengiriman besar-besaran ke Kyiv.
Rusia juga mengalami hal sama setelah menembakkan puluhan ribu roket dan ribuan rudal ke Ukraina. Penggunaan pesawat nirawak dari Iran adalah tanda paling serius Rusia sedang kekurangan senjata.
Di palagan, nyaris tidak ada kemajuan berarti yang bisa membalikkan kondisi. Setelah membebaskan seluruh Kharkiv, pasukan Ukraina belum menambah daerah yang direbut lagi dari Rusia. Serangan besar-besaran yang diumumkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy sejak Juni 2022 belum kunjung terjadi.
Zelenskyy dan sejumlah pejabat Ukraina berkali-kali terlibat perang mulut dengan pihak-pihak yang menyarankan gencatan senjata. Kyiv memandang, usulan gencatan senjata itu untuk saat ini merugikan Ukraina.
Salah satu pihak yang dikecam adalah Elon Musk, miliarder asal Afrika Selatan yang sekaligus menjadi warga AS dan Kanada. Musk berperan penting dalam pertahanan Ukraina. Satelit Starlink miliknya menjadi andalan komunikasi pasukan Ukraina di garis depan.
Meski demikian, fakta itu tidak membuat Musk bebas dari kecaman kala mengusulkan skenario perdamaian di Ukraina. Bagi Zelenskyy dan pejabat-pejabat Ukraina, usulan tersebut menghina Ukraina. Mereka menolak usulan Musk.
Gencatan senjata
Berbagai pihak telah mengupayakan perdamaian Ukraina. Bahkan, Pemimpin Umat Katolik Paus Fransiskus sampai mengatakan agar perang harus dihentikan, terlepas apa pun bentuknya. Entah perdamaian permanen atau sekadar gencatan senjata.
Baca juga : Paus: Perang Rusia-Ukraina Bukan Perkara Hitam-Putih
Dengan kondisi sekarang, sulit berharap upaya mencapai perdamaian akan berhasil. Moskwa kini menugasi Jenderal Sergey Surovikin memimpin operasi di Ukraina. Sejak muda, Surovikin dikenal beringas. Ia pernah bertugas di Afghanistan, Tajikistan, Chechnya, dan Suriah.
Sementara AS dan sekutunya semakin menegaskan posisi untuk menekan Rusia. Presiden AS Joe Biden beralasan, posisi Ukraina harus diperkuat di lapangan agar bisa berunding dengan pantas. Demi penguatan itu, berarti pasokan senjata terus berlanjut ke Ukraina.
Masalahnya, seperti pada berbagai perang lain dalam ribuan tahun terakhir, korban terus bertambah jika pertempuran berlanjut. Dalam perundingan gencatan senjata antara Prusia, yang kini menjadi Jerman, dan Sekutu pada Perang Dunia I pun masalah itu disoroti Matthias Erzberger (1875-1921), ketua perunding Prusia.
Kepada ketua perunding Sekutu Jenderal Ferdinand Foch, Erzberger menyebut korban manusia bisa dihindari jika gencatan senjata bisa segera dicapai. Foch, yang tahu posisi Prusia semakin memburuk, menolak segera menghentikan baku tembak jika Berlin tidak menyetujui tuntutan sekutu. Erzberger sampai mengatakan, kesepakatan perdamaian yang buruk dan tak adil tidak akan bertahan lama.
Gencatan senjata Prusia dan sekutu akhirnya tercapai pada November 1918. Setelah diperpanjang beberapa kali, gencatan senjata itu berujung pada perdamaian yang mengakhiri Perang Dunia I.
Tidak semua perang bisa berakhir dengan perjanjian damai, lalu para pihak bekerja sama seperti antara Jerman dan Jepang dengan AS dan sekutunya. Sebagian perang dihentikan lewat gencatan senjata. Hal itu, antara lain, terjadi di Korea.
Secara teknis, Korea Selatan dan Korea Utara masih berperang. Walakin, ada gencatan senjata sejak 1953. Meski kedua Korea dan para pendukungnya tetap bersitegang, setidaknya tidak ada perang terbuka di Semenanjung Korea.
Baca juga : Rusia Rekrut Mantan Anggota Pasukan Elite Afghanistan
Dengan kondisi sekarang di Ukraina, harapan tercapai perdamaian adalah hal yang terlampau muluk. Akan tetapi, harapan agar tercapai gencatan senjata tetap terbuka.
Zelenskyy pernah menyampaikan, Ukraina perlu bertahan dan melawan serangan Rusia. Walakin, lebih penting bagi Ukraina adalah memastikan putra-putrinya tetap hidup. Perang berkelanjutan jelas bukan pilihan cara untuk memastikan hal itu. (AFP/REUTERS)