China dan AS, Tak Kenal Maka Tak Sayang
Untuk membangun jembatan antara AS dan China yang tengah berseteru, politik perebutan pengaruh antar-pemerintah kedua negara perlu dikesampingkan dan interaksi orang ke orang menjadi fokus.
Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan itu rasanya cocok menggambarkan relasi antara dua negara adidaya, China dan Amerika Serikat, yang akhir-akhir ini semakin mendingin.
Keduanya berseteru di hampir segala lini. Rivalitas mereka mendorong fragmentasi politik dan ekonomi, menambah risiko di tengah dunia yang sedang dihimpit berbagai krisis dan masih berupaya pulih dari pandemi Covid-19.
Perang narasi antara keduanya marak mewarnai ruang publik. Di mata AS, China adalah negara non-demokratis dan otoriter yang kehadirannya mengancam perdamaian dunia, kedigdayaan AS, dan tatanan global yang selama ini didominasi AS dan Eropa Barat.
Baca juga: Hadapi China, Australia Prioritaskan Belanja Pertahanan
Bagi China, AS adalah negara hegemoni yang mencap diri paling demokratis tapi kerap menginvasi, mensanksi, dan mempersulit kehidupan warga di banyak negara miskin dan berkembang. Pemberitaan positif mengenai AS di media China atau mengenai China di media AS pun bisa dihitung dengan jari. Perang narasi yang intens itu meneruskan tensi yang awalnya hanya di tataran pemerintah dan menyebar kebencian sampai ke level akar rumput.
"Kita sama-sama Asia, kita adalah saudara. Tapi saya benci Amerika," kata Maggie Wong, bukan nama sebenarnya, seorang pemilik toko pakaian bekas di Beijing, pada suatu siang di awal April. Ia tiba-tiba mengatakan itu tanpa dipancing pertanyaan apapun.
Saat ditanya mengapa, ia menjawab, orang China kebanyakan hanya ingin hidup damai dan tidak mau berkonflik. "Kami tidak suka perang, kami mau perdamaian. Saya benci AS karena mereka suka berperang," ujarnya dalam bahasa Inggris patah-patah. “Tapi kamu dan saya orang Asia, kita suka perdamaian, kita saudara,” lanjutnya.
Di AS, sentimen negatif dan perundungan terhadap orang China juga meningkat. Sentimen anti-China itu diperparah oleh pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina. Baru-baru ini, Texas dan beberapa negara bagian lain di AS mengusulkan rancangan undang-undang yang melarang orang China untuk memiliki tanah dan properti di AS.
Mengutip opini oleh pendiri lembaga think-tank the Global Institute for Tomorrow Chandran Nair di The Diplomat pada 21 Februari 2023, retorika anti-China di AS telah menjadi histeria baru. Atas nama keamanan nasional, media AS, seberapa liberal pun, mulai terbawa dalam mentalitas kawanan untuk mengangkat berita negatif tentang China.
Perang narasi yang intens itu meneruskan tensi yang awalnya hanya di tataran pemerintah, menyebar kebencian sampai ke level akar rumput.
Media juga terjebak dalam kepentingan bisnis untuk menulis hal-hal negatif tentang China, mengingat sebagian besar target pasarnya adalah orang kulit putih, yang mayoritas tidak ingin tatanan dunia untuk berubah. “Pada akhirnya, tidak ada media yang mau dianggap non-patriotik,” tulisnya.
Narasi keliru
Saat menjadi pembicara di salah satu sesi di Lanting Forum di Shanghai, Jumat (21/4/2023), mantan Duta Besar AS untuk China Max Baucus mengatakan, banyak orang di AS yang tidak memahami China. “Di mata AS, China yang membuat masalah. Di mata China, sebaliknya. Semua begitu hitam-putih. Hal ini tidak bisa dibiarkan, kita tidak bisa terus-terusan terjebak dalam narasi keliru ini,” tuturnya.
Selama satu hari penuh, Lanting Forum dengan tema “Chinese Modernisation and the World” itu mengumpulkan 300 orang perwakilan pemerintah, akademisi, pengusaha, dan pegiat dari berbagai sektor dan negara guna mendiskusikan solusi konkret untuk memperbaiki hubungan China dengan barat, khususnya AS.
Forum yang diadakan oleh China Public Diplomacy Association (CPDA) dan Kementerian Luar Negeri China itu mengangkat satu pertanyaan fundamental: bagaimana cara mengembalikan rasa percaya antara AS dan China di tengah ketegangan yang meruncing antara kedua negara adidaya itu?
Baca juga: Antara China dan AS
Max mengatakan, perlu ada terobosan solusi untuk menjembatani komunikasi dan interaksi antara kedua negara, baik di level kepala negara sampai warga sehari-hari. “Kalau saja mereka bisa menghabiskan lebih banyak waktu di China, mereka bisa melihat sendiri rasa kekeluargaan yang begitu kuat di China,” katanya.
Di level kepala negara, ia mendorong pertemuan rutin antara Presiden China Xi Jinping dengan Presiden AS Joe Biden, setidaknya dua kali setahun. “Itu akan mendorong mereka untuk lebih saling mengenal, sehingga sentimen negatif yang kini menyebar di kalangan warga kedua negara bisa mereda,” ucap Max.
Max berargumen, satu hal yang perlu diingat adalah semua orang pada dasarnya sama. Entah lahir dan besar di China, AS, maupun belahan dunia lain.
“Kita semua punya harapan sama. Sama-sama ingin kesempatan hidup lebih baik. Ingin upah layak, makanan di atas meja, pendidikan yang bagus untuk anak-anak kita. Perseteruan AS dan China hanya akan menjauhkan kita dari harapan itu. Dampaknya terlalu besar bagi seluruh dunia,” kata Max.
Belakangan, sinyal membangun jembatan komunikasi antara pejabat kedua negara mulai terlihat, meski baru di tataran wacana dan narasi. Menteri Keuangan AS Janet Yellen tiga hari lalu mengumumkan rencana kunjungannya ke China dalam waktu dekat untuk membicarakan masa depan relasi ekonomi AS-China yang lebih konstruktif dan adil.
Setelah dilantik bulan lalu, Perdana Menteri China Li Qiang juga berkali-kali menegaskan perlunya China dan AS menjaga relasi ekonomi mereka di tengah rivalitas geopolitik yang tajam dan sentimen terkait isu keamanan nasional antara keduanya. Menurutnya, China dan AS bisa dan harus bekerja sama.
Bagaimana cara mengembalikan rasa percaya antara AS dan China di tengah ketegangan yang meruncing antara kedua negara adidaya itu?
Kesalahan besar
Diplomasi lunak memainkan peran yang penting. Sutradara pemenang Oscar Malcolm Clarke menilai, di jalur inilah China kurang piawai memainkan strategi. China melakukan kesalahan besar karena menyampaikan kisahnya ke dunia lewat istilah teknoratik dan statistik yang bersifat propaganda.
“Paling cepat, paling tinggi, paling jauh. Ketika negara barat mendengar capaian-capaian itu, mereka takut dan terintimidasi karena mereka sadar China bisa melakukan hal-hal itu lebih baik dari mereka,” kata sutradara asal Inggris yang telah membuat beberapa film dokumenter tentang China itu.
Strategi keliru dalam menyebarkan pesan itu membuat China tampak intimidatif di mata dunia sebagai sebuah poros kekuatan baru. “Kita sebagai manusia cenderung takut pada sesuatu yang tidak kita pahami, dan China saat ini telah salah dipahami oleh dunia, khususnya negara-negara barat,” katanya.
Baca juga: China-Amerika Serikat Berebut Kekuasaan
Wajah China yang humanis, ujar Malcolm, perlu lebih banyak ditunjukkan pada dunia. Itu yang ia coba lakukan melalui film-filmnya. Ia memilih tidak mengangkat pencapaian besar pemerintah China, tetapi memotret kehidupan orang-orang China sehari-hari.
Kita sebagai manusia cenderung takut pada sesuatu yang tidak kita pahami, dan China saat ini telah salah dipahami oleh dunia.
“Rasa cinta, rasa benci, harapan dan ketakutan mereka. Kita semua pernah jatuh cinta, pernah membenci, atau gagal dalam hidup. Pengalaman kolektif sebagai manusia itu yang perlu diangkat, untuk meruntuhkan tembok dan mengingatkan kembali kalau kita semua pada dasarnya adalah sama,” tuturnya.
Kendala bahasa
Untuk membangun jembatan itu, politik perebutan pengaruh antar-pemerintah kedua negara perlu dikesampingkan dan interaksi orang ke orang menjadi fokus. Pandemi yang mereda bisa membantu mengembalikan interaksi lintas-negara yang selama tiga tahun terakhir ini membeku akibat pagebluk.
Faktor terpenting untuk memastikan interaksi itu berjalan lancar tanpa kesalahpahaman adalah bahasa. "Biarkan anak-anak AS belajar dan memahami bahasa China, supaya mereka bisa memiliki pemahaman lebih dalam tentang negara ini. Sebaliknya juga. Saat ini, anak-anak China sudah jauh lebih piawai berbahasa Inggris dibandingkan orangtua atau kakek nenek mereka," kata Presiden China Institute He Zhiming.
Ada sebuah kisah lama dalam buku The Art of War karya Sun Tzu tentang orang-orang dari Kerajaan Wu dan Yue dari Zaman Musim Semi dan Gugur (770-476 SM) yang saling bermusuhan. Suatu ketika, mereka terjebak dalam perahu yang sama di tengah badai dengan hanya dua pendayung. Keduanya pun harus bersedia bekerja sama untuk mendayung hingga selamat ke daratan.
Dari cerita itu, muncul idiom klasik di China: mereka yang berlayar menyeberangi sungai di perahu yang sama harus saling menolong satu sama lain. Di tengah krisis bertubi-tubi saat ini, dunia bertumpu pada kebesaran hati AS dan China untuk sama-sama mengesampingkan perbedaan dan saling bekerja sama hingga selamat melewati badai.