Seandainya konflik bersenjata pecah sebagai akibat perebutan kekuasaan China-Amerika Serikat, medan laganya tentu sudah bukan lagi di Eropa, melainkan di Asia Pasifik, tidak jauh dari Indonesia.
Oleh
ANTONIUS TOMY TRINUGROHO
·3 menit baca
Perebutan kekuasaan merupakan tema sentral sejarah dunia. Untuk memenanginya, terjadilah perang yang lantas diikuti masa damai. Beberapa waktu kemudian, perang pecah lagi dan pihak yang berseteru kembali berdamai. Jadi, ada siklus tak pernah putus dalam sejarah dunia: perang-damai-perang-damai, demikian seterusnya. Siklus ini berpusat hanya pada satu tema sentral, perebutan kekuasaan.
Sedemikian krusial isu perebutan kekuasaan sehingga dibahas mendalam oleh ilmuwan politik, Hans J Morgenthau. Karya klasiknya, Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace, menelaah perebutan kekuasaan di antara bangsa-bangsa.
Menurut Morgenthau, kekuasaan lebih kurang kemampuan untuk memengaruhi pikiran serta tindakan pihak lain. Ada relasi bersifat psikologis antara pemilik kuasa dan pihak yang dikuasai. Penekanan relasi psikologis penting untuk membedakan kekuasaan politik dengan tindakan kekerasan lewat kekuatan militer. Saat represi diterapkan lewat penggunaan senjata, seketika itu hilanglah elemen psikologis dalam kekuasaan politik (Morgenthau, 1948: 14).
Politics among Nations sangat dipengaruhi oleh situasi saat itu, yakni perebutan kekuasaan di antara negara-negara Barat. Analisis terhadap Perang Dunia II, Perang Dunia I, dan perang-perang lain di Eropa pada abad-abad sebelumnya dilakukan oleh Morgenthau. Perang Dunia I dan Perang Dunia II pun tampak sebagai bagian dari usaha Jerman merongrong supremasi Perancis dan Inggris. Dengan kata lain, Jerman ketika itu hendak mengubah status quo.
Beradu narasi
Dalam konteks sekarang, perebutan kekuasaan tengah terjadi antara Amerika Serikat dan China. Narasi dilancarkan kedua kubu.
Salah satu pihak mengampanyekan pentingnya demokrasi dan pemerintahan yang demokratis. Pihak yang lain membalas dengan menyebut bahwa tidak boleh ada kekuatan yang mendiktekan demokrasi kepada negara lain.
Salah satu pihak menyuarakan pentingnya mempertahankan kebebasan navigasi di perairan Laut China Selatan atau dalam wilayah yang lebih luas, yakni Indo-Pasifik. Di sisi lain, pihak yang berseberangan mengingatkan bahwa patroli oleh kekuatan asing merupakan bentuk provokasi yang bukan tak mungkin berujung pada konflik bersenjata.
Salah satu pihak tengah berusaha mempertahankan status quo, menjaga agar dirinya tetap memiliki pengaruh besar di kawasan. Pada saat yang sama, pihak yang berseberangan menantangnya serta memamerkan kekuatan ekonomi dan militernya.
Dalam konteks demikianlah, kabar bahwa China menaikkan anggaran pertahanan pada Minggu (5/3/2023) harus dibaca. Dilaporkan AP, Beijing mengumumkan kenaikan anggaran pertahanan 7,2 persen, lebih tinggi ketimbang kenaikan 7,1 persen pada tahun lalu. Dengan demikian, sudah delapan tahun berturut-turut anggaran pertahanan China naik. Angka belanja pertahanan China pada 2023 pun mencapai 1,55 triliun yuan (224 miliar dollar AS). Kenaikan tersebut tak pelak akan dibaca sebagai bagian dari kampanye perebutan kekuasaan untuk mengubah status quo.
Tentu saja tak ada yang menghendaki perebutan kekuasaan akan berujung pada perang seperti terjadi pada abad silam. Akan tetapi, sejarah dunia memperlihatkan bahwa siklus perang-damai-perang-damai tampak tak terelakkan.
Dunia tidak bisa mengabaikan kemungkinan buruk tersebut. Seandainya konflik bersenjata pecah sebagai akibat perebutan kekuasaan yang tengah terjadi, medan laganya tentu sudah bukan lagi di Eropa, melainkan di Asia Pasifik, tidak jauh dari Indonesia.