Kecerdikan Vietnam dalam Hubungan Segitiga dengan AS dan China
Persaingan China dan Amerika Serikat menjadi berkah bagi Vietnam. Negeri ini cerdik memanfaatkan situasi itu.
Hanya dalam waktu kurang dari enam bulan tahun ini, Hanoi—ibu kota Vietnam—disambangi dua pemimpin negara adidaya, yang sedang saling sikut, saling ganjal, dan saling serang di berbagai palagan. Mulai dari ekonomi, perdagangan, teknologi, kemampuan militer, hingga persaingan pengaruh di kawasan dan global.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden adalah yang pertama kali berkunjung ke Hanoi. Memilih melewatkan kehadirannya di KTT ASEAN di Jakarta, ia berkunjung ke Hanoi pada pertengahan September 2023.
Di sana ia meneken sejumlah perjanjian kerja sama, sebagian besar di bidang ekonomi dan teknologi, seperti transaksi pembelian 50 pesawat Boeing 737 Max senilai 7,8 miliar dollar AS, kerja sama pengembangan teknologi kecerdasan buatan generatif (generative AI) antara Microsoft, Nvidia, dan Intel dengan perusahaan teknologi Vietnam, hingga pengembangan industri semikonduktor untuk pasar global yang akan dipusatkan di negara tersebut.
Baca juga: China-Amerika Serikat Berebut Kekuasaan
Pada saat yang sama, AS juga menaikkan level hubungan bilateral kedua negara menjadi kemitraan strategis komprehensif. Biden menjelaskan, peningkatan status kemitraan ini dilatarbelakangi oleh persoalan pertumbuhan ekonomi semata.
Ia mengejar pertumbuhan ekonomi itu menjelang pemilihan presiden tahun depan. Pada aspek itu, capaiannya belum memuaskan pendukung Demokrat, partai pengusung Biden.
Biden menegaskan, tidak ada embel-embel persaingan seperti pada era Perang Dingin meski ia menyebut pentingnya stabilitas. ”Saya pikir kita terlalu banyak tenggelam dengan istilah (dalam) Perang Dingin. Ini bukan soal itu. Ini soal menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas di seluruh dunia. Dan itulah yang kami coba lakukan,” katanya saat itu.
Tiga bulan kemudian, Presiden China Xi Jinping menyusul menyambangi Hanoi. Ini kunjungan ketiganya ke Vietnam dalam enam tahun terakhir. Di sana, ia secara langsung melihat penandatanganan 37 kesepakatan kerja sama antara China dan Vietnam.
Salah satu kesepakatan terbesar kedua negara adalah pengembangan jalur kereta api yang menghubungkan Kunming di Provinsi Yunnan (China) dengan Pelabuhan Haipong (Hanoi). China juga tertarik untuk ikut serta mengembangkan jalur kereta api cepat Hanoi-Ho Chi Minh di Vietnam selatan, dengan jarak sekitar 1.545 kilometer. Diperkirakan butuh biaya hingga 62 miliar dollar AS.
Baca juga: China Tawarkan Manfaat Sekaligus Tantangan Kawasan
Xi memandang Vietnam sebagai negara tetangga dan sahabat tulus, yang mendukung satu sama lain. Pandangan yang sama soal kerja sama multilateral dan pentingnya dialog menjadi salah satu alasan kedua negara menjalin hubungan erat dan damai.
Dengan pandangan seperti itu, Xi menyatakan, China menekankan prinsip inklusivitas dalam setiap hubungan yang saling menguntungkan dengan negara-negara mitranya.
Tak ketinggalan, Xi mengutip syair sebuah lagu China untuk menggambarkan hubungan negaranya dengan Vietnam: ”Di Asia kita, akar-akar pohon saling terhubung; di Asia, bahkan awan pun melayang beriringan”.
Manfaat ekonomi
Seusai perang tahun 1975, Pemerintah Vietnam mencoba bangkit dan memulihkan situasi politik dan ekonominya. Pernah berhadapan dengan AS saat perang, Vietnam memperbaiki hubungan diplomatiknya dengan AS pada Juli 1995. Saat itu AS menegaskan kembali dukungannya atas pembangunan kembali Vietnam pascaperang, demokratisasi Vietnam, kebebasan berlayar di perairan internasional, hingga perdagangan tanpa hambatan dan pembangunan ekonominya.
Sokongan itu dibutuhkan Vietnam. Pada tahun 1986 negara tersebut meluncurkan program reformasi ekonomi besar-besaran. Program reformasi ekonomi—disebut Doi Moi—memprioritaskan keterbukaan ekonomi Vietnam dengan prioritas pembangunan ekonomi pasar, terbukanya peluang bagi pengusaha swasta dan asing untuk terjun dalam perekonomian negara untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Era baru hubungan diplomatik kedua negara mendorong peningkatan nilai perdagangan bilateral, dari 450 juta dollar AS tahun 1994 menjadi sekitar 77 miliar dollar AS tahun 2019. Berbagai kesepakatan perdagangan, termasuk Kemitraan Trans-Pasifik yang didorong Presiden AS Barack Obama, telah memberi manfaat besar bagi Vietnam.
Pada saat yang sama, Vietnam juga menikmati hubungan ekonomi yang baik dengan China meski keduanya bersengketa di Laut China Selatan. Xi menyebut Vietnam adalah salah satu mitra utama Beijing di ASEAN dan mitra terbesar keempat di dunia.
Baca juga: Hegemoni AS yang Terkikis di Asia Pasifik
Seperti dikutip media China, Global Times, sejak menjalin kemitraan strategis komprehensif lebih dari 1,5 dekade lalu, nilai perdagangan kedua negara meningkat hingga 12 kali lipat: dari hanya sekitar 20 miliar dollar AS tahun 2008 menjadi 235 miliar dollar AS tahun 2022. Sejak 2018, Vietnam juga telah melampaui Malaysia dalam nilai total perdagangan di kalangan negara-negara ASEAN.
Sejak menjalin kemitraan strategis komprehensif lebih dari 1,5 dekade lalu, nilai perdagangan Vietnam-China meningkat hingga 12 kali lipat.
Investasi langsung China di Vietnam juga meningkat pesat: dari 628 proyek tahun 2008 dengan nilai 2,197 miliar dollar AS menjadi 2.807 proyek tahun 2019 dengan total nilai 16,264 miliar dollar AS. China menjadi negara investor terbesar ketujuh di Vietnam.
Xi juga menekankan, perbaikan jalur kereta api kedua negara telah meningkatkan volume perjalanan antarwarga dari China ke Vietnam dan sebaliknya. Hanya dalam waktu 10 bulan, ada sekitar 1,5 juta perjalanan dari China ke Vietnam. Di dalam negeri, warga Vietnam menikmati jalur kereta api perkotaan atau jalur metro Cat Linh-Ha Dong yang telah melayani lebih dari 20 juta penumpang.
Baca juga: China dan AS, Tak Kenal Maka Tak Sayang
Melihat manfaat yang dipetik kedua negara, Xi mendorong agar hubungan di masa depan terus dijaga dan diperkuat. ”China sedang mempromosikan paradigma pembangunan baru yang terbuka dan keterbukaan berkualitas tinggi, dan Vietnam tengah berupaya mempercepat peningkatan kesejahteraan lewat pertumbuhan ekonomi yang kuat,” kata Xi.
”Kita harus mengeluarkan potensi secara penuh kedekatan geografis dan industri yang saling melengkapi untuk melayani pembangunan nasional dengan lebih baik dan memberi manfaat bagi negara dan rakyat kedua negara,” lanjut Xi.
Perebutan pengaruh
Di balik pernyataan Xi dan Biden yang ”menenangkan”, hubungan di antara tiga negara itu—AS, China, dan Vietnam—tidaklah mudah. China sudah sejak lama memiliki sengketa wilayah teritorial, khususnya wilayah laut dengan Vietnam. Peta baru China, yang disebut sebagai Peta Edisi 2023 Standar China, telah menimbulkan kemarahan baru beberapa negara yang wilayah lautnya dicaplok oleh ”Negeri Tirai Bambu” itu.
Peta baru tersebut, menurut klaim China, didasarkan pada fakta sejarah dan disebut sebagai sembilan garis putus (nine-dash line). Klaim itu ditolak oleh banyak negara, termasuk Vietnam. Klaim ini juga sudah ditolak oleh pengadilan arbitrase internasional tahun 2016.
Baca juga: Vietnam dan China Bahas Revitalisasi Jalur Kereta Kunming-Haipong
Di sisi lain, China juga berhadapan dengan AS dalam perebutan pengaruh di kawasan, tidak hanya di Asia Tenggara, tetapi lebih luas di Pasifik selatan ataupun Indo-Pasifik.
Sengketa kedaulatan wilayah dengan China secara tidak langsung mendorong Vietnam menaikkan belanja militernya. Menurut Nate Fischer, peneliti pada John-Hopkins Nanjing Center, sejak 2015, Pentagon telah mengucurkan dana senilai 425 juta dollar AS untuk Vietnam guna meningkatkan kemampuan pengawasan wilayah teritorial lautnya. Selain itu, sejak larangan penjualan senjata ke Vietnam dicabut tahun 2016, Pemerintah Vietnam juga telah melirik sejumlah persenjataan dan perlengkapan militer buatan ”Negeri Paman Sam”.
Nguyen Khac Giang, peneliti tamu di ISEAS Yusof-Ishak Institute Singapura, menilai, kerja sama antara Beijing dan Hanoi merupakan upaya Beijing untuk menarik Vietnam dalam pengaruhnya. China ingin menarik Vietnam masuk dalam ekosistem ekonominya, khususnya di wilayah selatan, melalui kerangka Dua Koridor, Satu Sabuk.
Integrasi ekonomi yang dimaksud adalah keterhubungan antara Provinsi Lao Cai, Hanoi, Haipong, dan Langsong di Vietnam utara dengan Nanning dan Kunming di China selatan. Usulan proyek kereta api yang menghubungkan Vietnam utara dengan China selatan mencerminkan gagasan tersebut.
Vietnam, menurut Giang, juga menjadi daerah penyangga bagi China, terutama ketika banyak industri Barat dan mitranya mencari tempat baru bagi industri mereka setelah meninggalkan China. Dampak persaingan dagang AS-China adalah peningkatan nilai ekspor Vietnam ke AS, terutama barang konsumsi, seperti pakaian jadi, sepatu kulit, telepon, furnitur, dan makanan laut.
Baca juga: Imbas Perang Dagang, AS Relokasi Pabrik Sepatu ke Indonesia
Menurut data Komisi Perdagangan Internasional AS, impor ponsel dari Vietnam meningkat lebih dari dua kali lipat dalam empat bulan pertama tahun 2019 dibandingkan dengan periode empat bulan yang sama tahun 2018. Impor komputer juga meningkat sebesar 79 persen pada periode yang sama.
Dampak persaingan dagang AS-China adalah peningkatan nilai ekspor Vietnam ke AS, terutama barang konsumsi, seperti pakaian jadi, sepatu kulit, telepon, furnitur, dan makanan laut.
Terdapat juga peningkatan dalam jumlah garmen, tekstil, furnitur, dan ikan kering Vietnam yang diekspor ke AS. Barang-barang komoditas itu sebelumnya diproses di China. Secara keseluruhan, ekspor Vietnam ke AS meningkat sebesar 27,3 persen dalam enam bulan pertama tahun 2019, menyusul perang dagang AS-China.
Selain itu, dampak positif perang dagang AS-China bagi Hanoi adalah banyaknya relokasi usaha dari China ke Vietnam. Delapan bulan pertama tahun 2019, investasi langsung meningkat hingga sekitar 7 persen dengan nilai 12 miliar dollar AS, lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Analis Mizuho Research Institute menyebut, meski perekonomian global melambat, relokasi perpindahan perusahaan dari China ke Vietnam diperkirakan akan terus berlanjut. Perusahaan multinasional, seperti Foxconn, Samsung, dan Daikin, sudah membuka pabrik baru di Vietnam karena upah buruh di negara itu lebih kompetitif.
”Swing state”
Lam Thanh Ha dan Nguyen Duc Phuc, dosen senior Fakultas Ekonomi Internasional pada Akademi Diplomatik Vietnam Kementerian Luar Negeri, menilai, Vietnam memiliki beberapa keunggulan yang menarik minat investor untuk berusaha di negara tersebut. Pertama dan terpenting, menurut keduanya, ialah Vietnam memiliki pemerintahan, situasi politik yang relatif stabil, dan upah murah. Ini keunggulan yang tidak dimiliki negara lain.
Baca juga: Lawatan Biden Berbuah Manis bagi Vietnam
Selain itu, lokasi geografis Vietnam dengan pasar yang besar, seperti China dan ASEAN, memungkinkan produsen untuk menjual dan memindahkan peralatan melintasi perbatasan dengan lebih cepat.
Pada saat yang sama, Vietnam memiliki perekonomian yang kuat, tecermin dari tingkat pertumbuhan tahunan lebih dari 5 persen selama 20 tahun terakhir. Vietnam telah menjadi salah satu negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi tercepat dan paling stabil.
Negara itu berada di peringkat ke-69 dalam laporan Kemudahan Berbisnis Bank Dunia tahun 2019, lebih baik daripada China. Peraturan investasi di China juga tiga kali lebih ketat dibandingkan dengan di Vietnam dalam sembilan sektor, seperti manufaktur; listrik, elektronik dan instrumen lainnya; dan layanan bisnis.
Dengan berbagai keuntungan yang didapat dari persaingan kedua negara, Giang menilai, Hanoi paham bahwa mereka harus memainkan peran sebagai swing state. Dengan China, Vietnam memiliki kesamaan ideologi yang bisa menjadi alasan bagus bagi Vietnam untuk menjalin hubungan politik yang kuat dengan Beijing.
Hanoi tahu betul, pendekatannya yang seimbang dalam persaingan negara-negara besar sangat penting untuk mempertahankan pengaruh geopolitik di Asia.